58

574 60 25
                                    

Theo sedang berdiri di depan gerbang rumah tuan Emorist. Ia masih setia berdiri di sana karena ia masih belum percaya diri, dan ada rasa takut yang dirasa.

Ingat saat tuan Jeon dan Jack memarahi bahkan memukulnya?

Itulah sebabnya Theo sedikit takut.

"Loh, nak Theo?"

Theo terkejut saat nyonya Emorist menyadari keberadaannya, ia menghampiri dan membukakan gerbang untuk Theo.

"Ada perlu sama Jack? Atau Nida? Sini kamu masuk dulu."

Theo mengangguk lalu tersenyum canggung. "Iya makasih, tante."

Mereka berjalan memasuki rumah, dan jantung Theo semakin berdegup kencang.

"Kamu duduk dulu aja, tante panggil Jack sama Nidanya."

"Tante maaf, Theo cuma ada perlu sama Nida."

"Oh gitu, ya udah sebentar."

Selepas kepergian nyonya Jeon, Theo duduk di salah satu sofa di sana. Ia mengedarkan pandangannya, menatap setiap foto yang di pajang di sana. Senyumnya terukir saat ia melihat foto Nida yang sedang tersenyum manis.

 Senyumnya terukir saat ia melihat foto Nida yang sedang tersenyum manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cantiknya masih sama." gumamnya.

"Theo?"

Theo sontak berdiri, ia terkejut akan kemunculan tuan Emorist.

"Selamat pagi, om."

Theo awalnya ragu untuk salam kepada tuan Jeon, tapi tuan Jeon sendiri yang mengulurkan tangannya terlebih dahulu.

"Pagi juga."

Apa Theo sedang bermimpi?

Mengapa tuan Emorist tersenyum ke arahnya?

"Hmm, Theo. Ada yang ingin om bicarakan sama kamu."

"Tentang apa itu om?"

"Tentang Nida, jadi.."

"Pagi papah, eh. Pagi juga Theo." ucap Nida sembari menuruni tangga dan berjalan ke arah mereka.

"Pagi putri papah yang cantik."

"Papah ih jangan ngomong kayak gitu di depan Theo."

"Kenapa memang? Malu ya kamu?"

Nida memutar bola matanya malas, papahnya kebiasaan banget, pagi-pagi suka iseng.

"Da. Jalan yuk!"

"Jalan? Jalan kemana?"

"Terserah kamu mau kemana, aku ikut aja."

"Kan lo yang ngajakin gw jalan Theo, masa gw yang nentuin mau kemananya."

Theo menggaruk tengkuknya, tiba-tiba ia merasa canggung.

"Gimana kalo ke belakang aja, Theo?"

"Boleh."

"Ya udah papah, Nida sama Theo mau ke belakang dulu ya."

"Iya, hati-hati kalo berduaan yang ketiganya setan."

Nida menatap papahnya lalu tertawa. "Loh berarti papah?"

"Astagfirullah, kamu ngatain papah kamu sendiri setan?"

"Kan papah tadi bilang kalo--"

"Udah udah, sana ke belakang!" usir tuan Emorist.

Nida langsung pergi begitu saja, masih ada hawa-hawa kesel sama tuan Emorist. Emang iseng banget papahnya, 11 12 sama Jack.

Theo mengikuti Nida dari belakang. Dan akhirnya mereka sampai di sana, di belakang rumah kediaman tuan Jeon. Tepatnya mereka sedang duduk di pinggir kolam renang. Sesekali Nida memainkan kakinya di dalam air, bahkan ia menunduk dan tidak mau menatap Theo yang sedari tadi sudah menatapnya lebih dahulu.

"Da, ada yang mau aku omongin."

"Ngomong apa?"

"Lihat ke aku dulu sini."

Theo menarik dagu Nida agar menatap ke arahnya.

Tatapan ini, tatapan yang Nida ingin hindari. Namun itu kembali, ini semakin sulit dimengerti.

"Apa?"

Theo menarik dan menghembuskan napasnya secara perlahan, setelahnya ia tersenyum ke arah Nida dengan tulus. "Aku mau perbaiki semuanya."

"Aku mau ngomong serius sama kamu Da, tolong jangan dipotong ya selama aku ngomong."

Nida mengangguk. "Iya."

"Sebelumnya aku minta maaf yang sebesar-besarnya, sama kamu dan sama keluarga kamu. Aku tau kesalahan aku bukan kesalahan yang gampang dimaafin dan dilupain gitu aja. Tapi aku serius, aku minta maaf.. "

" ..Aku tau baik kamu, Kayla, anak Bangtan, Samuel dan yang lainnya pasti nganggep aku jahat. Kalian pasti anggap aku adalah laki-laki brengsek, gak punya hati, egois, pemaksa, bahkan gak tau diri.. "

" ..Tapi sumpah demi Tuhan, aku mau berubah Da. Tolong, terima dan bantu aku untuk lewati semua proses itu. I still love you."

Nida tertawa sinis, ia membuang wajahnya ke arah lain. Kalimat itu sudah menjadi kalimat yang ia letakan dalam kenangan.

"Boleh gw jawab?"

"Boleh."

Nida kembali menatap Theo, tetapi tanpa senyuman.

"Theo, gw gak mau munafik, gw masih ada rasa sama lo. Tapi rasa itu gak sedalam yang dulu, gak seluas yang dulu. Gw bukannya bosen atau gimana. Tapi makin ke sini gw makin paham, lo sama gw gak bakal bisa kayak dulu."

Theo langsung menggelengkan kepalanya, ia menggenggam jemari Nida. "Aku mohon, aku mau perbaiki."

Nida melepaskan lengan Theo darinya. "Gw udah pernah kasih kesempatan bukan? Tapi lo lagi-lagi langgar."

"Aku mohon sekali lagi, Da. Kasih aku kesempatan."

"Maaf Theo, gak bisa."

"Kenapa? Apa karena semua kesalahan yang pernah aku perbuat ke kamu? Aku bakal sujud sekarang juga di kaki kamu."

"Apaan si Theo, gak usah sampe segitunya!"

"Makanya, tolong balik lagi kayak dulu."

"Gak bisa, Theo."

"Kenapa? Kenapa gak ada kesempatan untuk aku perbaiki semuanya dari awal lagi? Kenapa?"

"Maaf, tapi gw mencintai orang lain."

Theo menunduk, ia tau siapa orang yang dimaksud olehnya.

"Maaf Theo, gw gak bisa kayak dulu lagi."

"Tapi aku udah ngerebut sem--"

Nida segera menggeleng. "Gak gitu kejadiannya."

"Maksud kamu?"

Nida berdiri, lalu menepuk bahu Theo. "Cari tau sendiri aja ya, kali-kali lo harus berjuang. Kalo lo udah tau semua faktanya, nanti kita tinggal liat, apa lo masih mau minta balikan sama gw."

"Maaf Theo, gw buru-buru. Gw ada janji."

Theo kembali meneteskan air matanya. Lagi dan lagi ia kembali merasakan rasa sakit dan sesak ini secara bersamaan.

Apa ini yang dirasakan oleh para wanitanya dulu?

Ia baru sadar bahwa dirinya sangatlah kejam.

'Tuhan, apalagi ini?Tak cukupkah engkau menolak Kayla untukku? Kenapa engkau juga menolak Nidauntukku?'

Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang