08

1.2K 74 0
                                    

Setelah pertemuan tak terduga itu, mereka memutuskan untuk menikmati pagi yang indah dengan jalan-jalan bersama.


"Berasa double date," komentar Kayla dengan senyum lebar.


Seharusnya Theo dengan Kayla, Nida dengan Hanif. Tapi kali ini, Theo terus saja ingin berada dekat Nida.


"Theo! Ih, sama aku sini." Kayla menarik tangan Theo dan menggandengnya erat.


Hanif merangkul Nida dan tersenyum manis padanya. "Gak usah takut, ada gue."


Nida membalas senyum Hanif dengan tatapan hangat.


Mereka berjalan hingga berhenti di sebuah kafe yang menawarkan pemandangan kebun teh yang asri.


Nida dan Hanif duduk bersebelahan, sementara Kayla dan Theo berada di hadapan mereka. Mau tidak mau, Nida sering kali bertemu pandang dengan Theo.


"Mau pesan apa?" Theo bertanya, namun matanya tak lepas dari sosok di hadapannya.


Kayla sibuk melihat-lihat menu, tapi tampaknya tak ada yang menarik perhatiannya.


"Da, ada salad. Lo mau?" tawar Hanif.


Nida mengangguk, melihat ada salad favoritnya di menu.


"Gua juga salad. Hmm, Nida pasti minumnya strawberry milk," ucap Theo dengan semangat.


Nida terkejut, mantannya ini masih ingat kesukaannya. "Lo pasti minumnya black coffee kan? Dan harus minum pas lagi panas-panasnya?"


Theo tertawa. "Haha iya, dan lo inget gak Da? Gua pernah kepanasan pas minum tuh kopi."


"Bukan pernah lagi, tapi sering. Haha, lo sih gak kira-kira dulu kalau mau minum."


"Da, liat deh," Theo menunjuk ke luar jendela.


"Wah, kebun teh. Jadi inget pas tour ke sini deh, Theo. Dulu gua ngambek karena gak bisa dapetin pucuk teh yang dipinta bu guru."


"Iya, gua inget banget, lo lucu banget pas ngambek."


"Ehem!" Kayla dan Hanif berdehem.


Mereka merasa seperti nyamuk, dari tadi cuma menyimak.


"Eh, maaf ya sayang, jadi kacangin kamu," ucap Theo pada Kayla.


Nida hanya bisa tersenyum miris, hatinya terasa seperti tersayat.


"Eh, btw, lo yang waktu itu datang-datang mukulin gua kan?" Theo baru sadar akan kehadiran Hanif yang sudah sejak tadi bersama mereka.


Hanif mengangguk. "Iya. Tapi gua ada alasannya."


Theo mengerutkan dahinya. "Alasan?"


Hanif tertawa sinis. "Gak usah dibahas, yang penting gua udah lumayan puas mukulin lu."


"Maksud lo apa?" nada bicara Theo mendadak menjadi dingin.


Hanif membalas tatapan Theo dengan sinis. Nida, yang memahami situasi ini, mencoba mengalihkannya. "Eh, itu makanannya udah datang. Ayo makan, soalnya gua laper banget dari tadi."


"Laper banget ya? Makanya gua bilang juga apa, dari tadi udah disuruh makan juga." Hanif mengacak-acak rambut Nida.


Nida memukul pelan lengan Hanif. "Berantakan."


Brak!


Theo menggebrak meja. "Kalo makan gak baik sambil ngobrol."


Akhirnya mereka makan dengan tenang. Kayla juga diam saja, melihat mimik wajah Theo yang berubah sangat dingin. Hanif hanya sesekali menatap Theo dengan sinis, tetapi ia tetap bisa mengatur ekspresinya.


"Kalian?"


Theo, Nida, Kayla, dan Hanif menoleh ke arah suara tersebut.


"Jay?" ucap Nida malas.


"Eh Nida. Gua gabung ya? Penuh banget bangkunya, pas banget di sini sisa satu."


"Belum disuruh juga lu," kesal Nida, makin malas atas kehadiran sosok ini.


Jay menatap Hanif tak percaya. "Lo kan? Woy Theo! Ini yang gebukin lu waktu itu. Alumni 18 nih pasti."


Padahal suasananya sudah lumayan tenang, karena ucapan Jay barusan jadi kembali memanas.


Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang