Kemarahan Ardano (2)

29.8K 1.5K 6
                                    

Ardano mengambil kotak obat. Dia juga mengambil handuk kecil dari lemari pakaiannya yang ada di kamar tidurnya di ruangan itu. Ardano membasahkannya di kamar mandi dan menggunakan handuk itu untuk membersihkan sisa darah yang mulai mengering.

Ardano mengoleskan salep untuk mengobati luka memar di kening Maura. Ardano meletakan handuk dan semua sisa peralatan yang tadi dia pakai di atas meja, sementara dirinya duduk di sisi sofa itu dengan mata menatap wajah sembab Maura. Ucapan Maura berkelebatan di kepalanya. Dia memikirkan pertanyaan itu.

"Siapa yang mengatakan itu dan membuatmu terluka seperti ini Maura?"

Ardano tahu, Maura tidak mungkin menanyakan itu jika tidak ada orang yang mengatakan hal semacam itu padanya. Dia mengerti bagaimana sikap dan sifat Maura meski mereka baru dekat sebagai "pacar" selama kurang lebih tiga bulan.

"Hhh..." Ardano menghela napasnya.

Dia menatap wajah cantik itu. Pertemuan mereka memang tidaklah bisa dibilang bagus. Mereka bertemu karena salah paham dan berujung dengan kebohongan dari drama yang Ardano ciptakan. Tapi, perlahan Ardano menyadari dia terbawa dalam drama itu dan mulai memainkannya dengan perasaan.

"Sudah bangun?" Tanya Ardano saat mata cantik itu terbuka.

"Maura, apa kamu baik-baik saja?" Tanya Ardano lagi saat tidak ada jawaban apapun dari bibir Maura.

Ardano menggeser badannya untuk lebih mendekat pada Maura. Dia menangkup pipi Maura dan mengusapnya dengan ibu jarinya dengan perlahan.

"Maura?"

Maura mengarahkan pandangannya ke arah Ardano. Kedua manik itu bertemu. Hitam bertemu dengan cokelat. Ardano menatap Maura dengan perasaan khawatir.

"Sshhss... jangan menangis Maura!" Ujar Ardano saat Maura kembali menangis.

Ardano duduk di ujung sofa dan menarik Maura ke dalam pelukannya. Dia mengusap rambut Maura dengan perlahan dan lembut.

"Jangan menangis!"

"Ardan..."

"Hm?"

"Aku rasa kita sudahi saja."

Mata Ardano melebar kaget. Dia sangat kaget mendengar permintaan itu. Ardano menunduk dan menatap ke arah Maura dengan raut terkejut di wajahnya.

"Kenapa?" Tanya Ardan dengan nada yang tidak lagi setenang biasanya.

"A...aku..."

Ardano menangkup erat pipi Maura. Dia menatap gadis itu lekat-lekat. Menelusuri dan menyelami mata hitam itu.

"Dengar Maura. Jika kau menanyakan hal ini dua bulan yang lalu, maka saat itu akau akan menjawab iya. Tapi saat ini, maaf aku tidak akan mengatakan iya."

"Kenapa?" Kini Maura balik bertanya pada Ardano.

Ardano hanya menatap mata hitam kelam tanpa mau mengalihkan pandangannya. Maura sendiri sempat takut saat melihat sorot mata Ardan menajam. Tapi kini, sorot mata itu melembut dan menatapnya dengan lekat seolah hendak menyampaikan sesuatu.

"Kamu tanya kenapa? Aku akan menjawabnya satu kali. Hanya satu kali. Jadi, dengarkan baik-baik."

Ardan menundukan kepalanya dan mendekatkan bibirnya ke telinga Maura.

"Because I'm already falling for you, Maura."

Mata Maura melebar kaget. Dia tidak menyangka dan tidak menduga Ardan akan mengatakan hal itu.

"Awalnya aku hanya menjadikan ini sebagai drama tapi, berada di dekatmu membuatku nyaman. Tanpa aku sadari, kamu merubah aku Maura. Aku jatuh cinta padamu. Aku marah saat melihat kamu berbincang dengan teman lelakimu. Aku tidak mau dan tidak bisa lepas darimu."

Maura masih terkejut. Dia mengangkat tangannya dan memukul kecil bahu Ardano.

"Kenapa baru bilang sekarang?" Tanya Maura dengan nada merengek.

Ardano mengernyit heran. Dia tidak mengerti maksud Maura.

"Kenapa baru mengatakannya sekarang? Setelah aku menunggu selama ini dan kau buat bingung dengan tingkahmu! Kenapa baru bilang sekarang setelah aku mendapatkan penghinaan dari karyawanmu!!" Ujar Maura dengan tangan yang masih memukuli bahu Ardano.

"Hey... hey... stop...!" Ujar Ardan sambil memegang pergelangan tangan Maura.

"Jangan pukul disana! Pukul disini saja!" Ardan mengarahkan tangan itu ke wajahnya.

Maura menarik tangannya dan memeluk Ardan erat-erat. Dia menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik Ardan.

"Sebenarnya ada apa?" Tanya Ardan.

"Karyawanmu melarangku masuk ke kantormu. Dia bilang, aku tidak pantas dari kantormu. Kalaupun pantas itu hanya sebatas pembantu atau tukang parkir. Dia tidak percaya kalau kamu menyuruhku datang kesini. Dia juga bilang kalaupun kamu mengundangku itu sebagai gundikmu..." ujar Maura dengan suara lirih di akhir kalimatnya.

Maura mengangkat wajahnya menatap Ardano.

"Aku tidak seperti itu, kan? Kamu tidak menganggapku seperti itu, kan?"

Ardano menundukkan kepalanya dan mengecup kening Maura dengan lembut dan lama.

"Tidak akan pernah, sayang. Aku tidak akan pernah menganggapmu seperti itu. Terpikirkan saja tidak olehku. Jangan percaya ucapannya."

"Benar?"

"Sungguh, sayang. Aku berani bersumpah asal kamu percaya."

Maura mengangguk. Dia menyamankan diri dalam pelukan Ardano. Tangan besar Ardano mengusap punggungnya dengan lembut.

"Kita kesana sekarang sayang." Ajak Ardano

"Kemana?"

Ardano tidak menjawab. Dia hanya membersihkan pipi Maura dari sisa air mata. Lalu, Ardano merapikan sedikit rambut gadisnya dan menggenggam tangan sang gadis dengan erat. Dia berjalan bersama Maura ke sebuah ruangan.

Maura mengerutkan keningnya saat Ardano merangkul bahunya dengan sangat erat. Bahkan kini wajah Ardano nampak sangat marah. Garis rahangnya terlihat sangat jelas saat ini.

"Siapa dari kalian yang berani menghina gadisku?" Tanya Ardano dengan nada sangat menyeramkan. Begitu mereka sampai di dalam sebuah ruangan.

"Jawab!!!" Bentak Ardano pada seluruh anak buahnya saat tidak mendapat jawaban.

Anak buah Ardano menunjuk dan berbisik pada satu orang. Sebenarnya tanpa bertanya pun Ardano tahu siapa pelakunya karena, dia melihat pipi pegawainya yang memerah tadi dan Ardano yakin itu bekas tamparan Maura.

"Aku peringatkan pada kalian, sekali lagi kalian berani menghina dan memperlakukan gadisku dengan buruk saat itu juga kalian akan mendapatkan balasan langsung dariku!!"

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang