Elusan halus di kepalanya membuat Ardan merentangkan tangannya dan langsung memeluk erat sosok di depannya. Mengingat saat ini dirinya tengah tertidur dengan posisi menghadap ke samping, tepat ke arah pintu kamarnya. Meski matanya masih terpejam sempurna tapi, dia tahu siapa sosok di depannya saat ini.
"Tidur Mara. Kamu baru pulang, kan?" Ujar Ardan sembari mengeratkan pelukannya.
"Tahu dari mana? Lagi pula ini sudah jam makan malam, Ardan. Kamu tidak mau bangun?"
"Aku mengantuk. Kamu sudah makan?"
"Sudah tadi,"
"Benar?"
Ardan membuka matanya dan menunduk ke arah istrinya saat sang istri tidak menjawabnya.
"Kamu benar-benar sudah makan?" Tanya Ardan lagi.
Maura hanya diam saja. Akhirnya Ardan melepas pelukannya dan bangun dari posisinya. Ardan turun dari ranjang besar di kamarnya itu dan segera membasuh wajahnya di kamar mandi.
"Ayo turun Mara!" Ajak Ardan.
Maura mau tidak mau tersenyum dan segera menghampiri Ardan. Mereka berjalan keluar dari kamar.
"Aku kira kamu mengantuk," goda Maura.
"Aku memang mengantuk. Tapi, istri mungilku ini belum makan malam. Jadi, aku harus menemanimu makan malam, kan?"
Maura terkekeh dan mengangguk kecil.
"Selamat untukmu, sayang. Kamu menang. Aku sudah turun untuk makan malam sekarang," ujar Ardan sembari mengacak puncak kepala Maura.
Ardan dan Maura masih saling menggoda sampai mereka tiba di anak tangga terakhir dan Ardan mulai mendengar percakapan keluarganya. Semua dia dengar dengan baik. Ardan menoleh dan menatap Maura.
"Mau berdamai dengan masa lalu?" Tawar Maura.
Ardan menyandarkan punggungnya di dinding terdekat. Dia menatap lekat istrinya dan akhirnya menyerah.
"Baiklah,"
Maura tersenyum senang saat Ardan berujar demikian.
"Dengan satu syarat,"
"Hm? Apa itu?"
"Ceritakan padaku tentangmu, Mara,"
"Soal itu, kamu harus tanya papi dan papa,"
Ardan mengangguk. Maura melompat ke pelukannya dan memeluk erat Ardan.
"Mulai dengan menerima maaf dari mereka, jika mereka mengucapkannya padamu,"
"Mara, mereka tidak pernah salah,"
"Hm?"
"Aku tidak pernah merasa mereka bersalah padaku. Sungguh aku tidak berpikir kesana,"
"Kamu tidak. Tapi, mereka iya,"
Ardan mengangguk kecil akhirnya. Dia menggandeng tangan Maura dan mulai berjalan ke ruang makan. Saat Ardan menginjakkan kaki di ruang makan, saat itu juga perbincangan keluarganya berhenti.
"Ardan," Alvaro memanggil putranya.
Ardan hanya menatap ayahnya dengan raut heran.
"Papi kira kamu sedang tidur,"
"Papi kira atau papi lihat?" Tanya Ardan dengan kekehan kecil. Ardan duduk di kursinya setelah Maura duduk di sebelahnya.
"Ya... papi lihat sih..." ujar Alvaro dengan sedikit pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...