72

546 53 5
                                    

Kayla dan juga Theo tengah berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya Theo. Awalnya Kayla merasa sedikit takut jika kedua calon mertuanya itu masih sama seperti dulu, tidak menyukai Kayla. Tapi nyonya Edison bilang bahwa ia telah melupakan semua masa lalu, dan mereka menerima Kayla kembali. Begitu pula dengan kedua orangtuanya Kayla, mereka sudah mengetahui jika anaknya kembali bersama Theo. Dan mereka menerima itu.

Sedari tadi mereka sedang membahas masalah pernikahan, karena memang mereka menginginkan acaranya dibuat sesegera mungkin.

"Kay, kamu gak keberatan atas kehadiran Nara?" tanya Rena.

Kayla menggeleng pelan. "Gak kok, tan."

"Kamu serius?" tanyanya sekali lagi.

"Iya. Kayla siap kok jaga Nara." jawab Kayla mantap.

Rena dan Faldi melempar senyum bahagia, akhirnya ada yang ingin menikah dengan Theo dan tidak keberatan atas kehadiran Nara.

"Tapi Kay, kalo kamu merasa keberatan, Nara tinggal bersama kami juga gapapa. Atau untuk satu tahun pertama Nara tinggal bersama kami, biar kalian fokus sama rumah tangga kalian dulu, dan nanti setelahnya Nara baru bisa tinggal bersama kalian." usul Faldi.

Kayla masih memikirkan ini matang-matang, takut jika ia salah ambil keputusan.

Theo menatap ke arah gadisnya. "Soal Nara nanti aja dipikirinnya ya, kita fokus sama pernikahan kita dulu."

Kayla mengangguk. "Iya, Theo."

"Nah bagus kalo gitu. Nanti kita tinggal atur semuanya, dan secepat mungkin kalian akan menikah. Biar mama aja yang urus semuanya."

"Tante gak keberatan? Kayla bantu aja ya?"

"Gak usah Kay, kamu fokus ke Theo dulu aja. Lagi pula keluarga Emorist mau bantu tante, Nida sama Samuel juga mau ikut bantu."

Kayla mengangguk paham. Dulu mereka semua pasti mengira keluarga Edison akan berbesanan dengan keluarga Emorist, tapi Tuhan dan takdir berkata lain.

Setelah menyelesaikan acara perbincangan mengenai detail pernikahan, Kayla pamit untuk pergi menemui Jeffry. Awalnya memang Theo melarangnya, tapi Kayla hanya ingin bertemu dan membicarakan suatu hal, ia tidak berniat untuk bermain di belakang Theo. Theo mengiyakan, ia mengantarkan Kayla sampai ke sungai yang tak jauh dari rumahnya, setelahnya Theo harus pergi ke kantor karena ada beberapa berkas yang belum ia tanda tangani.

Kayla berjalan sampai ke tepi sungai, ia menyandarkan tubuhnya pada pembatas di sana. Perlahan ia menutup matanya, dan menghirup udara yang segar nan sejuk ini. Matanya kembali terbuka saat orang yang sudah ia tunggu akhirnya datang juga. Jeffry ikut menyandarkan tubuhnya pada pembatas di sana. Dalam waktu yang sama, mereka saling melemparkan pandangan, menatap satu sama lain, dan mengukirkan sebuah senyuman.

"Apa kabar?" tanya Jeffry.

"Baik. Lo sendiri?"

"Jauh lebih baik. Terutama saat gw tau lo udah dapetin kebahagian lo, Kay. Gw bahagia atas semua kebahagiaan lo."

Kayla semakin mengukirkan senyumnya. "Makasih Jeff. Makasih buat semuanya. Dan maaf, karena gw gak bisa bal--"

Jeffry meletakkan telunjuknya pada bibir Kayla. "Gak usah dibahas Kay, itu gak penting lagi untuk sekarang. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari itu."

