"Pi...kelihatannya kak Ardan jujur pi..."
Suara Alesha menjadi pengisi kekosongan di rumah Alvaro. Ya, Ardano dan Maura memang datang ke rumah Alvaro untuk menjelaskan semuanya lebih dulu pada sang ayah. Dan siapa sangka ayahnya malah tidak percaya padanya?
"Hhh..." suara helaan napas itu membuat Ardan menatap ayahnya.
"Papi percaya Ardan tapi, bukti apa yang kamu punya sampai kamu yakin kalau model itu pasti akan menyingkir setelah tahu bukti darimu?"
Ardan mengangguk kecil, dia memberikan map cokelat di tangannya pada sang ayah. Bukti-bukti yang dia tunjukan pada Maura tadi.
"Itu bukti-buktinya, pi. Dan Ardan akan taruh bukti itu disini. Di rumah papi."
Alvaro membuka map itu dan membaca satu per satu bukti itu juga lembar per lembar dari setiap kertas disana. Alvaro mengangguk kecil. Dia memasukan kembali semua bukti itu ke dalam map.
"Lalu, apa lagi yang ingin kamu katakan pada papi?" Tanya Alvaro.
"Ardan mau minta restu sama papi... Ardan mau menikah sama Maura..."
"Oh... ya sudah. Sudah papi restui kalian."
"Okey, aku sama Maura nikah tiga hari lagi ya pi..."
Seketika itu juga Alesha yang sedang meminum jus jeruk menyemburkan jus itu dari mulutnya.
"Alesha!" Panggil Alvaro terkejut.
"Maaf pi, Alesha nggak sengaja. Tapi, itu kakak pi... nikah dalam tiga hari? Dikira nikah tuh gampang apa?"
"Benar kata Alesha... kamu kenapa ingin menikah secepat itu?"
Ardan menghela berat.
"Ardan hanya tidak mau masalah ini menjauhkan Ardan dari Maura. Lagi pula, kalau bisa menikah dengan Maura sekarang kenapa harus tunggu nanti?"
Alvaro mengangguk kecil. Dia mengerti keinginan anaknya.
"Tiga hari lagi itu bukan waktu yang lama Ardan. Papi hanya tidak yakin semua akan siap dalam tiga hari..."
"Semua sudah Ardan atur pi. Jim sudah menyiapkan semuanya. Hanya tinggal cross check saja besok. Kalau ada yang kurang-kurang lagi, biar besok ditambahkan."
Alvaro mengangguk lagi. Dia tidak bisa berkomentar banyak jika putra sulungnya sudah berujar demikian.
"Ya sudah. Papi sudah merestui kalian. Lagi pula menikah itu niatan baik. Jadi, papi setuju-setuju saja kalau memang semuanya akan siap dalam tiga hari ke depan..."
Ardan mengangguk dia pamit pulang ke rumah, begitu pula Maura yang akan dia antar lebih dahulu. Sepanjang perjalanan berisi keheningan. Hanya ada deru mobil dan bunyi klakson yang terus bersahutan yang menjadi mengiring mereka.
"Ardan..." Maura akhirnya membuka suara.
"Ya?"
"Aku... aku mau tanya beberapa hal, boleh?"
"Bertanya? Kenapa?"
"Karena aku pikir, aku selama ini tidak terlalu mengenal kamu..."
Ardan mengangguk kecil sembari terfokus pada jalanan di depannya yang sedikit macet dan semerawut. Mendapat persetujuan dari Ardan, Maura mulai berpikir pertanyaan apa yang ingin dia tanyakan.
"Umm... kamu lahir tanggal berapa?"
"29 Mei."
"Umur kamu?"
"10 tahun lebih tua dari Alesha."
"Ardan... aku saja belum tahu umur Alesha berapa..."
Mobil itu kembali diisi dengan keheningan. Maura berpikir Ardan tidak mau menjawab pertanyaannya. Jadi, Maura menghentikan sesi tanya jawab itu.
"29..."
"Hah?"
"Umurku 29 tahun."
Maura mengangguk mendengar jawaban itu.
"Kamu bilang kamu kuliah di Harvard, kan? Jadi, kamu tinggal disana berapa tahun?"
"Lumayan lama juga. Hampir dua belas tahun sepertinya."
"Selain kak Arman dan kak Arsen juga Alesha, kamu punya saudara lagi?"
"Kandung tidak ada karena, mami meninggal tiga hari setelah Alesha lahir. Tapi, kalau saudara sepupu aku punya."
"Banyak?"
"Tidak juga. Lumayan kalau dihitung sampai sepupu jauh. Tapi, sepupu dekat tidak terlalu banyak. Hanya dua orang dari kakaknya mami dan tiga dari adik kembar mami."
"Oh... jadi, om Varo itu anak tunggal ya?"
"Hn. Dan kamu harus mulai merubah panggilan kamu ke papi. Masa kamu mau panggil papi dengan om terus..."
Maura mengangguk. Dia akan mengganti panggilannya untuk ayah mertuanya nanti.
"Lalu, apa lagi?" Tanya Ardan.
"Entahlah... belum terpikirkan mau bertanya apa lagi."
Ardan mengangguk pelan. Dia mengemudikan mobilnya dengan tenang.
"Aku itu paling suka dengan jeruk. Aku tidak terlalu pilih-pilih kalau makan. Hanya saja, tolong jangan pernah berikan makanan ekstrim padaku." Ujar Ardano
"Makanan ekstrim?"
"Hn. Makanan ekstrim. Misalnya, jengkol atau petai. Lalu, seblak atau apapun itu yang aneh-aneh... oh jangan pernah berikan buah manggis padaku. Aku tidak suka."
Maura mengangguk. Dia mengingat semua tentang Ardano dengan cepat.
"Warna kesukaanku hitam dan warna-warna gelap. Lalu, kalau sedang senggang aku lebih suka berdiam di rumah. Tapi, pergi jalan-jalan denganmu akan menjadi kebiasaan baruku saat kita sudah menikah nanti..."
Seketika pipi Maura merona. Dia menunduk sedangkan Ardano terkekeh geli. Ardano berhenti di pinggir tepat di depan sebuah ruko kosong. Maura langsung menatapnya dengan heran.
"Maura... aku benar-benar minta maaf."
"Untuk apa?"
"Awal pertemuan kita saat itu. Aku benar-benar minta maaf menbuat kamu mengalami hal yang menakutkan seperti itu. Aku... kalau saja bisa memutar kembali, aku akan mencari tahu kejelasannya dengan sangat benar sebelum aku menyuruh mereka menahan kamu disana. Aku minta maaf."
Maura menggeleng pelan. Dia tahu dalang di balik semua itu adalah pamannya sendiri. Farhan Cavalier. Karena itu, Maura tidak pernah merasa kalau Ardan bersalah padanya.
"Salah pamanku sampai kamu begitu percaya padanya. Bahkan saat dia berakting menangis tersedu-sedu di pemakaman ayahku saja, semua orang percaya kalau dia sangat dekat dengan ayahku."
Ardan menarik Maura ke dalam pelukannya. Dia memeluk gadis itu dengan erat.
"Aku janji akan membahagiakanmu Maura. Aku juga akan melindungi kamu dari Cavalier. Aku janji."
Maura mengangguk dan membalas pelukan hangat Ardan. Dia bisa menghirup wangi dari parfum Alien For Men by Thierry Mugler milik Ardan. Wangi yang pas dengan karakter Ardan. Elegan dan masculine.
"Aku antar pulang. Besok pagi aku jemput untuk memilih gaun pernikahan kita, okey?"
Maura mengangguk. Ardan mengecup kening Maura dengan lembut sebelum dia kembali melajukan mobilnya menuju kontrakan milik Maura.
"Aku jemput jam sembilan besok." Ujar Ardan dan Maura mengangguk sembati tersenyum.
"Good night Ardan..."
"Good night baby..."
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...