Keeping The Wolf Child

19K 1K 15
                                    

Suara lembut dan tepukan lembut di pipinya menarik Ardan dari dunia mimpi. Ardan membuka sebelah matanya dan mengusapnya perlahan saat merasakan matanya sedikit perih.

"Pagi, shawty,"

"Pagi juga, Ardan,"

Ardan tersenyum. Dia bangun dan duduk di atas ranjang besar miliknya. Dia melihat gadisnya sudah rapi dan bahkan sudah menata rambutnya. Ardan memeluk istrinya, menelusupkan kepalanya ke perut ramping gadisnya. Maura sendiri hanya mengusap rambut Ardan dan sedikit merapikannya. Maura sudah hafal kebiasaan Suaminya saat bangun pagi. Entah itu kebiasaan lama atau kebiasaan baru, yang jelas kebiasaan Ardan itu membuat hati Maura menghangat setiap paginya.

"Apa nyawa suami tampanku ini sudah terkumpul sepenuhnya?" Tanya Maura sembari mengusap rambut Ardan.

Ardan mengangkat tangannya dan membuat jarak kecil antara jari telunjuk dan ibujarinya sebagai tanda sedikit.

"Baiklah. Aku akan menunggu sampai nyawa suami tampanku terkumpul sepenuhnya,"

Ardan semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Maura. Menghirup dalam-dalam wangi istrinya. Setelah berdiam di posisi itu selama lima menit, Ardan melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar pada istrinya.

"Thank you, shawty,"

"Sama-sama handsome,"

Ardan berdiri dan mencuri kecup ke bibir Maura sebelum dia berlari ke kamar mandi. Dia membersihkan dirinya dan saat dia keluar Maura sudah menghilang dari kamarnya. Ardan berjalan menuju lemari dan mengambil pakaiannya. Dia memakai pakaian kerjanya dan segera keluar dari kamar itu.

Rumah. Ya, Ardan kembali ke rumahnya. Rumah dimana dia tumbuh besar. Rumah yang selalu berusaha dia hindari selama dua belas tahun. Ardan memang jarang pulang ke rumah ayahnya. Dia lebih sering menghabiskan hari di apartment ibunya. Rumah sang ayah hanya dia kunjungi beberapa kali. Bahkan dalam satu tahun, sepuluh jarimu tidak akan habis untuk menghitung berapa kali kaki Ardan menapaki rumahnya ini.

Ardan berjalan ke bawah dan menemukan keluarganya berkumpul di meja makan. Baik sang ayah, adik bungsunya dan juga istrinya ada disana. Bahkan, Arsen yang biasanya tidak ada hari ini ada disana. Ardan berjalan ke kursi kosong dan duduk dengan tenang disana.

"Kamu kerja hari ini, kak?" Tanya Alvaro pada Ardan.

"Iya pi. Kasihan Jim kalau aku suruh mengurus perusahaanku terus,"

Alvaro mengangguk kecil. Dia memakan sarapannya dengan tenang. Maura yang sedang makan pun tiba-tiba saja ditodong permintaan oleh sang bungsu.

"Kak Maura,"

"Hm? Ada apa?"

"Nanti siang, Alesha request udang asam manis ya kak,"

Maura sedikit terkejut namun, tak urung dia tersenyum dan mengangguk.

"Okey, ada lagi?" Tawar Maura.

"Aku juga mau. Tolong buatkan ayam goreng mentega. Nanti biar anak buah kakak saja yang mengantarkan padaku," ujar Arsen.

Ardan mendelik sinis pada adik kembarnya itu. Jelas saja, Alvaro terkekeh melihat tingkah anak kembarnya. Jika saja Arman ada di ruang makan juga saat ini, pasti Arman juga akan ikut meminta masakan kesukaannya dibuatkan untuk makan siang.

"Pi, papi mau makan siang apa? Biar Mara masakkan untuk papi,"

Alvaro sedikit terkejut namun, dia tersenyum hangat pada menantunya. Gadis yang kini turut menjadi putrinya juga.

"Tidak usah yang repot-repot. Kamu bawakan saja papi apapun yang kamu masak untuk siang ini. Pasti akan papi makan," ujar Alvaro.

Maura mengangguk. Usai makan pagi yang tenang itu, semua orang bergegas mengerjakan aktivitas mereka. Seperti misalnya, Alesha yang kini menjadi sekretaris Keannu. Maura melihat Ardan yang menekuk wajahnya karena kesal. Dia tahu suaminya tengah ngambek akibat tidak ditawarkan makan siang.

"Hati-hati di jalan. Nanti siang aku ke tempat kamu," ujar Maura pada Ardan.

Ardan hanya mengangguk dan memasuki mobilnya. Maura sendiri bergegas membeli bahan untuk memasak makan siang.

"Jim, kita mampir ke tempat Arman dulu,"

Jim mengangguk dan langsung melajukan mobil milik Ardan ke rumah sakit dimana Arman di rawat. Membelah jalanan ibukota selama beberapa menit dan Ardan sampai di rumah sakit. Ardan menyusuri lorong rumah sakit dan berhenti di depan pintu kamar Arman. Ardan membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam ruang rawat itu.

"Masih tidur," gumam Ardan saat melihat adik kembarnya masih terlelap.

Ardan berjalan mendekat dan melepaskan jas miliknya. Ardan menggulung lengan kemejanya dan beranjak menuju ke kamar mandi. Sekian menit berdiam di kamar mandi, Ardan kembali dengan sebaskom air hangat dan juga dua buah handuk kecil. Ardan merendam salah satu handuk itu ke dalam air hangat. Ardan membersihkan badan Arman dengan sabar.

Selesai dengan pekerjaannya, Ardan mengembalikan baskom itu ke dalam kamar mandi. Dia kembali saat mendengar Arman memanggilnya.

"Kenapa?"

Arman hanya menatapnya lalu menggeleng pelan. Anak itu tersenyum kecil. Ardan menghampirinya dan menatapnya dengan tatapan aneh.

"Kamu kenapa senyum-senyum?"

"Tidak,"

"Mau makan?"

"Nanti saja,"

Ardan mengangguk. Dia duduk di kursi dan menunggui adiknya untuk sejenak. Saat pintu terketuk dari luar, saat itu Ardan berdiri. Dia mengambil jasnya yang tersampir di sofa.

"Kakak mau kemana?" Tanya Arman.

"Kerja tentu saja. Memangnya kemana lagi?"

"Tidak menungguiku disini?"

"Tidak. Sudah ada perawat yang menemanimu disini. Lagipula Natasha juga akan datang nanti,"

Arman mengangguk kecil. Ardan sebenarnya tidak tega juga meninggalkan adiknya sendirian. Akhirnya dia menemui Jim di luar dan meminta asisten pribadinya itu untuk membawakan pekerjaannya kesini dan menyuruh supirnya pulang saja ke rumah Alvaro.

"Tidak jadi berangkat?" Tanya Arman.

"Tidak..."

Arman kembali diam.

"Ada anak serigala yang harus aku jaga atau dia akan melarikan diri lagi nanti,"

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang