Mobil travel yang mengantar Ratri dari bandara Ahmad Yani ke menuju rumahnya di Ungaran itu berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua, bercat warna krem. Rumah orangtua Ratri.
Keadaannya memang nggak seperti biasanya yang sepi. Kali ini rumah minimalis dua lantai itu terlihat agak ramai. Ada dua mobil yang dikenalinya diantara deretan mobil yang berbaris rapi di depan rumahnya sampai rumah tetangganya. Mobil Pakde Daud dan Om Yunus. Susah payah gadis 22 tahun itu menyeret koper kecilnya. Ya, Ratri membawa koper karena bisa membujuk Bu Intam untuk cuti empat hari. Jadi dia bakalan balik Jakarta sekitar hari Selasa nanti. Langkahnya teradang oleh sosok tengil berambut jabrik."Minggir," sentaknya. Bukannya menggeser badan cekingnya, si jabrik malah berkacakpinggang. "Password dong," katanya jemawa dengan cengiran khas anak badung yang merasa dirinya paling keren di sekolah.
"Password gundulmu!" kali ini Ratri mendongakkan wajahnya yang udah kelihatan lelah banget. Perjalanan dari Jakarta ke Semarang naik pesawat kelas ekonomi bukanlah sesuatu yang mudah, sudah begitu dari bandara ke Ungaran makan waktu lebih dari satu jam. Sementara dia berangkat dalam kondisi kelelahan setelah sebelumnya mengurusi event di kantor. Dia capek. "Dih jutek amat sih. Pantesan jomlo menahun. Kayak TBC, ya?"
Ratri memutar bola matanya. Dengan matanya yang kecil mirip ular itu, ia menatap adik sepupunya yang barang kali masih kelas XI SMA itu dengan sorot meremehkan. "Nggak usah kumat sekarang, Dan. Gue capek." gerutunya malas.
"Cih, pake gue- gue segala. Wong ndeso padahal," cibir cowok bernama Dana itu.
Ratri hanya mengibaskan tangan nggak peduli. Dia hendak memutar lewat pintu samping rumahnya supaya nggak berurusan dengan hal- hal kekanakan sama adik dari Mbak Windi itu.
Ratri sudah akan menarik kopernya, ketika sesuatu yang beraroma maskulin menyambar indera penciumannya. Matanya kemudian tertumbuk pada sosok tinggi nan gagah berambut cepak. Tatapan matanya tajam bercampur jenaka. Dan nggak ngedip sama sekali sewaktu bertatap muka dengan Ratri. Satu tangannya yang besar dan cokelat dimasukkan ke dalam saku celana jin nya.
Ratri hanya mengerutkan kening bingung. Lalu berdecak, mencari jalan lain untuk menuju pintu samping yang sudah menguarkan bau beragam masakan. Tanpa menoleh lagi, ia mengayunkan langkahnya. Berpikir itu hanya orang iseng atau saudara jauhnya yang ikut rewang di rumah Mbak Windi.
***
"Nduk, makan dulu sana. Ada opor, rendang, sama gimbal." Seorang wanita berjilbab berusia lima puluhan sedang mengintip dari celah pintu kamar Ratri yang sedikit terbuka. Perempuan berdaster batik warna cokelat itu tampak ayu dalam pakaian rumahannya. Meskipun usianya tak lagi muda, perempuan itu tetap saja tampak enerjik di awal lima puluhan.
"Mama kok masak banyak banget. Nggak capek?" tanya Ratri. Semenjak Bapaknya meninggal dua tahun yang lalu, Mama memang mengurus rumah seorang diri. Hanya dibantu Mbok Rah, tetangga yang berusia kurang lebih sama dengan mama.
Mama melangkah memasuki kamar bernuansa pastel tersebut. Sejak dulu Ratri nggak suka sesuatu yang berbau ribet. Krem, putih, abu- abu, merah marun, biru dan cokelat adalah warna favoritnya. "Nanti Mbak Mila sama Mas Rivan mau ke sini," Ratri hanya mengangguk sekali. Keluarganya memang tipe keluarga idaman. Bapak yang seorang mantan perwira kepolisian dan Mama yang dokter anak. Mereka punya tiga orang anak. Kakak pertama bernama Rivan Yanuar Wibisono. Seorang PNS di lingkungan Sekda, menikah dengan Mbak Riris, seorang dokter gigi. Hidup mereka sepertinya juga diberkahi. Terbukti setelah menikah, mereka langsung dianugerahi dua orang putra. Alias kembar. Namanya Pandu dan Kresna
Kakak keduanya bernama Karmilla Indah Paragita Wibisono. Usianya 27 tahun. Seorang PNS di lingkungan kejaksaan. Menikah sebelum Bapak meninggal. Dengan seorang prajurit AU yang ganteng bukan main. Mbak Mila baru mengandung enam bulan. Dan tambah cantik.
Terakhir adalah Diandra Ayudia Ratri Ardhanareswari Wibisono. Ya. Namanya memang sepanjang jalur pantura. Dan si bungsu ini baru enam bulan kerja di PT Kencanawungu Cosmetics. Sebagai staf PR. Dan baru aja putus dari pacar tiga tahunnya. Ergi Tjandra Pragayudha yang seorang Koko- Koko ganteng yang konon bakal mewarisi PT Elektra Multiguna. Perusahaan Elektronik terkemuka yang lagi naik daun. Untung saja Ratri belum cerita banyak ke keluarganya soal Ergi. Dia cuma bilang punya pacar di Jakarta.
Tapi sekarang dia resmi jadi jomlo setelah salah seorang teman Ergi mengiriminya video seorang cewek seksi sedang berada di pangkuan Ergi. Ratri pulang dalam rangka menyembuhkan luka hatinya.
"Aku punya kebutuhan, Di. Kamu nggak ngertiin aku..." terngiang kata- kata terakhir pria yang dua tahun lebih tua dari dirinya itu.
"Nanti mama capek gimana?" desah Ratri, tubuhnya menyandar pada bahu sang Mama. Harum bunga yang menenangkan terhidu indera penciumannya. Harum yang selalu dirindukannya. "Lagian ada sodara- sodara dateng. Bukan Mama sendiri juga yang masak. Bulik Mina itu." Ratri mencep. Memang kalau ada acara keluarga Mama dan Ayahnya selalu menyediakan tempat. Kebetulan rumah mereka punya delapan kamar.
"Makanya kamu kerja di sini aja. Biar ada yang nemenin mama ngobrol. " Tangan Mama terulur mengelus kepala bersurai hitam tersebut. Kemudian mengecupnya dengan khidmad.
"Di sini tuh sepi, Ma. Bisa-bisa Ratri gabut. Lagian Ratri juga cari pengalaman." Kata gadis itu. Kini ia sudah mengganti kemeja lengan panjang dan celana jinsnya dengan kaus kuning bergambar bebek dan celana pendek warna putih. Mama memandangi putri bungsunya dengan saksama. Ratri memang putrinya yang paling cantik. Dia juga sebenarnya jauh lebih cerdas. Hanya saja terkadang ia terlalu malas.
"Yang tadi itu siapa, Ma?" tahu- tahu pertanyaam berbelok tajam. Karena sampai sekarang, ia masih penasaran dengan wajah tersebut. Seems familiar.
"Yang tadi? Yang tadi yang mana?" sang Mama mengerutkan hidung.
"Yang datang sama Dana. "
"Oh, " Mama mengangguk beberapa kali. Matanya membulat jenaka. Entah sejak kapan Mama jadi berubah ceria. Setahunya, dulu beliau sangat serius. "Mama juga nggak ngeh," jawabnya. "Yang ke sini kan banyak tadi. Ada Om Yunus dan Pakde Daud. Ada Mbak Nuri juga. Bulik Narti sama Bulik Piah. Ada Bude Zul dan Pakde Zul. Galih, Saka, Yulia, Citra, Nanda, Yusa..."
"Udah jangan diterusin. Yang itu aku juga tahu," Ratri memutar bola matanya. "Maksud aku tuh laki-laki yang datang bareng Dana, Ma. Kalau- kalau Mama lupa, Dana adiknya Mbak Windi yang rambutnya jabrik, suka pakai kemeja flanel yang dulunya suka kentut sembarangan..."
"Sssst....ssst...!" Mama meletakkan jari telunjuk berbau kunyit ke mulut Ratri. Matanya mendelik. "Kebiasaan kamu kalau ngomong mbok ya tolong ada remnya," kata Mama. Ratri mendengus jengkel. "Tangan Mama bau kunyit," katanya muram.
"Kamu kalau penasaran suka merepet emang. " Kata Mamanya. "Lagian katanya punya cowok di Jakarta, kok nanyain cowok lain."
"Ih, Mama. Kan aku cuma nanya!"
"Maksudmu sepupunya Windi, kan? Keponakan Pakde Yanto?"
Ratri mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. Siapa, kek. "Masa lupa? Itu Mas Bhaga. Bhagavad Nirankara. Kan itu katanya calon si Nania. Dulu itu dia sering ngatain kamu Bai Su Zhen. Sampe kamu nangis-nangis. Masa lupa sih? Dulu katanya kamu pengin banget jadi pengantin sama dia. Iya, kan?"
Sepasang mata Ratri membelalak horor.
Memang pernah ya dia punya cita- cita semacam itu. Keningnya mewiru, hidungnya mengerut. "Beneran aku pernah ngomong begitu?"
"Ih," perempuan berhijab dan tampak masih anggun dalam usianya yang menginjak angka limapuluhan tersebut berdecak, menahan tawa. "Iya. Kalau- kalau kamu lupa, bahkan kamu sempat jambak- jambakan sama Nia. Ingat?"
"Ha?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...