Tidak pernah dalam bayangan Ardan dia akan berdiri secepat ini di samping putrinya yang mengenakan gaun putih. Ardan merasa semakin tua. Rasanya baru kemarin dia mual dan memuntahkan makanan yang masuk ke mulutnya, dirawat di rumah sakit karena kekurangan asupan nutrisi dan rasanya baru kemarin juga dia menggendong anaknya yang menangis karena popoknya basah.
Ardan merasakan lengannya digenggam kuat oleh jemari lentik putrinya itu. Ardan menepuk punggung tangan yang bertengger di lengannya dengan lembut.
"Jangan gugup, baby!" Gumam Ardan.
"Aku sangat amat gugup, pa. Apa mama seperti ini juga saat dulu menikah dengan papa?"
"Kalau itu tanyakan mama-mu, baby. Papa tidak tahu. Yang papa tahu, papa menunggunya di altar dengan jantung berdegub cepat dan saat melihat dia berjalan mendekati papa, papa hampir menangis melihatnya,"
"Menangis? Kenapa? Karena papa membayangkan akan kehilangan kebebasan papa?"
Ardan terkekeh. Dia mengusap lembut punggung tangan putrinya.
"Bukan, baby. Papa menangis karena melihat mama sangat cantik dalam balutan gaun putihnya. Dia seperti malaikat,"
"Tapi, banyak orang bilang-"
"Itu jika mereka tidak siap dengan pernikahan dan mereka tidak mempunyai cinta yang cukup besar pada pasangan mereka. Percayalah pada papa, Davin akan menampilkan raut yang sama saat dia melihatmu berjalan menuju altar nanti,"
"Dia tidak akan begitu. Papa tahu dengan jelas betapa datar dan kakunya wajah Davin. Sama seperti David,"
Ardan terbahak mendengar putrinya mencibir calon suaminya sendiri.
"Jangan tertawa, pa! Aku serius. Satu tahun menjalin hubungan dengannya dia tidak pernah tersenyum. Bisa papa bayangkan, orang yang tersenyum saja tidak pernah bagaimana bisa menangis?"
"Tidak baik membicarakan suamimu, nak. Lihat baik-baik wajahnya nanti dan kamu akan mengerti," ujar Ardan bersamaan dengan langkah mereka yang terhenti di depan pintu menuju ke dalam gedung gereja.
Ardan membiarkan putrinya dan calon suaminya memilih dimana mereka akan melakukan pengucapan janji pernikahan. Mereka memilih gereja bersejarah di Jakarta.
"Siap?" Tanya Ardan.
"Jujur, belum. Aku gugup, pa,"
Ardan terkekeh kecil. Dia meminta kepada pihak dari WO untuk menunggu sebentar. Ardan menggeser badannya menghadap ke arah putrinya.
"Dengar, jangan perhatikan para tamu di dalam! Perhatikan saja wajah Davin dan ingat dengan ucapan papa tadi. Mau bertaruh?"
"Apa hadiahnya?"
"Bulan madu di kapal pesiar?"
"Aku mau Harmony of the seas, pa,"
"Apapun baby," ujar Ardan sambil mengusap pipi putrinya dari balik veil yang dipakai putrinya.
"Dia akan menahan tangis melihatmu," ujar Ardan lagi.
"Kalau dia tidak menangis, tambahan paket liburan ke maldive," pinta Ella.
"Tentu saja. Nah, sekarang ayo kita masuk,"
Ella mengangguk. Dia meraih lengan Ardan begitu pula Ardan yang meletakan sebelah tangannya di atas punggung tangan putrinya. Ardan mengangguk pada orang yang ditugaskan berjaga di pintu. Ella menghembuskan napasnya kuat-kuat dan saat pintu terbuka, saat itu Ella dan Ardan memasuki gereja.
"Lihat bagaimana wajah Davin, baby," ujar Ardan mengingatkan.
"Oh, Tuhan! Itu benar-benar Davin?" Bisik Ella terkejut sedangkan Ardan hanya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomantizmCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...