Tigapuluh lima

12.2K 1K 24
                                    

"Wis modaro, Mas..." Dana menatap Bhaga putus asa sambil berkacakpinggang di muka Bhaga yang sedang bengong di dalam kamarnya yang tanpa penerangan itu.

Kabar bahwa Asti hamil sudah terdengar meluas ke mana- mana. Saat itu Dana baru pulang sekolah dan masih dalam balutan seragamnya.

"Kan bukan Mas yang ngelakuin, kenapa harus dipikirin sih?" Kali ini cowok yang ganti rambut model cepmek itu mondar- mandir di dalam kamar Bhaga.

Bhaga tetap diam. Nggak menjawab semua omongan Dana yang mengecimus nggak karuan. "Aneh Mas ini. Gini ya Mas, Mas tahu lagu koplo itu nggak?"

Kali ini Bhaga barulah menatap Dana dengan ekspresi tanpa minat. "Angge- angge orong- orong. Ora melok nggawe melok momong... " Dana mendesah. "Yah kecuali mas ikut bikin itu anak sih,"

Saat itu Bhaga melotot sangar. "Buruan salin sana nanti bajunya kusut!"

"Kusut kayak muka Mas tuh, "

Dana kemudian nyelonong keluar dari kamar bernuansa putih itu. Bhaga sendiri sejak pulang dari kantor tadi hanya berdiam di dalam kamarnya yang gelap. Segelap hatinya.

Rasa penyesalan karena mabuk semalam masih tersisa. Untung semalam ketika pulang, Ibunya yang membukakan pintu dengan wajah cemas. Dan karena dia minum nggak terlalu banyak, jadinya nggak kentara kalau dia lagi mabuk. Terakhir mabuk itu saat dia baru lulus dari universitas. Setelah itu dia nggak pernah lagi mabuk- mabukan kalau ketemu teman yang kebetulan lagi pada mabuk.

Ibunya tentu saja tahu kalau dia barusan menenggak minuman beralkohol, tapi beliau cuma mengelus dada dan berkata, "Oalah, Nang... Nang...awak kok dirusak dhewe..." Lalu membiarkan Bhaga masuk ke kamar untuk istirahat.

Pagi tadi dia sudah meminta maaf pada ibunya, dan beliau hanya berkata, "Nang, yen mbok baleni maneh, dudu ibuk sing rugi. Tapi awakmu dewe..." suara ibunya yang lembut itu malah semakin membuat perasaan bersalah Bhaga kian membesar.

Belum lagi apa yang ia lakukan pada Ratri dalam keadaan setengah mabuk kemarin. Lelaki itu meraupkan kedua tangannya ke wajah yang kini mirip buronan karena beberapa hari nggak bercukur.

Bhaga malu sekali pada ibunya. Dan pada Ratri.

***

Malamnya dia mengajak Prasthi ketemuan di Pujasera Simpang Lima. Bhaga menceritakan segala permasalahan yang dialaminya.

Prasthi hanya menggeleng seraya mengucapkan istigfar. Gayanya macam ustad di dalam sinetron hidayah yang sering ditonton ibu- ibu gabut. "Sekarang aku tanya ya, Ga. Kamu itu paling nggak ada perasaan suka sama Asti, nggak?"

"Aku sayang sama dia sama kayak aku sayang sama dua adikku sendiri Pras. Nggak lebih,"

"Ya sudah. Itu bukan tanggungjawabmu, kan. Kalau beneran kamu nggak ikut andil, kenapa mesti dipusingin sih? Kamu sih dulu ngapain main adik- adikan. Sekarang adikmu baper beneran tuh," Prasthi mengangkat gelas berisi susu cokelat. Sejak menikah, pria itu mengurangi minum kopi dan merokok.

Bhaga menengadahkan kepalanya ke atas. Sikunya bertelekan meja, sementara tangannya memegangi dagu. Gayanya macam pemikir abad pertengahan saja. Ia melihat Asti sama dengan ia melihat Riani dulu. Hal itulah yang sebenarnya memicu rasa syok nya semalam.

"Atau kamu memang tergiur sama tawaran Pak Supardjo?" selidik Prasthi dengan gaya mirip kepala sekolah yang menginterogasi muridnya yang ketahuan merokok di toilet sekolah.

Pertanyaan Prasthi itu sontak membuat Bhaga mengalihkan pandang dan kini dia menatap sahabatnya dengan sorot mata sakit hati yang dibuat- buat. "Kok kamu tega bilang begitu?" tangannya kini memegangi dada kirinya dengan gaya dramatis.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang