59

618 59 25
                                    

Theo berjalan menyusuri sungai, tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. Ia berhenti, dan bersandar pada pembatas pagar. Mengepalkan lengannya seraya menahan air matanya yang hampir saja keluar, setelahnya ia menghembuskannya napasnya secara kasar. Banyak yang ia pikirkan sekarang. Terlalu berat masalah yang ia hadapi.

Semalam..

"Jadi bener kalo Nida sama gw--?"

Yuda mengangguk. "Syukurnya lo belum apa-apain dia." ucapnya sembari tersenyum manis.

"Lo suka?"

"Suka? Sama?"

"Nida?"

Yuda terdiam, senyum manisnya luntur begitu saja.

"Jawab aja yang jujur, gw juga gak akan marah."

"Gw jawab yang jujur juga gak bakal bikin Nida suka sama gw."

"Maksud lo?"

"Gw rasa dia lagi cinta sama orang lain." Kata Yuda dengan suara sendu.

"Samuel?"

"Entah, tapi yang jelas gw mau lihat dia bahagia."

"Segitunya lu cinta sama Nida? Sampe rela ngorbanin perasaan lo."

"Yang penting orang yang gw cinta bahagia, itu udah lebih dari cukup buat gw."

"Termasuk sama gw?"

"Dulu gw mikirnya si gitu, tapi sekarang-sekarang enggak deh."

"Kenapa?"

"Gw rasa lo bukan sumber kebahagiaannya lagi."

Theo menunduk lesu, terlalu menyakitkan untuk mendengar itu.

"Theo, gw mau nanya serius sama lo."

Theo kembali menatap Yuda.

"Tentuin sekarang juga, Nida atau Kayla?"

Theo terdiam, pertanyaan tersebut sangat sulit untuknya. Keheningan pun terjadi, baik Yuda dan Theo masih sama-sama terdiam.

Sampai akhirnya...

"Kalo lo belum bisa milih, Nida gw bawa kabur aja lah. Gw Kawinin langsung, daripada sama lo, digantung mulu."

Theo tertawa miris. "Gw udah coba ngobrol sama Nida. Dia udah bisa maafin gw, tapi gak bisa nerima gw lagi."

"Terus lo mau nyerah gitu aja?"

Theo menggeleng. "Sebelum Nida yang nyuruh gw buat mundur, gw bakal terus maju."

"Kayla?"

Theo kembali terdiam.

"Lo masih brengsek ternyata Theo, haha." ucap Yuda diselingi tawa sarkasnya.

"Lo pernah ada di posisi gw?"

"Enggak, dan gak akan pernah mau."

Brak.

Theo memukul meja dengan sangat keras, ia berdiri dan memberikan tatapan tajamnya kepada Yuda. "Makanya gak usah sok bilang-bilang gw brengsek. Lo gak ngerasain jadi gw gimana, lo gak tau beratnya semua beban yang gw pikul"

"Gw emang gak bakal tau rasanya Theo, tapi coba lu pikir lagi deh. Mau sampe kapan lo begini terus? Apa tadi kata lo? Beban? Haha. Mau sampe kapan juga lo nyakitin dua orang sekaligus?"

"Bukan dua, bahkan sekarang tiga." Theo memelankan suaranya.

Yuda menyipitkan matanya. "Maksud lo?"

Theo membuang wajahnya ke arah lain. "Dia hamil.."

Iya, semalam Theo meminta penjelasan kepada Yuda dan berakhir ia memberitahu tentang kejadian yang tidak ia inginkan itu.

"Gw bodoh, lagi-lagi gw bodoh!"

Sebelum berangkat ke sungai, Theo juga sempat mampir ke kediaman Kayla.

Tapi apa yang ia dapatkan?

Hanya kenyataan yang pahit.

"Theo? Ada apa?"

"Aku kangen sama kamu."

"Gombalnya masih belum ilang ternyata."

"Aku serius, aku kangen sama kamu."

"Masalah sama kak Nida gimana? Udah kelar?" tanya Kayla yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gitu deh."

"Gak mau coba perbaiki?"

"Nidanya nolak."

"Terus mau berhenti berjuang gitu aja?"

Theo menggeleng. "Bukan gitu maksud aku."

"Terus?"

"Sampai sekarang aku gak bisa milih diantara kamu atau pun Nida."

"Gak usah milih aku, Theo."

"Kenapa?"

Kayla menggigit bibir bawahnya dan mengepalkan jemarinya, ia berusaha untuk menahan

tangisannya yang hampir keluar.

"Aku udah belajar untuk ikhlas Theo. Aku bener-bener udah ikhlas ngelepas kamu."

"Kamu udah gak sayang sama aku Kay?"

"Masih kok, tapi setiap kali aku lihat kamu. Entah kenapa hati aku selalu kerasa sakit. Kadang aku bahagia bisa ada disamping kamu, tapi terkadang pula aku lelah sama semuanya."

Kayla membuang wajahnya ke arah lain, lalu ia menarik dan membuang napasnya secara perlahan.

"Tolong pergi Theo. Sudahi sampai di sini. Tolong--"

Perkataan Kayla terhenti saat Theo membawanya ke dalam pelukannya. Air mata Kayla langsung mengalir begitu saja, hatinya juga kembali tersayat. Begitu pula dengan Theo, ia juga menangis, bedanya ia tidak terisak seperti gadisnya.

"Aku sayang kamu, Theo. Tapi semua ini terlalu berat untuk aku. Tolong pergi."

Theo menggelengkan kepalanya, ia mengusap bahu Kayla. "Jangan pernah minta aku untuk pergi, gak akan pernah aku lakuin itu."

"Tolong Theo. Ini makin sakit. Tolong pergi, atau aku yang pergi."

Theo semakin mempererat pelukannya, ia sama sekali tidak ingin kehilangan gadis pujaannya ini.

"Tolong Theo. Tolong pergi."

"Gak akan, Kay."

"Kalo gitu, tolong relain aku pergi."

"Gak! Gak akan!"

"Aku sakit."

"Maaf, maaf udah bikin kamu sakit."

"Aku beneran sakit. Aku kardiovaskuler, Theo."

Sial, kalimat itu selalu membayangi pikirannya.

Gadisnya sakit.

Tapi ia tidak bisa apa-apa sekarang.

"AKH! GW BENCIHIDUP GW! GW BENCI!!!"

Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang