Limapuluh Lima

12.3K 1.3K 91
                                    

Bhaga kelihatan nggak tenang selama berada di kantor. Dia terus- menerus menatap ponselnya, menunggu kabar dari Dana yang berjanji akan menghubunginya. Sholeh menghampirinya saat jam makan siang. "Kalau aku dekat sama Kirani kamu gimana, Kang?"

Bhaga menoleh sejenak ke arah pemuda berkulit langsat itu. Sholeh lebih muda empat tahun darinya itu. Sholeh memang kelihatan banget menaruh perhatian pada Kirani. Bhaga mengangkat bahu. "Kalau dia mau ya nggak apa- apa to, Kang Sholeh," ucapnya jemu. Tanpa minat.

Sholeh mengangguk. "Lha katanya kamu dekat sama dia,"

"Tapi kalau dia mau sama kamu ya nggak apa- apa. Dia masih bebas kok,"

Nggak jauh dari situ, Kirani mendengarkan dengan perasaan sakit hati yang mendera dadanya. Tadinya dia berharap bahwa Bhaga setidaknya akan mempertimbangkannya. Bahwa Bhaga akan mempertahankannya. Tapi yang ia dengar justru sebaliknya. Bhaga rupanya sudah nggak mempedulikannya.

***

Semenjak kecelakaan itu, keluarga Ratri selalu mengirim banyak makanan setiap hari ke hotel. Mulai dari lumpia, tahu bakso, bandeng presto Elrina, mochi, hingga masakan rumah yang sengaja dibikin ibunya Ratri dan saudara- saudaranya. Yang senang tentu saja Anna, yang sebelas- duabelas sama Nanda yang hobi giling makanan. Setelah menghabiskan satu hari untuk istirahat, kali ini mereka kembali ke Peterongan, dan untungnya driver kali ini lebih bisa diandalkan dengan cincai menemukan alamat rumah Karina di sebuah perkampungan padat penduduk kawasan Peterongan.

"Maafkan saya, Mbak. Kemarin itu saya dan Karin didatangi orang katanya mau membayari biaya rumah sakit Karin sampai ganti rugi segala. Dengan catatan kami harus segera keluar dari rumah sakit dan nggak menampakkan diri di muka umum. Waspada kalau ada wartawan. "

Hal itu menjawab, mengapa jendela dan pintu di rumah bercat hijau telur asin dan berpagar rendah itu ditutup semua. Rumah itu seolah ditinggal penghuninya untuk selama- lamanya. Namun berkat bantuan Pak RT, yang bersedia mengetuk pintu rumah keluarga Karin, ibunya Karin jadi mau membukakan pintu untuk mereka. "Lagi- lagi saya harus izin cuti kerja," keluhnya. "Ini saja kalau ada bapaknya Karin rumah jadi rame penuh sama teman- temannya yang sopir kontainer itu,"

Anna dan Ratri saling pandang. Keduanya mengangguk penuh pemahaman. "Kalau begitu kami bisa minta tolong, Bu Dyah? Sekali lagi?"

***

Sayang sekali orang yang kemungkinan kenal dunia gelap Semarang adalah orang yang sekarang nggak ingin ditemuinya. Jadi selepas dari rumah Karina, keduanya mampir ke pusat perbelanjaan di kawasan Sompok. Makan donat dan minum Thai tea. Saat itu jam menunjukkan hampir pukul setengah enam sore.

Lagi- lagi Anna mendapatkan telepon dari Jakarta. Gadis itu kemudian menyingkir dari outlet donat sebentar. Saat itu masuklah dua orang berseragam cokelat. Dua- duanya perempuan dan Ratri merasa familiar dengan salah satunya. Tapi dia akhirnya diam saja dan kembali fokus pada gawainya yang menayangkan tautan berita dari media sosial soal perkembangan kasus Kencanawungu.

Sementara tangannya asyik menggulir layar tablet 10 incinya, dia merasa ada yang mendekatinya. Otomatis kepala Ratri mendongak, mencari tahu siapa yang datang. Perempuan itu menatapnya penuh penilaian. Dari atas rambut hingga ke bawah. Benjol di dahi Ratri masih teihat jelas, tapi hal itu nggak membuat wajahnya menjadi aneh ataupun jelek.

Ratripun juga memandangi perempuan itu, mencoba menebak- nebak apa yang dipikirkan perempuan yang mirip Prisia Nasution itu. "Boleh saya bicara. Nggak lama kok!"

Ratri melambaikan tangannya ke arah kursi yang tadinya ditempati Anna yang nggak kunjung kembali. "Kamu Ratri, benar?"

Ugh, Ratri nggak suka gaya bicara perempuan ini yang sok menggurui. Tapi ia mengangguk saja. "Mungkin kamu belum tahu siapa saya," perempuan itu mengulurkan tangannya yang kecokelatan namun terlihat dan memang terasa halus ketika Ratri menerima uluran tangannya. "Saya Kirani."

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang