Limapuluh tujuh

11.3K 1.2K 19
                                    

"Sebenarnya apa lagi yang kamu tunggu? Sudah cukup kan bikin dia menderita?"

"Menderita? Siapa yang Mas maksud,"

"Halah nggak usah pura- pura sama aku," lelaki itu melambaikan tangan. Mereka memilih smoke area di sebuah restoran seafood yang lumayan besar. "Tentu saja Bhaga, siapa lagi?" bola mata Bentala berputar mirip cewek- cewek. Dengan rambut ikal gondrong ikal, kulit yang semakin keling, dan tatto yang kini merambah lengan, Bentala yang tahun lalu mendapatkan proyek merenovasi sebuah resort di Derawan jadi sering berada di Kalimantan. Mereka jadi dekat sebagai teman. Kadang Bentala juga yang menolong Ratri dari gangguan lelaki yang menggoda Ratri. Pokoknya lelaki itu mirip tameng bagi Ratri.

"Coba pikir- pikir lagi deh, selama di sini, berapa orang yang deketin kamu? Banyak. Tapi kayaknya setiap mau maju, kamu ragu. Apalagi kalau bukan karena masih keinget yang di sana?"

Ratri tertegun. Dua tahun menjalani tugas di sini, yang mendekatinya memang bisa dikatakan sangat ajaib. Ada yang bekerja di perusahaan minyak milik asing, namanya Rangga, dan lelaki 32 tahun itu lebih suka membicarakan dirinya sendiri yang bikin Ratri bosan setengah mati kalau lelaki itu mengajaknya keluar. Lalu ada Yongki yang lebih sering melihat ponselnya ketimbang melihat Ratri, ada Andi yang ganjen karena baru ketemu sekali tangannya sudah kelayapan di tangan Ratri. Belum lagi dia pernah didekati oleh seseorang berseragam hitam--- asisten seorang pengusaha pengolahan kayu-- dan orang itu menawarkan uang setara satu unit Honda Brio baru kalau Ratri mau menemani bos nya meeting di Hong Kong selama seminggu. Yang satu itu Bentala sampai turun tangan pura- pura menjadi suami Ratri.

"Bhaga itu sebenarnya orang baik," asap rokok kembali mengepul dari mulutnya yang semakin ungu karena nikotin. "Dulu sewaktu masih kuliah, dia pernah minjemin aku uang buat bayar semesteran. Waktu itu kiriman dari Sukoharjo terlambat datang. Aku nggak ada uang sama sekali dan dia minjemin aku duit yang nggak sedikit. " Tatapan Bentala menerawang sesaat. Pikirannya berkelana ke masa- masa tujuhbelas tahun yang lalu. Saat dia dibikin pusing dengan bayaran kuliah dan uang kos. Dia datang ke angkringan BPB. Mukanya kusut dan gusar. Bhaga yang baru pulang kerja di percetakan mampir dan menanyakan mengapa muka Bentala sampai kusut begitu.

"Ngene wae," Bhaga melepas ranselnya, mengambil dompet dari dalam, menyerahkan dua gepok uang lima puluh ribuan ke tangan Bentala dan hanya tersisa dua lembar lima puluh ribuan dalam dompetnya. "Iki gawe disek. Mengko yen awakmu ono duwite lagi dibalekke,"

"Lha awakmu opo ora butuh?"

( Emang kamu nggak butuh?)

"Aku wis beres kabeh, "

( Aku udah beres semua)

"Padahal sewaktu duduk di semester tiga orangtuanya pernah kena musibah. Bapaknya Bhaga kena tipu orang. Padahal dia kadung meminjam uang kantor untuk investasi apalah itu... Pokoknya waktu itu keuangan dia juga sama kayak aku. Senin- Kamis. Ibunya yang pontang- panting menghidupi kedua adik Bhaga yang untungnya waktu itu masih sekolah SMP. Maka dari itu Bhaga mau kerja paruh waktu di percetakan. Kadang malah sampai lembur dua hari nggak pulang. "

Untuk yang ini Ratri baru mendengarnya dari Bentala sekarang. Dan perasaan  takjub langsung merajai hatinya. "Itu sebabnya aku sakit hati banget waktu Bhaga mengkhianatiku. Atau kukira dulu begitu," lagi- lagi tatapan mata Bentala menerawang ke langit luas. Smoke area berada di outdoor. "Ya karena dulu aku merasa berutang budi padanya, makanya sewaktu aku dengar suara Riani ada di dalam kamar dia itu kayak nggak nyangka. Tak pikir dia tega begitu karena merasa pernah menolongku. Padahal dari dulu seharusnya aku sudah tahu tanda- tandanya." Ia menghela napas. "Riani, sejak kami belum jadian, dia selalu ngomongin Bhaga. Bhaga yang begini... Bhaga yang begitu... Tapi rupanya aku yang bebal. Aku baru tahu yang hamilin Riani itu teman kakaknya sendiri. Baru belakangan ini aku tahunya sih dan itu bikin aku kacau banget,"

"Makanya," tahu- tahu dia kembali berujar dan wajahnya sudah kembali menghadap ke arah Ratri. "Kalau kamu memang secinta itu sama dia, ya jangan buang- buang waktu. Orang nggak akan dapat peluang berkali- kali," katanya, yang sukses membuat Ratri mengernyit bingung. Bentala memamerkan senyum misteriusnya yang bikin bule di Kalimantan klepek- klepek pada keeksotisan kulitnya yang semakin gelap . "Dia masih jomlo, kalau kamu mau tahu."

