Empatpuluh Dua

10.7K 992 21
                                    

Bintari Kamaratih  kakak kedua Dana berusia   yang berusia tigapuluhan itu sebenarnya tinggal di Solo dan kini sudah menjadi dosen muda di sebuah universitas. Dia adalah kakak perempuan Dana yang paling galak dan vokal. Lain dengan Herlina yang keibuan, dan Windi yang kalem tapi cerdas, Bintari akan tegas mengutarakan apa yang nggak dia sukai. Dalam hal ini adalah hubungan ayahnya dengan perempuan yang seusia kakak sulungnya.

Bintari awalnya menutup mata pada prahara rumahtangga kedua orangtuanya karena permintaan ibunya--- yakni Bude Nani. Tapi sewaktu dia hendak mengunjungi ibunya karena long weekend, dia menyaksikan pemandangan yang nggak terduga. Ayahnya terlihat di rest area tol Salatiga- Solo,  bersama perempuan itu. Perempuan yang sama dengan delapanbelas tahun yang lalu membuat ibunya menangis sepanjang malam di dalam kamar. Saat itu usia Bintari baru sebelas  tahun, sementara Herlina sudah lulus SMA, dan Windi masih belum mengerti apa- apa. Ketiga kakak beradik itu ketakutan.

Ketika itu, Ayah mereka sudah dua minggu nggak pulang ke rumah. Rupanya usut punya usut, Bude Nani nggak sengaja melihat suaminya dengan perempuan yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari anak sulungnya. Ketika itu Bude Nani sedang ada acara di Taman Budaya Raden Saleh, bersama beberapa teman sejawat guru- guru di Semarang. Saat pulang dari acara, mereka sepakat untuk mampir ke Soto Bangkong. Dan di situlah Bude Nani melihat Pakde Yanto bersama perempuan itu.

Semua kolega Bude Nani mulai berbisik- bisik. Wajar kalau Bude Nani malu bukan buatan. Suaminya telah mencorengkan arang ke dahi istrinya sendiri.

Herlina sebagai anak sulung hanya bisa menenangkan ibunya, karena semua saudara- saudara bude Nani, minus dokter Nilam, menyalahkan perempuan itu atas kelalaiannya menjaga suami.

Namun yang membuat dokter Nilam menjadi gusar adalah, kakak perempuannya itu malah menerima kembali kehadiran Pakde Yanto dengan tangan terbuka. Selang empat belas bulan kemudian, lahirlah Dana.

Bude Nani kira suaminya sudah berubah. Namun nyatanya, beberapa tahun belakangan pria yang sudah bersamanya lebih dari empat puluh tahun itu kembali menemui perempuan itu.

Membuat Bintari murka bukan main.

Pak Daru sebagai saudara kandung Pakde Yantopun ikut merasakan kegusaran, meminta Bhaga untuk mengunjungi rumah Paklik nya. Jadi di sinilah ia berada selepas pulang dari kantornya.

Setelah memarkirkan motornya di carport yang berisi dua mobil, pria itu beruluk salam. Seorang perempuan berusia awal empat puluhan membuka pintu untuknya. Bulik Janah, tetangga yang diminta Bude Nani untuk membantu- bantu di rumah. Perempuan itu tersenyum ramah ke pada Bhaga yang datang membawa tentengan berupa dua jenis martabak. Martabak manis dan martabak telur. "Ibuk ada di kamar, Mas Bhaga. Sama mbak Tari,"

Bhaga mengekori langkah bulik Janah ke dalam. Kamar Bude Nani terletak di samping tangga menuju lantai dua. Pintunya sedikit terkuak, Bhaga mengetuk pintu menyebut nama Bintari.

"Oh, Mas Bhaga. Baru pulang ngantor?" Bhaga mengangguk dan menyerahkan bungkusan martabak ke tangan Bintari. "Duduk dulu, Mas. Tak bikinin teh. "

"Nggak usah repot, Tar." Kata Bhaga, kemudian mengambil tempat di sofa dua dudukan. Sementara Bintari melangkah menuju dapur untuk memindahkan martabak ke dalam piring lalu kembali ke ruang tengah dengan sepiring martabak dan dua kotak teh kemasan. "Monggo, Mas. Disekecakaken," ( Silahkan, Mas. Dinyamankan saja)

Raut wajah Bintari lebih tegas ketimbang kedua saudara perempuannya, dengan mata bundar cemerlang, hidung mancung, bibir yang terlalu tipis hingga ada kesan ceriwis  plus nyinyir yang didapatkan orang ketika pertama kali bertemu dengannya.

Kalau predikat tercantik diambil oleh Windi, maka yang tercerdas di keluarga itu adalah Bintari. Hal itu tampak dari sorot matanya yang memancarkan rasa ingin tahu terhadap semua yang dilihatnya. "Kabar ibumu gimana, Tar?"

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang