"Ketika variabel x,y dan z yang selalu kita cari, ketika trigonometri sudah tidak mampu mengukur sudut pandang kita, dan ketika vektor sudah tidak memiliki arah, muncul lah titik singgung yang terkadang tidak menyadarkan kita akan salah dan khilaf yang dapat mencapai limit tak terhingga, bahkan aljabar pun seakan tidak bisa menjabarkan salah perbuatan kita yang telah membentuk barisan dosa oleh karena itu berdasarkan modus ponen, tollens dan silogisme dalam waktu yang singkat ini, mari menetralkan hati dan mengeliminasi semua variabel dosa yang telah terefleksi dalam diri dengan saling memaafkan. Mohon maaf lahir dan batin, ya guys." Metha tersenyum lebar, gadis itu memakai gaun berwarna peace dengan flat shoes berwarna senada, rambutnya sengaja di gerai yang sukses membuat siapa saja terpana melihatnya. Metha yang dulu pecicilan dan selalu pakai celana ketat sobek-sobek, kini tampil kalem.
Semua di buat melongo melihat penampilan dan perkataan gadis itu. "Lo barusan ngomong apaan dah, Met?" Kevin menggaruk rambut klimisnya dengan tampang polos tanpa dosa.
Metha memutar bolamata jengah. "Ngakunya sekolah di Sidney, gitu aja enggak ngerti."
Kevin mendengus. "Enggak usah bawa-bawa nama sekolah deh, lo! Mentang-mentang sekolah di Oxford."
"Siapa juga yang bawa-bawa nama sekolah?!" kilah Metha ngegas, membuat Rica dan Fandi siap siaga mencekal lengan pasangan mereka masing-masing, aura pertanda perang antara Metha dan Kevin rupanya sudah tercium oleh sahabat-sahabat mereka.
"Tau nih, udah dewasa masih aja kayak bocah." komentar Emil.
"Diem lo!" sinis Kevin.
"Udahlah Pin, umur udah nambah masa tingkah mau kayak anak kecil terus." lerai Fandi.
"Ca, cowok lo tuh urusin!" sinis Metha lalu melenggang pergi dan berbaur dengan tamu-tamu undangan yang lain, Fandi pun mengikuti langkah gadisnya.
"Dasar bucin!" ejek Kevin sambil memperhatikan Fandi yang repot kesana-kemari mengikuti Metha.
"Ngaca woi," sindir Emil.
Rica dan Urel kompak terkekeh. "Kevin emang suka enggak ngaca ya, Ca?" tanya Urel.
"Yagitu deh," Rica mengangkat bahu sambil menahan senyum.
"Hm, aku ke Kak Gara dulu ya ehehehe." pamit Urel lalu melenggang pergi entah kemana.
"Dasar, mentang-mentang udah punya cowok! Bye the way tuh anak udah move on dari Dimas, ya?" ucap Emil.
"Dulu aja lo banyak diem, sekarang kok jadi banyak omong sih, Mil?" Kevin melangkah mendekat pada Rica, sedangkan matanya melirik malas Emil.
"Lo juga dari dulu sampai sekarang ngebacot terus!" balas Emil.
"Mikha?" panggil Rica.
"Ya?" sahut gadis itu.
"Kok lo diem aja sih? kenapa,"
"Bukannya gue memang gini ya?"
"Eh, iya juga sih ya." Rica cengegesan, merasa canggung sendiri. Maklum sudah lama ia tidak bertemu dengan sahabatnya yang satu itu.
"Dimas sama Getha mana?" Emil celingukan tidak jelas.
"Gue masih enggak nyangka banget lho kalo Arga pergi secepat itu. Gue enggak bisa bayangin perasaan Getha kayak gimana." Rica berucap dengan nada sedih.
"Seharusnya dengan kejadian itu kita harus mulai paham, bahwa yang datang pasti akan pergi dengan caranya masing-masing. Enggak ada yang bisa di paksain, nikmati saja prosesnya." sahut Mikha. Membuat mereka bertiga diam.
***
Acara pernikahan yang sempurna, resepsinya diadakan dengan tema outdoor yang diadakan di Oneroa Beach, Auckland, New Zealand. Gemerlap lampu dan semilir angin malam memperindah suasana. Boyband terkenal asal Korea Selatan pun ikut memeriahkan suasana diatas panggung yang disediakan, semua tamu undangan berteriak heboh saat salah satu dari member boyband melakukan aksi kiss jauh pada semua penonton, terutama para kaum hawa yang bertingkah seperti orang gila mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU
Teen Fiction[PROSES REVISI] Ini tentang Getha Nathalia dan dunianya yang berubah 180° semenjak bertemu dengan kedua orang tua kandungnya. Di saat kerumitan di dalam hidupnya di mulai, sesosok laki-laki bernama Reygan Argara membuat kerumitan hidup yang di ala...