With You - 40

500 25 15
                                    

Pukul 21.42 malam, Getha masih sibuk membereskan beberapa barang-barang dirumah barunya. Tempat tinggalnya kali ini benar-benar terletak dipinggiran kota, bahkan halaman belakang rumah Getha adalah hutan belantara. Getha juga tidak mempunyai tetangga, gadis itu serius ingin melakukan isolasi dan menutup diri dari beberapa orang.

Saat ditengah perjalanan tadi, Getha menyempatkan diri untuk membeli beberapa bahan pangan di supermarket pinggir jalan. Getha segera membersihkan diri dikamar mandi setelah tugasnya sudah beres.

Setelah selesai, Getha memakai piyama berwarna merah jambu. Gadis itu duduk disebuah sofa empuk sambil menonton film bergenre Action, salah satu tangannya memegang bungkus roti isi cokelat. Getha pun menonton sambil mengunyah dalam diam, gadis itu juga membuat segelas susu vitamin supaya kesehatannya cepat membaik.

Getha merogoh kantong piyamanya, membuka ponsel dan mulai mencari sekolah tertutup didekat rumahnya.

Getha masuk ke salah satu website non publik, mulai membaca latar belakang dan deskripsi profil beberapa sekolah-sekolah yang terdaftar disana.

Hingga fokus Getha terhenti pada profil sekolah bernama Blackside Independent School, sebuah badan sekolah swasta milik Reana Setiawan.

Getha pun mulai membaca beberapa persyaratan dan cara pendaftaran supaya bisa diterima disekolah itu.

Setelah sudah memahami setiap prosedur yang tertulis di website profil sekolah, Getha pun segera mengurus surat kepindahannya dari sekolah swasta lamanya, SMA Merdeka.

Besok pagi, Getha akan datang ke sekolah untuk mengurus semuanya.

Getha melirik jam dinding, pukul setengah duabelas malam dan Getha pun memutuskan untuk segera bergegas masuk ke dalam kamar guna tidur setelah sebelumnya sudah mematikan TV dan membuang sampah plastik bekas bungkus roti tadi.

***

Pukul setengah tujuh pagi, Getha mengendarai mobil keluar dari pekarangan rumahnya yang cukup luas. Gadis itu melajukan mobilnya dengan santai menuju SMA Merdeka.

Sesampainya ditempat tujuan, Getha memparkirkan mobilnya terlebih dahulu. Getha juga hanya memakai pakaian santai bertema casual. Kebetulan suasana sekolah juga sedang sangat ramai karena SM -SMA Merdeka- sedang mengadakan turnamen besar-besaran dan SM yang menjadi tuan rumah pemilik acara.

Getha juga memakai masker hitam yang menutupi setengah wajahnya, kepalanya juga dibalut topi dengan warna yang senada. Gadis itu juga memakai boot sepanjang lutut dan hoodie oversize berwarna putih.

Getha menundukan kepalanya sepanjang melintasi koridor yang ramai dan dipenuhi oleh murid-murid dari sekolah lain. Kondisi lapangan utama juga sangat ramai, lapangan basket outdoor dan gor badminton juga sangat berisik. Suasana kantin juga sangat gaduh, suara lengkingan peluit terus saling bersahutan di gabung dengan suara-suara manusia yang bersorak heboh penuh semangat.

Getha berusaha membelah kerumunan orang-orang agar segera sampai ke ruang guru lalu setelah itu akan berlanjut ke ruangan TU untuk mengurus semua data lanjutan yang diperlukan. Setelah sampai diruang guru, Getha menemui Bu Sica selaku wali kelasnya selama kelas sebelas.

Mereka sedikit mengobrol dan berbasa-basi ringan, lalu Bu Sica menanyakan alasan kenapa Getha menginginkan pindah sekolah, dan Getha menjawabnya dengan alasan kalau dirinya selama ini mempunyai riwayat penyakit serius yang harus mendapatkan penanganan khusus.

Bu Sica pun mensupport Getha agar tetap bersemangat dalam menjalani pendidikannya, lalu beliau mulai membantu mengurus semua berkas-berkas penting perihal kepindahan Getha dari SM. Pukul setengah duabelas siang, Getha selesai dengan urusannya dan segera bergegas pergi meninggalkan lingkungan SM yang sangat ramai. Tadi malam juga Getha sudah memblokir semua kontak orang-orang terdekatnya, gadis itu juga membeli sebuah alat berteknologi canggih yang berfungsi agar keberadaannya tidak bisa di lacak oleh siapapun.

***

"Pulang nanti Lo mau jengukin Getha ke rumah sakit enggak, Dim?" Tanya Emil, saat ini mereka sedang duduk selonjoran dibawah pohon mangga belakang sekolah yang lumayan sepi.

"Maunya sih gitu, tapi kayaknya gue enggak bisa. Ada beberapa proposal yang harus segera gue selesaikan."

Emil pun mengangguk-angguk.

"Pulang darisini gue mau ikut ke acara pernikahan anaknya teman bokap."

"Lo udah bujang loh, Vin! Masa masih ikut-ikutan kondangan sama orangtua?" Fandi tergelak kencang.

Kevin memutar bolamata. "Gue juga sebenarnya sering nolak, tapi orangtua gue orangnya keras kepala." Balasnya.

Arga dan Emil terkekeh.

Sedangkan Dimas diam melamun.

"Akhir-akhir ini gue mulai jarang ketemu sama Getha, gue juga ngerasa kalo dia diam-diam menjauh. Dia juga udah enggak curhat sama gue lagi, Getha sekarang jauh lebih tertutup."

Emil dan Kevin menatap Dimas.

Fandi mendengarkan tapi dia lebih fokus bermain game online bersama Arga, sesekali mereka ribut dan heboh.

"Mungkin dia lagi ada masalah." Balas Emil memberikan pendapat.

Dimas menundukan kepala.

Acara turnamen juga sedang istirahat.

"Iya, gue juga ngerasanya gitu. Mungkin Getha lagi punya masalah tapi agak kesulitan buat cerita sama kita-kita. Apalagi mungkin, masalahnya itu sangat pribadi. Ya lo tahu sendiri kan kalo Getha itu orangnya sangat tertutup dan menghargai semua privasi. Atau mungkin juga dia enggak mau kita kecipratan masalahnya." Sahut Kevin.

Emil mengangguk-angguk. "Menurut gue, Getha orangnya sangat independen. Kalaupun sekarang dia lagi punya masalah, gue yakin dia bisa ngelewatin semuanya. Otak cerdasnya itu pasti akan menghasilkan solusi, kan? Kita juga enggak boleh terlalu nuntut Getha buat cerita, jangan bikin Getha enggak nyaman dan ngerasa tertekan. Ya, istilahnya jangan terlalu agresif gitu lah. Lo ngerti sama maksud omongan gue kan, Dim?" Ujar Emil.

"Getha enggak mau nunjukin prosesnya sama kita, dia enggak mau kita terbebani sama masalah dia. Getha juga orangnya susah buat diajak cerita tentang kehidupan pribadinya dia, apalagi dia orangnya pinter mengendalikan emosi. Sejauh ini, menurut gue Getha orangnya bukan tipe yang selalu mengekspresikan isi hatinya secara blak-blakan. Kalaupun dia lagi sedih, raut mukanya datar, lagi bahagia juga ekspresinya masih tetap datar." Dimas berucap sambil mencabuti rumput liar disana.

"Bahkan sampe saat ini gue belum pernah lihat Getha ngakak," Fandi menimpali sambil terus main game.

Kevin terkekeh, dia menyenggol lengan cowok itu hingga Fandi salah menekan tombol dan 'game over'

"Sialan Lo, Kev!" Maki Fandi sewot.

Kevin justru malah ngakak.

"Gue rasa semenjak Getha tinggal sama keluarga kandungnya, dia kayak kelihatan kurang ada semangat dan gairah hidup gitu." Kelakar Emil.

Dimas mengangguk membenarkan.

"Gue juga ngerasanya gitu, Mil."

"Oy, Ga! Diem-diem bae ya Lo." Fandi merusuh, cowok itu menekan-nekan layar ponsel Arga dengan berutal, hingga game yang Arga mainkan over.

"Gue bunuh Lo, Fan!" Teriak Arga.

Fandi ngakak, lalu berlari meninggalkan halaman belakang.

"Dia emang agak sinting, Ga." Ujar Kevin, menggeplak bahu cowok itu.

"Lo juga sama loh, Vin." Sahut Emil.

"Diem Lo bucin!" Balas Kevin sinis.

"Bangke!" Emil mendengus.

Melihat hal itu, Arga terkekeh.

Berbeda dengan Dimas yang saat ini malah melamun memikirkan Getha.

***
Minggu, 17 November 2019

Terima kasih sudah membaca Cerita With You. Untuk yang sudah meninggalkan jejak berupa vote dan komentar juga terima kasih banyak.

See you next part.

WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang