61

526 58 12
                                    

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Ansen Theo Edison, pria yang kini menginjak usia 23 tahun sudah menjadi pewaris tunggal Edisons Group. Laki-laki tampan nan kaya itu selalu sibuk mengurusi pekerjaan yang entah kapan akan selesai. Saking sibuknya, ia bahkan jarang menghabiskan waktu bersama keluarga maupun teman-temannya.

"Apa ada rapat lagi hari ini?"

Sang asisten mengangguk. "Ada tuan, jam empat sore nanti."

"Baik, saya akan keluar dulu sebentar."

Theo melepaskan jas yang ia pakai, melonggarkan sedikit dasinya, dan melipat lengan bajunya hingga ke siku. Ia beranjak dari kursinya, berjalan melewati koridor kantor. Sampai akhirnya langkahnya harus terhenti saat anak perempuan lari menghampiri ke arahnya bahkan memeluk kakinya.

"Daddy!"

Theo tersenyum manis dan membawa anak perempuan itu ke dalam gendongannya. "Eh anak daddy, kamu ke sini sama siapa sayang?"

"Sama mamah."

"Mamah?"

"Itu mamah!" anak perempuan manis tersebut menunjuk ke arah belakang Theo.

Theo membalikan badannya.

"Siang, Theo." sapanya dengan hangat.

"Iya." jawab Theo dengan dingin.

"Daddy daddy! Nala mau cekulah!"

Theo mengerutkan dahinya. "Sekolah? Nara kan masih empat tahun sayang, tunggu satu tahun lagi ya."

Nara Edison, anak dari Theo dan juga wanita yang pernah ia hamili dulu. Usia Nara baru menginjak empat tahun, dan tumbuh semakin cantik setiap harinya.

"Yah daddy, macih lama dong? Nala kan mau ketemu cama kaka tantik."

"Kita jemput kakak cantik aja ayo, ngumpung masih jam makan siang. Nara mau?"

Nara mengangguk semangat. "Mau!!"

Theo menatap wanita yang menjadi ibunya Nara dengan dingin. "Saya mau ke Adzrilla School dulu, saya mau ajak Nara."

"Iya Theo, tapi--"

"Apa?"

"Aku butuh uang."

Theo berdecak sebal. "Berapa?"

"18 juta."

"Buat apa uangnya?"

"Buat keperluan Nara."

"Bukan buat foya-foya kan?"

"Enggak kok, itu buat Nara"

"Awas aja sampai bohong! Ya udah sana minta sama asisten saya, bilang saya sudah setuju."

"Iya Theo, makasih." ucapnya dengan senyum yang mengembang.

Theo tak mengubrisnya, ia segera membawa Nara ke tempat yang sedari tadi Nara sudah nanti-nanti.

Di sini lah mereka sekarang, Adzrilla School. Sekolah elit yang menyediakan taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas.

"Daddy, ayo daddy! Nala udah nda tabar!"

"Iya-iya! Eh Nara jangan lari!"

Nara lari hingga terlepas dari genggaman Theo. Saking semangatnya ia harus kesandung dengan kakinya sendiri, itu membuatnya jatuh dan menangis dengan kencang.

"YA AMPUN NARA!"

Theo yang tadinya akan menggendong Nara, berhenti di tempat dan segera mengukirkan senyumnya.

"Kamu gapapa Nara?"

Nara yang tadinya menangis langsung tersenyum ke arah wanita cantik yang sedang menggendongnya. "Ndapapa kok kakak tantik."

Nida tersenyum saat lagi-lagi Nara memanggilnya dengan sebutan itu, kakak tantik. Nida yang sedang menggendong Nara segera mencium pipinya, terlalu gemas dengan tingkah anak kecil yang satu ini.

"Apa kabar?" tanya Theo.

Nida beralih menatap Theo. "Baik kok. Lo sendiri?"

"Baik juga. Ngomong-ngomong, gimana tentang penawaran aku minggu lalu?"

"Kerja di kantor lo ya, Theo? Aduh gimana ya, gw udah nyaman ngajar anak-anak kecil di sini."

Setelah lulus darikuliah, Nida iseng-iseng mencoba mengajar di taman kanak-kanak. Awalnya hampir tidakbetah, tapi lama-lama malah nyaman, dia selalu dibuat gemas oleh tingkahanak-anak di sini.

"Sayang banget loh Da, kamu lulus sebagai mahasiswi terbaik. Lagi pula kamu ngambil jurusan sastra indonesia, apa beneran gak sayang?"

Nida menggeleng. "Enggak kok, lagi pula sastra Indonesianya masih kepake. Kan gw juga udah jadi penulis sekarang."

Theo menggaruk tengkuknya. "Hehe, iya juga ya. Oh ya Da, kalo ajakan aku yang satu lagi gimana?"

"Gw masih mau nunggu Samuel pulang, Theo. Sorry."

Nara yang mendengar itu langsung kembali menangis, bahkan ini lebih kencang. "Huwaaa kakak tantik jangan mau cama om gayak! Nala nda suka! Kakak tantik cama daddy aja."

"Cup cup, gakgitu sayang maksud kakak. Udah ya, cup cup." Nida berusaha untukmenenangkan putri dari mantan kekasihnya ini.

"Bahkan Nara sendiri yang minta kamu jadi ibunya."

Nida terdiam, mematung dan tidak tau harus berkata apa. Ia menatap Narayang matanya masih berkaca-kaca, sungguh tak tega. Tapi ia juga masih maumenunggu kepulangan kekasihnya saat ini yang masih bertugas dan entah kapanakan pulang; Samuel a.k.a jendral Samuel (AU).

Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang