Ardan terbangun akibat teriakan Tony yang cukup memekakkan telinga dan juga menyayat hati. Ardan langsung menghampiri Tony dan duduk di sisi anak itu. Ardan memeluknya dan mengusap rambut Tony dengan lembut.
"Ssstt... tenang, Tony. Tenang. Papa disini,"
Teriakan Tony berhenti namun cengkraman tangan Tony pada lengan Ardan yang memeluknya masih tetap kencang dan tidak terlepas. Tony gemetaran dan napasnya memburu.
"Tony, dengarkan papa. Orang itu sudah dihukum. Dia tidak akan mendekatimu lagi. Kamu aman, nak. Selain itu, papa ada disini. Papa akan menjagamu. Papa tidak akan meninggalkanmu, nak. Papa menemanimu,"
Ardan mengecupi pelipis Tony dan membisikkan kata-kata untuk menenangkan Tony. Tony perlahan mulai tenang. Dia melepaskan cengkramannya dan memeluk Ardan menyembunyikan wajahnya di bahu Ardan.
"Tidak apa-apa, nak. Ada papa. Kamu akan baik-baik saja. Tidak apa-apa,"
"-ut,"
Ardan mengerutkan kening saat mendengar sepenggal suara putranya.
"Kenapa nak?"
"-kut,"
Ardan menajamkan pendengarannya. Dia memejamkan matanya dengan tangan yang masih mengusap punggung Tony dengan lembut.
"-takut,"
"Aku takut..."
Ardan mencium puncak kepala Tony.
"Jangan takut, nak!" Bisik Ardan di telinga Tony.
"Papa disini. Ada papa. Papa akan menjagamu," lanjutnya.
Tony terdiam. Dia masih menyembunyikan diri di pelukan ayahnya.
"Mau beritahu papa, apa yang membuatmu takut?" Tawar Ardan.
Tony tetap diam.
"Mungkin kamu akan merasa lebih baik setelahnya,"
Merasa Tony tidak menginginkannya, Ardan kembali mengeratkan pelukannya. Memberikan rasa aman untuk putranya. Dia tahu putranya butuh rasa aman untuk saat ini. Saat dimana putranya merasa terancam.
"It's okey, Tony. Papa mengerti," ujar Ardan.
"Tapi, sekarang kamu harus tidur, Tony. Kamu butuh banyak istirahat dan ini sudah tengah malam,"
Tony melepaskan pelukannya. Dia berbaring namun, tangannya menarik lengan Ardan. Ardan tersenyum. Dia ikut berbaring di sebelah Tony. Ardan tidak marah ataupun merasa putranya kekanakan. Dia paham dan tahu dengan jelas, Tony masih terlalu shock dengan apa yang terjadi padanya. Perasaan takut masih mengitarinya.
"Kemarilah," ujar Ardan dan Tony tanpa ragu mendekat ke arah Ardan dan menyamankan diri dalam rengkuhan tangan ayahnya.
Tony tidak lagi peduli jika dia dikatakan kekanakan, seperti anak perempuan atau apapun. Yang jelas Tony merasa berada dalam rengkuhan ayahnya adalah tempat teraman untuknya. Mimpi buruknya pun tidak pernah menghampirinya lagi.
"Pa,"
"Hm?"
"Apa wajar bagiku untuk takut seperti ini?"
"Wajar Tony. Siapapun pasti pernah merasa takut. Bahkan papa sekali pun,"
"Benarkah?"
"Hn. Benar. Dan saat itu, kakekmu juga melakukan hal yang sama seperti yang papa lakukan saat ini. Papa mengerti apa yang kamu rasakan, nak,"
Tony terdiam lagi.
"Pa,"
"Hm?"
"Aku takut. Dia... dia sangat menyeramkan. Memukulku tanpa mendengar ucapanku. Dia melakukan itu di depan Dion, Johan dan Ken. Tidak peduli meski saat itu asma Ken kambuh. Dia menjadikan masalah jendela itu sebagai alasan memukulku," ujar Tony.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomanceCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...