Rutinitas pagi Ratri tidak pernah terlepas dari kopi.
Hidup tak akan pernah mudah tanpa kopi paginya. Belum lagi kesemrawutan lalu lintas Jakarta yang bisa bikin migrain mendadak.
Pukul delapan pagi tangan Ratri sudah menenteng cup berisi kopi dan cheesecake dari kedai langganannya. Dengan stiletto setinggi tujuh sentimeter dan totebag di pundak, gadis itu melangkah dengan anggun. Riasan tipis sudah menonjolkan wajahnya yang selalu tampak cantik meskipun terkesan judes. Banyak yang tergila- gila dengan wajah juteknya itu, namun entah mengapa, ia tak pernah bisa menentukan pilihan.
Menyapa dua orang resepsionis gedung yang tampak seperti manekin, menunggu dengan bosan di depan lift hingga benda itu berdenting dan terbuka, sudah menjadi rutinitas yang dihafal di luar kepala. Tubuhnyapun seolah- olah sudah hafal dengan ritme itu.
"Yang kemarin nggak ada oleh- oleh buat saya?" suara berat dan rendah membuat kepalanya menoleh. Pak Davos. Lelaki tinggi dengan berewok tumbuh di sana- sini tapi entah mengapa hal tersebut tidak mengganggu penampilannya sama sekali. Alih- alih kumuh, lelaki yang pagi ini hanya mengenakan kemeja polos warna baby blue dan dipadukan dengan celana jin seraya menyesap kopi itu malah terlihat hawt! Banyak yang membicarakan lelaki berusia 36 tahun dan tetap betah melajang tapi tanpa kelihatan lapuk.
Pak Davos adalah bagian research and development untuk Kencanawungu. Pakaiannya memang selalu santai begitu.
Ratri tersenyum sopan. "Emang Bapak tahu saya habis pulang kampung?"
Dia tertawa. Tawa yang renyah dan menyenangkan. "Nyai Intam yang bilang, lho. Kapan- kapan saya mau liburan ke Magelang. Dekat kan dari tempatmu?" katanya cepat. Memang begitulah gaya bicara orang satu ini.
Lift di depan mereka terbuka. Kosong. Dengan santai, Pak Davos melangkah masuk, diikuti Ratri di belakangnya, ketika benda itu hendak menutup kembali, Ratri menangkap suara teriakan. "Tunggu!"
Rupanya Donnie. Komplit dengan ransel di punggungnya yang lebar. "Tumben jam segini baru nyampe?" tanya Ratri. Sebenarnya dia masih sebal pada lelaki satu ini. Sayangnya, dia tidak bisa begitu. Selama ini sedikit banyak, Donnie- lah yang menjadi tempat sampah baginya. Membuang unek- unek di hati.
"Lembur," lelaki itu mengangguk sopan pada Pak Davos. Hening di dalam benda itu berakhir ketika sampai di lantai 14. Kantor Kencanawungu Cosmetics. Pak Davos melambai, lantas lift tertutup menuju lantai enam belas.
"Kemarin lo jadi kan, dijemput sama Ergi?" beginilah Donnie Dharmawan. Tidak peka. Sudah tahu Ratri dalam mode jijik sama Ergi, kenapa masih nekat ngomongin orang itu juga?
Perlahan bibirnya menyesap kopi dari pinggiran cup. Mendesah lega dan bersyukur karena Tuhan berbaik hati telah menciptakan sesuatu bernama pohon kopi yang menghasilkan biji kopi.
"Gue ada meeting dadakan kemarin, Ra. Masak mesti gue tinggal? Gue masih butuh makan," Donnie mengesah. Membuat Ratri kontan menoleh. Lalu berjengit. Penampakan lelaki yang sudah setahun jadi sahabatnya itu hanya setingkat lebih kacau dari zombie yang keluar dari serial Walking Dead.
"Lo nggak tidur ya?" tanyanya. Meskipun terdengar khawatir, muka Ratri tetap terkesan jutek bukan main. Lebih- lebih setelah gadis itu memicingkan kedua matanya yang mirip lubang celengan. Sipit.
"Ya gimana? Dikejar deadline!"
Ratri cuma bisa berdecak gemas, lantas menyodorkan kopi miliknya ke arah lelaki itu. Donnie menerima dengan muka bloon nya. "Buat apa?"
"Buat lo minum," seolah baru teringat sesuatu, Ratri menyambar lagi cup berlogo bunga Buttercup itu dari tangan Donnie. " Gue bikinin lagi deh. Yang ini kan tadi udah gue seruput."
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...