***

"Hhhhhh...." Bude Wiwik mendesah melihat- lihat undangan pernikahan yang menumpuk di ruangannya. Bhaga yang sore itu mampir ke rumah Tembalang mengetuk pintu dan masuk. "Kenapa to, Buk? Kok mukanya sedih begitu?" lelaki itu seperti biasa, mencium tangan ibunya yang semakin kisut seiring bertambahnya usia beliau. "Ini," Bu Wiwik mengangsurkan tujuh kartu undangan pernikahan untuk bulan ini. "Wah, banyak juga ya yang nikah bulan ini. Padahal katanya zaman lagi susah. Harga telur saja naik ini, Buk."

Bu Wiwik menepuk lengan Bhaga kencang- kencang. Kesal dibercandai anak lanangnya yang nggak kunjung menikah. Padahal undangan pernikahan semakin hari semakin bertumpuk datang dari tetangga dan kolega juga teman lama. Tapi beliau sendiri belum pernah merasakan ngunduh mantu. "Undangan banyak, tapi anak lanang ibuk sendiri ini malah belum tahu kapan bisa nyebar undangan sendiri,"

"Sabar to Buk. Lha wong memang belum ketemu jodohnya mau gimana lagi?" Bhaga mengelus pundak ibunya yang semakin gempal. Belakangan banyak sekali mahasiswi kebidanan yang praktik di klinik ibu setelah beliau mendapatkan sertifikasi. Satu diantaranya pernah dijodohkan dengan Bhaga dan berakhir tragis. Gadis itu bahkan menolak masuk kerja lagi. "Sabar? Gimana ibu bisa sabar? Semua perempuan kamu tolak. Ibu sampai malu sendiri sama orangtua mereka," keluh ibunya. "Katanya kamu sempat suka sama anak dokter Nilam kan? Yang ayu banget itu? Kenapa nggak bilang- bilang ibuk? Tahu begitu ibuk sudah ngajak ngelamar sama bapakmu."

Bhaga mulai pusing. Ini pasti ulah Dana yang mulutnya bocor.

"Lha dulu kenapa nggak jadi sama anak bu dokter itu? Kamu apain dia sampai ucul ngono?"

Alis Bhaga mengerut. "Ibuk dapat gosip dari mana sih soal begituan? Mbok sudah jangan percaya gosip." Bhaga menjauh dari ibunya. Menarik napas dalam- dalam. Sesak karena teringat kebodohannya sendiri. Lelaki itu meraup rambutnya. Wajah ibunya terlihat nelangsa. "Ibuk itu semakin lama nggak semakin muda, Nang. Umur ibuk sudah kepala enam ini. Harus nunggu sampai kapan lagi? Mbok sudah pilih satu perempuan yang kamu senangi dan biar ibuk lamarkan buatmu,"

Bhaga semakin galau.

"Atau ibuk yang jodohkan kalau dalam dua minggu ini kamu nggak bawa perempuan untuk kamu kenalin ke ibuk ya. Kali ini kamu manut sama ibuk lho..."

Bhaga hanya bisa mengangguk jika ini memang takdirnya nggak bisa bersatu dengan gadis yang dicintainya, dia rela. Asal ibunya bahagia. Usianya sudah 37 tahun. Penantian ini terlalu lama baginya. Biar bagaimanapun, Bhaga hanya lelaki manusia biasa. Punya batas waktu menunggu. Meskipun hatinya nggak ingin menyerah tetap ingin mempertahankan satu nama, satu hati, dan satu perempuan.

Diandra Ayudia Ratri Ardhanareswari Wibisono.

***

"Lha mau ke mana to, Bu Dokter?" Mbok Rah heran, dengan dokter Nilam yang suka sekali keluar pada Sabtu pagi, seminggu sekali ke Setiabudi di Semarang Selatan. "Arep jantung sehat, Mbok. Sepi nang omah wae..." Kata dokter Nilam seraya mengenakan sepatu olahraga warna putih. "Sekalian jenguk cucu loh, Mbok. Amaya sekarang sudah bisa baca sendiri. Wah jan cerdas bocah kuwi, Mbok. " Mata dokter Nilam berbinar- binar mengenang cucu perempuannya yang cerdas luar biasa itu. Baru umur 2,5 tahun lho, sudah lancar bicara dan membaca. Anak zaman sekarang memang lain dengan zamannya dulu sih.

Bu dokter Nilam menyandang tas berisi minuman, makanan, dan payung, serta ponsel dan dompet, sebelum pamit ke Mbok Rah yang menatapnya penuh dengan belas kasihan. "Mesakake Bu Dokter, anak podo adoh kabeh. Kesepian nang dhuwur gunung." Dia menggeleng sebelum kembali ke dapur.

***

Ratri yang baru keluar dari kamar mandi mengerutkan dahinya ketika mendapati 73 panggilan tak terjawab dan sekitar 58 pesan via WhatsApp. Cekatan gadis itu menggulir layarnya untuk melihat pesan- pesan yang masuk. Yang paling banyak dari Mas Rivan. Sontak jantungnya seperti langsung jatuh ke kaki ketika ia membuka pesan itu.

Mas Rivan: cpt plg. Mama jatuh.

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang