"Salah satu kunci hidup bahagia adalah mengurangi kebiasaan berasumsi dan mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Jadi tolong, berhenti berpikir terlalu banyak dan mulailah mengambil tindakan. Papa harap kalian berdua mau mempertimbangkan hal itu." jelas David---papa Dimas.
Getha terdiam. Begitupun dengan Dimas. Keduanya sama-sama menunduk mendengar nasihat David.
"Kamu juga, Ge. Usia mu sudah 27 tahun loh, enggak ada keinginan mau menikah?" sambung Fero.
"Ada." jawab Getha jujur.
"Bunda dulu menikah di umur 25 tahun loh Ge, di usia 27 bunda sudah punya Netha." sahut Rosa.
Marissa---mama Dimas, mengangguk setuju. "Jadi, kapan kalian menikah?"
Getha dan Dimas kompak menatap Marissa dengan bolamata yang membulat sempurna.
"Maksud Mama apa?" tanya Dimas.
Marissa berdehem. "Bukannya kamu dari dulu suka ya sama Getha? enggak usah pura-pura enggak tahu maksud mama deh, Dim."
Dimas menghela nafas. "Ma---"
"Memangnya kalian mau menunggu apa lagi sih, hm?" kilah Marissa.
"Besok Pusaka dan Jasmine juga kesini. Bunda harap kalian berdua sudah mempertimbangkan saran dari David tadi." kali ini Rosa yang menimpali.
David mengangguk menyetujui ucapan kakaknya. "Benar, ini juga demi kebaikan kalian berdua."
"Ini sudah terlalu larut malam, lebih baik kalian istirahat. Kita lanjutkan pembicaraan ini besok pagi." Fero bangkit berdiri dari sofa.
"Nah, Ge. Kamu pengin nginep di rumah Dimas atau gimana?" tanya Fero menatap putrinya.
"Pulang sama Ayah dan Bunda saja."
Fero mengangguk. "Ayo," ajaknya pada istri dan putrinya.
Hari sudah semakin larut, dengan membahas topik yang serius seperti itu membuat mereka semua kehilangan rasa kantuk. Apalagi kini jam sudah menunjukan pukul 3 dini hari.
***
Getha menatap langit malam dengan mata kosong, kedua tangannya bertumpu pada besi pembatas balkon. Sesekali gadis itu menghela nafas, sesekali juga Getha melirik balkon kamar Dimas yang memang berhadapan dengan balkon kamarnya.
Sudah lama sekali dia tidak menginjakan kaki di kamar ini semenjak insiden dirinya pindah rumah bersama orangtua kandungnya. Getha juga menghabiskan masa kecil dan remajanya di kamar ini, benar-benar kamar yang penuh dengan kenangan.
Dulu, Getha selalu menulis impian masa depannya di dalam kamar ini. Belajar sambil mendengarkan lagu dan di temani secangkir teh juga sepiring biskuit. Lengkap dengan laptop dan tumpukan buku tebal koleksinya.
Getha tersenyum mengingat itu semua. Tidak terasa kini semua impian yang ia tulis dulu semuanya sudah terwujud. Apalagi saat mengingat masa kuliahnya dulu, saat itu pula hidupnya mulai bermasalah. Dari datangnya Kenny, hingga fakta mengejutkan mengenai penyakit yang di derita Arga. Di masa itu pula ia kehilangan Arga untuk selama-lamanya.
Seperti yang kalian tahu Getha menempuh pendidikan S1 di Stanford University selama 3 tahun. Lalu mengambil konsentrasi bidang bisnis dan administrasi lanjutan di Harvard University. Tidak sampai di situ, Getha menempuh pendidikan S2 nya sebanyak dua kali. Setelah lulus dari Harvard dengan gelar MBA, Magister Business Administration. Getha kembali melanjutkan pendidikan S2 nya di MIT, Massachusetts Institute Of Technology, namun dengan jurusan yang berbeda. Selama menjadi mahasiswa di MIT Getha menekuni bidang Design. Sebenarnya setelah lulus dan mendapat gelar MBA di Harvard kedua orangtuanya menginginkan Getha untuk masuk ke perusahaan Clinton Group---milik Fero dan Stewart Company---milik Pusaka. Namun Getha menolak ajakan dari kedua orangtuanya dengan alasan bahwa dirinya masih belum bisa melepas kepergian Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU
Teen Fiction[PROSES REVISI] Ini tentang Getha Nathalia dan dunianya yang berubah 180° semenjak bertemu dengan kedua orang tua kandungnya. Di saat kerumitan di dalam hidupnya di mulai, sesosok laki-laki bernama Reygan Argara membuat kerumitan hidup yang di ala...