"Apa?"

"Kebahagiaan lo."

Entah kenapa Kayla merasakan rasa sakit, ia bahkan sudah mulai mengeluarkan air matanya. Kayla memang mencintai Theo, tapi dengan melihat orang setulus Jeffry yang tak dapat ia cintai membuatnya semakin merasa bersalah.

"Eh, kok nangis."

Kemarin Jeffry bergerak menghapus butiran-butiran air mata orang yang ia cintai ini. "It's okay, i'm fine. Jadi lo gak boleh nangis ya."

"Maaf gw ngecewain lo."

"Gak Kay, lo sama sekali gak ngecewain gw. Gw cuma bakal kecewa kalo lo gak bahagia."

"Maaf."

Jeffry menggeleng. "Jangan minta maaf sama gw, lo gak pernah punya salah sama gw. Kay, gw memang masih sangat mencintai lo. Tapi gw gak akan egois maksa lo untuk balas cinta gw. Gw cuma minta satu hal sama lo, terus bahagia ya. Gw tau ini emang kedengeran pengecut tapi." Jeffry menggantungkan ucapannya.

"Tapi apa?"

"Gw bakal berhenti ngejar lo, Kay." Jeffry membawa jemari Kayla ke dadanya. "Lo ngerasain detaknya Kay? Haha, gw masih cinta kok, lo gak perlu takut. Tapi memang dari dulu gw gak mau maksain ke lo, cukup dengan lo bahagia, gw akan ikut bahagia."

"Jeffry.."

Kayla memeluk Jeffry, menumpahkan segala kesedihannya di sana. "Mungkin ini memang yang terbaik Jeff. Lo merupakan contoh manusia yang sangat baik, Tuhan pasti sudah menyiapkan suatu hal yang lebih besar dan lebih baik buat lo. Gw yakin, lo akan dapat yang jauh lebih baik. Makasih Jeff, makasih untuk segalanya."

Jeffry balas memeluk Kayla, ia mengusap-usap bahu Kayla. "Gw yang seharusnya berterima kasih. Makasih lo udah lahir ke dunia ini, berkat lo, gw tau arti dari kata tulus yang sesungguhnya. Tapi maaf, maaf kalo gw masih nyimpen rasa sama lo."

Kayla semakin mempererat pelukannya. "Jangan ngomong kayak gitu, Jeff."

Perlahan Jeffry melepaskan pelukannya, ia ingin kembali menghapus air mata Kayla, namun ia urungkan. "Coba lihat ke belakang lo, Kay."

Kayla menurut, ia membalikan badannya. Ia segera mengusap matanya, dan mencoba untuk tersenyum. Theo berjalan mendekat dan menarik Kayla ke dalam dekapannya.

"Loh, katanya mau ke kantor?" Kayla berusaha berbicara seperti biasa, walau sejujurnya ia masih menahan tangisannya.

Theo menggeleng, ia malah semakin mempererat dekapannya.

"Kenapa Theo, ada masalah?" tanya Kayla sembari mengusap-usap punggung Theo.

"Jangan nangis kecuali tangisan bahagia."

Kayla tertawa. "Iya, ini aku gak nangis kok."

"Bohong!"

"Iya aku gak nangis ini, udah lepasin dulu pelukannya."

"Gak mau!"

Kayla lagi-lagi tertawa, ini calon suaminya bisa ngegemesin juga ternyata.

"Cinta sama lo ngajarin gw banyak hal, terutama rasa sakit. Tapi ngeliat lo bahagia kayak sekarang aja udah cukup bikin gw ikut bahagia." ucap Jeffry tiba-tiba.

Kayla segera melepaskan dekapan Theo, ia kembali beralih kepada Jeffry.

"Gw akan selalu minta sama Tuhan supaya lo bahagia, Kay."

"Dan mulaisekarang gw pun akan berdoa seperti itu untuk lo, Jeff."

Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang