Pagi itu Ardano terbangun dengan wajah yang masih sama datarnya dengan biasanya. Hanya saja, sesuatu membuat aura yang menguar dari badan tegap itu menjadi menyeramkan.
"Kak. Tolong jangan bikin ketegangan di ruang makan." Ujar Alesha.
"Papi mana?"
"Keluar. Kata papi, papi ada urusan di luar."
Ardano hanya mengangguk. Dia meminum kopinya. Alesha dan kakak kelasnya memakan sarapan mereka. Alesha makan dengan tenang sementara Ardano sibuk mendumal dalam hati tentang permintaan ayahnya.
"Ardan, papi mau menjodohkan kamu sama anak rekan kerja papi."
Ucapan itu terus terngiang di kepala Ardano. Kesal dan marah itu yang Ardano rasakan. Mata Ardano menatap ke arah teman kuliah Alesha. Ardano cukup mengakui kalau gadis itu lumayan cantik dengan rambut hitam dan mata cokelat tua.
"Papi.." panggil Alesha dan Ardano langsung menoleh ke arah pintu ruang makan.
Mata Ardano terbelalak melihat sesosok gadis yang dibawa sang ayah di belakangnya. Melihatnya saja Ardano sudah geli sendiri.
"Ardan, ayo kenalan dulu sama anak teman papi."
Ardano berdiri dan menghampiri ayahnya. Dia mengulurkan tangan ke arah perempuan di samping ayahnya.
"Deo." Ujar Ardano.
"Helen." Ujar perempuan itu.
Ardano buru-buru menarik tangannya yang sedang dijabat oleh gadis itu. Dia melirik ke arah ayahnya dengan tatapan datarnya.
"Ardan..."
"Deo. Maaf, saya tidak terbiasa dipanggil begitu oleh orang yang tidak terlalu dekat." Ujar Ardano meralat panggilan gadis itu.
Ardano kembali berdiri di dekat kursinya. Dia meminum kopinya dan mengambil kunci mobil di kantungnya.
"Sayang, ayo berangkat. Nanti kamu kesiangan loh." Ujar Ardano membuat semua orang disana heran.
Ardano melangkahkan kakinya ke sisi lain meja makan dan berhenti di sebelah seorang gadis. Sontak saja Alesha mengernyit heran.
"Ayo sayang! Aku sudah janji mau mengantarmu, kan?" Ujar Ardano sembari mengusap rambut hitam milik gadis yang tengah duduk itu.
Alesha menatap curiga, begitu pula Alvaro. Ardano komat-kamit dalam hati agar rencananya tidak terbongkar.
"Maaf, aku lupa." Suara lembut itu membuyarkan lamunan Ardano.
Sosok yang sedang dia usap rambutnya kini sudah berdiri. Bahkan sosok itu kini tengah merangkul pinggang Ardano dengan sebelah tangannya.
"Aku lupa kalau kita sudah sepakat untuk berangkat bersama. Maaf ya..." ujar gadis itu.
"It's okey sayang. Ayo berangkat!"
Ardano tersenyum. Dia merangkul bahu gadis itu dan berjalan mendekati ayahnya. Dia menoleh ke arah gadis di sisinya.
"Kenalkan, ini Maura. Kekasih saya." Ujar Ardano pada Helen.
Ucapan Ardano semakin membuat Alesha menganga kaget. Alvaro masih curiga dengan gelagat putranya. Dia masih menerka apa putranya sungguh-sungguh atau hanya bersandiwara.
"Maura." Ujar Maura sambil mengulurkan tangannya ke arah Helen.
"Helen." Gadis itu membalas uluran tangan Maura sambil meremat tangan itu dan membuat Maura sedikit meringis.
Plak!
Ardano menepis tangan Helen dengan cepat. Dia juga langsung mengambil tangan Maura untuk diperiksa olehnya.
"Apa sakit?"
"Sedikit."
"Itu yang kemarin kena air panas, kan?"
"Hn."
"Kita ke rumah sakit saja. Izin saja mata kuliah pertamamu sayang."
"Tidak bisa Ardan. Aku ada ujian."
Ardano sediki kaget saat Maura memanggilnya dengan nama tengahnya. Sementara panggilan itu justru meyakinkan Alvaro kalau Maura benar-benar kekasih Ardan.
"Kapan kalian jadian?" Tanya Alesha.
Alvaro kembali curiga dan Ardano menatap ke arah adiknya. Dalam hati Ardano berkomat-kamit. Dia memikirkan alasan untuk pertanyaan adiknya.
"Kamu ingatkan saat aku bilang kakakmu menyelamatkan aku?" Ujar Maura.
"Hm. Aku ingat."
"Ya sekitar seminggu sebelum aku diculik oleh pria-pria itu."
"Hah?"
Ardano mengeratkan rangkulannya. Dia mengusap bahu Maura perlahan.
"Iya. Aku tidak akan melakukan kelalaian seperti itu lagi." Ujar Ardano. Dia bahkan mengecup puncak kepala Maura.
"Kelalaian?" Tanya Alvaro.
"Iya, pi. Orang-orang itu menculik Maura karena, urusan bisnis."
Alvaro baru saja mau berujar kembali. Jika saja, Maura tidak angkat bicara.
"Astaga! Kamu pagi ini ingun bertemu klien, kan?"
"Ah! Benar juga. Aku hampir lupa. Terima kasih sudah mengingatkanku sayang. Ayo kita berangkat sekarang!"
"Pi, Ardan berangkat. Alesha, kakak duluan." Ujar Ardano.
"Om, saya berangkat dulu. Alesha, sampai ketemu di kampus."
Ardano dan Maura segera berjalan keluar dari rumah Ardan. Mereka langsung masuk ke dalam mobil dan Ardano langsung menghidupkan mobil itu dan menjalankannya.
"Maaf. Saya agak keterlaluan tadi." Ujar Ardano.
"Tidak apa."
"Terima kasih."
"Bukan masalah."
Ardano dan Maura kembali terdiam. Sampai akhirnya Ardano membuka kembali percakapan.
"Maura.."
"Ya?"
"Apa kamu bersedia membantu saya?"
"Menjadi pacar di depan keluargamu?"
Ardano mengangguk.
"Tidak masalah. Tapi, saya minta tolong juga pada anda."
"Apa?"
"Tolong jauhkan Cavalier dari saya. Dia sering sekali mengirim orang untuk mencelakai saya."
Ardano mengangguk lagi. "Tidk masalah. Selama kamu menjadi "pacar" ku, aku akan mengirimkan anak buahku untuk menjagamu. Mengantar dan menjemputmu."
"Baiklah kalau begitu."
"Kita sepakat?"
"Hn. Kita sepakat."
Maura dan Ardano sama-sama menjabat tangan sebagai tanda kesepakatan. Mereka tersenyum kecil. Ardano mengantar Maura sampai ke kampusnya dan benar saja di kampus Maura sudah ada dua orang penjaga yang merupakan anak buah Ardano.
"Mereka yang akan mengawalmu. Oh, iya. Berikan nomor ponselmu padaku."
Maura memberikan ponselnya pada Ardano. Ardano langsung mengetikan nomornya dan menyimpan nomor miliknya di ponsel Maura. Dia juga mendial nomor ponselnya untuk mendapatkan nomor milik Maura.
"Ini." Ardano mengembalikan ponsel itu pada Maura.
"Sampai jumpa. Kalau ada sesuatu hubungi saja aku."
"Hn. Sampai jumpa."
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...