62

481 54 22
                                    

Seorang wanita cantik tengah bersandar pada kursi kayunya, pandangannya selalu terpaku akan keindahan negara ini, Singapura. Kayla Nazareth, wanita cantik yang sudah berhasil melawan penyakitnya. Bertahun-tahun Kayla hanya berobat, berobat, dan berobat. Kuliah pun tak ia tuntaskan, karena kesehatannya jauh lebih utama sekarang.

Semua kontak orang-orang terdekatnya sudah ia hapus, termasuk kontak mantan kekasihnya, Theo Edison. Mustahil jika Kayla tidak memikirkannya. Hampir setiap malam ia selalu bermimpi akan mantannya itu, dan setiap bangun pagi ia selalu teringat akan kenangannya bersama dengan Theo.

"Kay--"

Kayla membalikan tubuhnya saat sang mamah memanggilnya. "Iya mah?"

"Mamah bersyukur kamu bisa sembuh." ucapnya sembari duduk di dekat Kayla.

"Iya mah, makasih juga mamah sama papah selalu kasih aku dorongan biar bisa lewatin semuanya."

"Iya sayang, sama-sama."

"Oh ya mah, kita bakal menetap di sini kan?"

Sang mamah terdiam, mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Mah.. "

"Kay, ada sesuatu yang harus mamah sampaikan sama kamu."

"Apa itu mah?"

"Perusahaan papahmu mengalami kerugian yang cukup besar akhir-akhir ini. Kamu juga tau kan, papah jadi sering sakit-sakitan. Papah bilang kamu itu anak yang cerdas, bertanggung jawab, dan mandiri. Jadi papah kamu mau kalo perusahaannya di pegang sama kamu."

"Tapi mah, kuliah Kayla--"

"Kamu akan tetap kuliah sayang, kerja sambil kuliah. Lagi pula kerja kamu santai kok, kamu kan CEO-nya."

"Kayla juga kan gak ada basic jadi CEO mah."

"Papah kamu juga dulu gitu. Dicoba dulu ya sayang, kami semua butuh kamu."

Ini benar-benar pilihan yang sulit untuk Kayla. Ia tidak ingin kembali ke Indonesia, itu hanya akan kembali mengingatkannya akan kenangan yang menyedihkan. Tapi di sisi lain, keluarganya membutuhkannya.

Jika bukan Kayla, lantas siapa lagi?

"Kapan kira-kira kita akan ke Indo mah?"

"Besok."

"Hah? Besok?"

l i m e r e n c e

Theo dibuat pusing akan kelakuan putrinya, sedari tadi ada saja tingkahnya. Sering kali ia berpikir, "Perasaan gw ataupun emaknya kagak pecicilan kek gini, ini ngapa si Nara jadi kagak bisa diem dah?"

Nara yang lagi asik loncat sana loncat sini langsung berhenti saat ia menyadari daddynya tidak bersuara lagi.

"Daddy, kok diem?"

"Dady pusing." kata Theo sembari memijat pelipisnya.

"Dady takit? Tini Nala obatin."

Nara pergi mengambil mainan dokter-dokterannya terlebih dahulu, setelah ketemu ia segera memeriksa Theo layaknya seorang dokter sungguhan.

"Dady ini angka belapa?" Nara menekuk ke empat jarinya.

"Nara, dady pusing, bukan rabun."

Sabar ya Theo.

Namanya juga anak kita, eh--
Anak-anak maksudnya.

"Ya udah bental Nala peliksa daddy panas atau nda."

Nara meletakan punggung tangannya di dahi Theo, Theo yang melihat tingkah menggemaskan anaknya ini kembali tersenyum.

"Daddy nda panas kok." Nara menatap Theo dengan serius. "Daddy bohong ya?"

"Bohong?"

Nara mengangguk. "Buktina daddy nda panas. Daddy kata kaka tantik, bohong itu dosa. Nda boyeh daddy!"

Theo tertawa kecil, lalu ia menarik Nara ke dalam dekapan hangatnya. "Duh anaknya daddy lucu banget si, daddy jadi gemes."

Theo mencubit pipi gembul Nara yang mirip seperti bakpao.

"Ihh daddy Nalanya jangan di cubit! Nanti pipi Nala makin embem!"

"Gapapa, daddy suka tuh. Kamu juga jadi makin lucu."

"Nanti Nala milip bakpao dong!"

"Emang udah mirip."

"Ih daddy!"

Lagi-lagi Theo tertawa, setidaknya melihat kelakuan Nara membuat stressnya sedikit berkurang.

"Daddy."

"Iya sayang?"

"Kenapa mamah nda tinggal sama daddy? Kenapa kita nda bobo bayeng-bayeng?"

Theo terdiam, bingung untuk menjelaskan kepada anaknya seperti apa. Ia takut salah bicara, masalahnya usia anaknya juga masih sangat kecil.

"Dad, kok nda jawab pertanyaan Nala?"

"Malam semua."

"Mamah!"

Theo bernapas legasaat Bunga datang tepat pada waktunya.

Iya, dia Bunga; ibunya Nara.

Sungguh jahat bukan?

Mengaku sahabat Kayla, namun--

"Nara pulang yuk, udah malem. Kasian daddynya mau istirahat."

Nara segera menggeleng. "Nda mau! Mamah jahat! Nanti Nala tidur sendilian, geyap tau mah!"

Theo menatap tajam kearah Bunga. "Saya kan sudah bilang, jaga Nara! Masa hanya untuk menemanidia tidur, kamu gak bisa sih!"

"Bukan gitu Tae, tapi aku--"

"Club? Iya? Bunga tolong mulai berubah dari sekarang, kamu udah punya anak, punya tanggung jawab."

"Tanggung jawab kata kamu? Kamu sendiri tanggung jawab enggak?!"

Suara Bunga mulai naik satu oktaf, dan itu membuat Nara memeluk daddynya dengan erat.

"Saya tanggung jawab. Saya mengakui bahwa Nara adalah anak saya, saya kasih kamu uang setiap bulan untuk biaya hidup kalian, saya belikan rumah, mobil, dan fasilitas lainnya. Lagi pula saya selalu menyempatkan untuk gantian jagain Nara. Kamu? Malah asik clubbing sana-sini."

"TAPI KAMU GAK NIKAHIN AKU THEO! KAMU PIKIR AKU GAK TERTEKAN SAMA SEMUA INI?"

"Tertekan? Siapa suruh gak minum obat yang saya berikan. Bilang aja kamu sengaja jebak saya, iyakan? Jawab!"

Bunga tak menjawabnya, ia memilih untuk menarik Nara yang sedang memeluk Theo. Nara berontak, ia tidak mau diambil paksa oleh mamahnya itu.

"Ayo Nara kita pulang."

"Nda mau! Nala mau cama daddy!"

"Gak Nara ayo ikut mamah."

"Nda mau!"

"Nara!" Bunga semakin menjadi menarik Nara.

"Hikss cakit mamah! Nala nda mau!"

"BUNGA STOP!Kalo kamu masih bersikap seperti ini terus, saya tidak segan-segan misahin kamusama Nara. Sekarang keluar!"

"SAYA BILANG KELUAR!"

Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang