10

1.2K 72 2
                                    

"Kay." Theo terdiam sesaat, lalu tertawa sinis. "Murahan!"


Bugh!


Sebuah pukulan keras mendarat di wajah tampan Theo Edison. Pria yang memukulnya tidak bisa menerima perkataan Theo barusan.


"Dia cewek lo kok lo katain murahan, njing!"


Kayla segera membantu Theo berdiri, namun Theo menepis lengan Kayla dan bangkit sendiri.Bugh!


Theo membalas pukulan sang lawan, tertawa sinis sambil menatap kesal ke arah Kayla.


"Puas bikin gua marah?"


"Theo, aku bisa jel-"


"Halah! Sok drama segala jelas-jelasin. Muak gua! Tau gak?!"


Bugh!


Theo kembali dihajar oleh pria tadi.


"Lo siapanya Kayla emang? Sok belain dia, siapa? Selingkuhannya?! Haha," ucap Theo dengan smirk.


"Kayla cuma temen gua. Lo sebagai cowoknya gak boleh ngomong gitu ke dia!"


"Lah urusan lu apa?!"


"Karena gua gak suka ucapan lu yang ngerendahin Kayla kayak tadi!"


"Jeffrey udah! Gua yang salah di sini," ucap Kayla menyesal.


Jeffrey memegang erat pundak Kayla. "Kay! Lo gak salah, kita kan gak ngapa-ngapain. Cowok lo yang salah, Kay."


"Lo berdua yang salah lah! Liat tuh Kayla gak berontak pas lu pegang-pegang dia, lo juga deketin Kayla yang udah punya pacar. Emang cocok kalian berdua! Sama-sama sampah!"


Setelahnya Theo kembali ke dalam bis depan, mencari tempat duduknya sesuai yang sudah ditetapkan guru. Teman-temannya menatap kaget ke arah Theo, melihat luka memerah dan membiru di pipinya. Ia duduk di bangku yang diisi tiga orang, tepat di samping Nida dan Samuel.


Nida dan Samuel juga terkejut melihat wajah Theo yang penuh luka.


"Kak, aku obatin Theo bentar ya," kata Nida.


"Da." Samuel memegang lengan Nida. "Gak usah, suruh guru aja."


Nida melepaskan tangan Samuel. "Kebetulan Nida bawa beberapa keperluan P3K."


Nida menghampiri dan duduk di sebelah Theo. Theo belum menyadari kehadirannya, dia menatap sendu ke luar jendela.


"Theo.." Nida memegang bahu Theo.


Theo yang mengenali suara Nida pun segera menatapnya, lalu ia memeluk Nida secara tiba-tiba. Samuel yang melihat itu segera memalingkan wajahnya ke luar jendela, hatinya terasa berkereket.


"Theo. Kamu kenapa?" Nida mengusap pelan punggung Theo.


"Gini dulu bentar." Ia menenggelamkan wajahnya di bahu Nida.


"Ya udah, nanti kalo udah siap cerita aku siap dengerin kok."


Cukup lama mereka berpelukan hingga akhirnya Theo melepaskan pelukannya dan menatap Nida dengan lekat.


"Mau cerita?"


Theo menggeleng.


"Ya udah, lukanya aku obatin dulu ya."


Nida mengeluarkan plester dan menempelkannya di sudut bibir Theo yang sedikit mengeluarkan darah.


Nida juga membasahi handuk kecil, menekan-nekan luka Theo sambil meniupnya pelan. "Kamu diem aja Theo, biasanya kalo lagi diobatin gak bisa diem."


"Soalnya yang ngobatin akunya lebih menarik dibanding rasa sakit."


"Aww!"


Nida sengaja menekan kasar luka Theo, merasa risih dengan modusnya.


"Nanti gak sembuh kalo kamu kasar kayak gitu," kata Theo sambil mengusap pipinya yang terasa sakit.


"Dah kan, aku mau balik ke bangku aku."


Baru saja Nida berdiri, Theo sudah menariknya untuk tetap duduk di sampingnya.


"Ish, aku kan duduk sama Kak Samuel."


"Udah si sama aku aja."


"Tap-"


"Oy Theo!" sapa Jasson dan Jay bersamaan.


"Eh Nida, halo!" Jay senyum-senyum ganteng gitu.


"Halo. Tuh, Theo udah ada mereka berdua, aku balik dulu. Dah."


"Yah kalian si asu! Gua kan mau duduk bareng Nida."


"Heh! Lu berdua udah gak halal ya, udah putus."


Bersambung,
Limerence.

LIMERENCE (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang