Ardan menarik napasnya dalam-dalam. Dia menatap jalanan yang cukup sibuk di bawah sana. Pelukan dari lengan mungil yang melingkari pinggangnya membuat Ardan sedikit tersentak.
"Maaf mengejutkanmu," ujar suara yang sangat Ardan sukai itu.
"Tidak apa, Mara. Salahku yang tidak mendengar langkah kakimu,"
Maura menyandarkan kepalanya di punggung terbuka milik Ardan udara pagi yang masuk dari celah jendela membuat Maura semakin mengeratkan pelukannya.
"Ardan,"
"Hm?"
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Apa maksudmu?"
"Itu... maksudku, apa kamu tidak ingin kembali?"
Ardan melepaskan tangan Maura yang memeluk kedua sisi pinggangnya. Dia berbalik dan mengusap pipi Maura.
"Aku tidak ingin kembali. Jika aku kembali, mereka akan terus menerus terbawa dalam masalah yang mungkin aku ciptakan dulu,"
"Tapi, ini sudah empat bulan sejak kak Arman sadar. Dia mungkin mencarimu,"
Ardan menggelengkan kepalanya. Dia memeluk Maura dan meletakan kepalanya di bahu Maura. Meski untuk melakukannya Ardan harus merendahkan badannya.
"Aku takut, Mara. Sangat takut," gumam Ardan di bahu istrinya.
Maura mengusap punggung tegap milik suaminya. Maura tahu Ardan tidaklah sekuat dan searogan yang dia bayangkan. Sejak menjadi istri Ardan, Maura menyadari kalau Ardan hanyalah pria yang takut akan kesalahan. Sikap arogannya dia ciptakan untuk meminimalkan kesalahan yang mungkin dia buat.
"Sebenarnya, kak Harry menghubungiku kemarin. Dia memintaku mengajakmu kembali ke Jakarta,"
Ardan menggeleng dan semakin menelusupkan kepalanya ke leher Maura.
"Kata kak Harry, kak Arman mengancam akan menghentikan pengobatan kalau kamu tidak kembali dan menjenguknya,"
Ardan diam. Dia tidak tahu kalau Harry berhasil menghubungi istrinya. Ardan akui dia bertingkah seperti pengecut. Dia melarikan diri ke negara tetangga demi menghindari keluarga mereka. Ardan bahkan hanya bekerja di sebuah perusahaan kecil di negera itu. Ah tidak, bukan di negara itu melainkan perusahaan kecil di kota yang Ardan dan Maura sambangi.
"Kita kembali saja, ya?" Ajak Maura.
"Mara, aku tanya padamu. Apa kamu tidak suka hidup seperti ini?"
"Apa maksudmu?"
"Apa kamu tidak bisa menerima menjadi orang biasa seperti ini? Tidak memiliki uang yang berlimpah, hidup pas-pas-an dan bahkan hanya tinggal di apartment kumuh seperti ini. Apa kamu tidak bisa menerima itu?"
Maura mengernyit tidak suka saat nendengar ucapan suaminya. Sungguh dari semua perkataan Ardan yang mungkin terucap karena tidak sengaja. Baik itu kasar ataupun hinaan, ini yang menjadi perkataan yang paling menyakiti perasaan Maura. Dia diragukan. Maura mengangkat kepalanya menatap Ardan.
"Itu yang kamu pikirkan tentangku, Ardan?" Tanya Maura dengan suara yang terdengar seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya.
Ardan tertegun melihat istrinya. Sorot kekecewaan, kesedihan dan terluka nampak di mata hitam Maura. Terlebih lagi, suara Maura yang terdengar seperti seseorang yang sedang menahan tangisannya agar tidak keluar.
"Mara..."
Maura melangkah mundur saat tangan Ardan terulur ke arahnya. Maura menghindari Ardan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...