Maura mendudukan diri di kursi yang berada di sebelah tempat tidur dimana seseorang yang dia tahu sangat galak dan arrogant kini tengah terbaring. Dua hari dan sampai saat ini sosok itu masih belum membuka matanya. Maura mengusap punggung tangan dari sosok itu dengan lembut. Sosok itu prianya. Deo Ardano Kenneth Dimitra.
Dua hari yang lalu, pria itu pingsan di depan mansion Reinner. Harry yang ada di depannya dan Maura yang sedang menggandeng tangannya langsung menahan badan besar Ardan yang tiba-tiba rubuh ke depan. Harry membaringkan Ardan dengan kepala Ardan yang berada di pangkuan Maura.
Harry menelpon rumah sakit untuk mengirim ambulance. Awalnya mereka pikir, Ardan mungkin kelelahan karena mereka baru saja sampai di Sydney kemarin. Akan tetapi, pemikiran itu luntur saat mata Harry menangkap aspal di bawah badan Ardan basah. Harry menyentuh aspal itu dengan jarinya dan melihat warna merah pekat di jarinya.
Ambulance datang dengan cepat dan Ardan segera di bawa ke rumah sakit. Saat sampai pun Ardan langsung di tangani oleh dokter jaga. Harry dan Maura hanya mendengar sekilas percakapan dokter yang menyuruh suster menyiapkan ruang operasi dan memanggil dua dokter bedah yang cukup terkenal disana. Dokter itu juga meminta suster untuk mencari darah dengan golongan yang sama dengan Ardan.
Maura dan Harry menunggu di depan ruang operasi. Mereka hanya tahu, untuk menunggu disana. Mereka belum sempat bertanya pada dokter tadi. Baru setelah menjalani operasi selama dua jam, Maura melihat dokter keluar dari ruangan itu.
"Operasi pengangkatan pelurunya berhasil. Beruntungnya, peluru itu tidak mengenai ginjal tuan Dimitra. Untuk saat ini, tuan Dimitra masih akan di obeservasi. Setelah dua jam, beliau akan dipindahkan ke kamar rawat dan anda bisa menjenguknya disana,"
Itu yang dokter ucapkan saat itu. Maura dan Harry sampai heran dengan kabar itu. Kapan dan bagaimana Ardan bisa tertembak masih membuat mereka heran. Maura meminta kakaknya untuk menyelidiki hal itu. Akan tetapi, kalau Ardan sendiri belum sadar, kasus itu sama dengan menemui jalan buntu.
"Hhh..." Maura menghela kecil.
Dia beranjak untuk mengambil sebaskom air hangat dan handuk yang kemarin sore dijemur di kamar mandi. Maura kembali dan meletakan baskom itu meja. Dia merendam handuk itu dan sedikit memerasnya sebelum dia mengelap wajah Ardan.
"Kamu mau tidur sampai kapan? Aku dan kak Harry bingung harus mencari pelakunya kemana," ujar Maura sembari membersihkan wajah Ardan.
"Ardan... ayolah, bangun! Papi kamu akan datang sebentar lagi, kamu mau melihat papi kamu dan Alesha menangis karena keadaan kamu seperti ini?" Ucap Maura lagi. Kali ini Maura mengelap tangan kiri Ardan dengan handuk yang sudah dia bilas tadi.
Tangan Maura sedikit menggenggam tangan besar Ardan. Dia mengingat tangan itu dua hari yang lalu masih mengusap pipinya dengan lembut. Tangan yang sama juga dengan tangan yang selalu mengusap rambutnya.
"Ardan... aku takut..." Maura berujar dengan suara serak dan tercekatnya. Dia tidak bisa lagi menahan airmatanya.
Maura menangis disana. Sembari membersihkan badan Ardan dengan handuk hangat, Maura menangis dan meminta Ardan untuk bangun. Tak jarang airmata Maura mengenai tangan ataupun kaki Ardan.
"Maura," panggilan itu membuay Maura menghapus airmatanya dan berbalik.
"Om, maaf. Ardan-"
Sosok itu malah tersenyum sendu. Dia memeluk Maura dan mengusap rambut itu dengan perlahan.
"It's okey, Maura. Om mengerti. Ini bukan salah kamu," ujar sosok itu.
Alvaro Kenneth Dimitra. Dia baru saja datang dan kini sedang memeluk calon menantunya dengan sayang. Berusaha menenangkan anak itu.
"Arman sedang mencari tahu pelakunya. Arsen juga akan datang dari Singapore nanti sore,"
Maura mengangguk kecil. Ardan memang pernah mengatakan kalau Arsen dimintai tolong oleh salah satu rumah sakit di Singapore untuk membantu proses operasi. Karena itu, Arsen ada di Singapore saat ini.
"Om, Maura ke tempat papa dulu. Mungkin nanti Maura mampir ke kantin, om mau titip sesuatu?"
"Tidak usah. Titip salam saja untuk papamu,"
Maura mengangguk. Dia keluar dari kamar itu menyisahkan Alvaro dengan Ardan.
"Kak, kamu kenapa lagi? Siapa yang melakukan ini sama kamu?" Tanya Alvaro sembari mengusap rambut putranya dengan perlahan.
"Kak, jangan tidur lagi! Ayo bangun! Kakak nggak kasihan sama Maura? Dia menangis karena kamu," ujar Alvaro.
Dia terlalu takut jika melihat Ardan tertidur dan tak kunjung membuka matanya. Bahkan hanya dengan mendengar Ardan sakit saja, sudah akan membuat Alvaro ketakutan setengah mati. Dia masih takut kejadian empat belas tahun lalu akan terulang pada Ardan. Dia terus mengingat saat Ardan tidak sadarkan diri sampai berhari-hari.
"Kak, ayo bangun! Beritahu papi, siapa yang membuat kakak seperti ini?"
Alvaro terus mengajak Ardan berbicara. Terus menanyakan Ardan pertanyaan yang sama. Dia hanya berharap anaknya segera bangun. Alvaro menoleh saat mendengar pintu terbuka. Disana Arsen sudah berdiri dengan kemeja yang kusut.
"Kakak bagaimana, pi?" Tanya Arsen.
Alvaro menggeleng kecil.
"Arsen temui dokternya dulu," ujar Arsen setelah melihat siapa dokter yang sudah menangani Ardan sejak pertama Ardan masuk ke rumah sakit itu.
Alvaro masih menunggu disana. Belum ada kabar dari Arman. Entah bagaimana hasil pencarian Arman. Maura kembali. Dia datang bersama Harry.
"Om, apa kabar?" Tanya Harry.
"Baik. Harry sendiri?"
"Baik, om. Hanya lebih sibuk,"
"Pelakunya sudah ditemukan?"
Harry menggeleng. "Kami menemui jalan buntu. Tidak ada jejak sama sekali,"
Baru saja pintu kembali terbuka dan menampakan sosok Arsen disana.
"Bagaimana?" Tanya Alvaro.
"Kondisi kakak sejak dua hari yang lalu stabil, pi. Tidak ada infeksi ataupun hal yang berbahaya. Hanya memang lukanya agak dalam,"
"Apa dia mengatakan jenis pistolnya?" Tanya Harry.
"Revolver, ditembak dengan jarak yang tidak terlalu jauh,"
Brakk!
"Pi!" Suara Arman terdengar di telinga mereka.
"Carrel Maxton!" Ujar Arman saat dia baru sampai.
"Apa?" Alvaro menanyakan apa yang diucapkan Arman.
"Lima hari yang lalu, Carrel Maxton keluar dari Indonesia,"
"Lalu?"
"Sydney! Dia kesini, pi. Ke Sydney, hanya satu hari. Menurut papi, kenapa dia kesini?"
Alvaro mengerti maksud putra keduanya. Dia mengangguk kecil. Saat mereka sedang berbincang, saat itu Ardan mengerang kecil. Sontak saja, Maura langsung mendekat. Maura melihat kening Ardan berkerut tidak nyaman dan beberapa bulir keringat mulai membasahi wajah tampan itu.
"Mara!" Ardan terlonjak dengan napas memburu. Matanya terbuka dengan cepat.
Ardan seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk, bukan seperti seseorang yang tidak sadarkan diri selama dua hari.
"Tenang Ardan," ujar Maura.
Ardan meringis namun menarik tangan Maura dan memeluk gadis itu.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Harusnya aku yang bertanya begitu, Ardan,"
Ardan masih memeluk Maura mengabaikan rasa sakit dari lukanya yang baru saja dioperasi dua hari yang lalu. Arsen mendekat dan memisahkan kakaknya dari Maura. Tentu saja, Ardan langsung melotot galak pada Arsen.
"Istirahat! Jangan sampai luka di pinggang kanan kakak terbuka lagi jahitannya!"
Ardan mengalah. Dia kembali berbaring dan baru menyadari pinggangnya seperti disengat ribuan tawon. Rasanya sangat menyakitkan.
"Carrel disini, dia menyuruh orangnya untuk mengejar kami kesini,"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...