Tigapuluh empat

11.9K 1.1K 25
                                    

Ratri menggeliat sejenak sebelum membuka matanya. Gelap. Tapi indera penciumannya bisa membaui aroma bunga lili dari sepreinya. Samar- samar telinganya masih bisa menangkap suara- suara dari luar kamar. Salah satunya milik Nanda. Gadis itu berusaha duduk dan langsung dihantam rasa pusing yang membuatnya mual.

Untung saja sebentar kemudian pintu kamarnya terbuka, masuklah Nanda dengan semangkuk bubur kacang hijau di tangan kanannya. Gadis itu langsung menarik kursi yang ada di depan meja rias. Nanda menggeleng. "Semaleman nggak pulang. Pulang- pulang sudah K.O begini," gerutunya, seraya mengarahkan sendok ke arah mulut Ratri. "Mangap dah. Jangan kayak bayi. Ini dibikinin Tante Kos tadi, dan kalau mau sembuh, lo mendingan habisin makannya. Gue ogah nih ditanyain macem- macem sama Mas Bhaga,"

Mendengar nama pria itu disebut, kontan sepasang mata Ratri langsung melotot. "Lo nggak hubungin dia kan?"

Sebagai jawaban, Nanda hanya mengangkat bahu. "Belum sih," jawabnya enteng, lantas kembali menyendokkan bubur dan menyuapkannya ke arah mulut Ratri yang matanya kian melotot. Jengkel.

"Gue heran sih. Mas Bhaga tuh cakep, orangnya royal, baik pula..." tatapan Nanda mulai menerawang, sebelum kembali melihat pada Ratri. "Tapi kok dia mau ya sama lo? Sudah badan tipis, makan pilih- pilih, nggak bisa masak, jutek pula!"

Ratri menjelingkan matanya. Mulutnya lambat mengunyah kacang hijau yang nggak terlalu hancur dan masih bertekstur.

45 menit kemudian bubur itu baru habis. Nanda langsung keluar dari kamar Ratri karena mengeluh bahwa tangannya pegal. "Lebih baik gue nyuapin Zio dah ketimbang lo! Pegel pisan ini tangan!" Keluhnya sebelum bangkit dari kursi.

Saat itu ponselnya yang ter- charger di atas meja nakas di samping tempat tidurnya bergetar.

Sebuah panggilan video.

Dari Bhaga.

Ratri segera turun dari ranjang untuk mengecek penampilannya di kaca rias. Wajahnya jelek bukan main akibat pucat. Lalu pandangannya turun untuk meneliti pakaiannya. Celana pendek bermotif batik dan kaus hitam yang agak longgar. Dia segera lari ke kamar mandi untuk mencuci muka, mengoleskan lip ice supaya bibirnya nggak terlihat pucat dan pecah- pecah. Lantas kembali duduk di atas ranjang dan menyelimuti perut ke bawah. Lalu menyalakan lampu supaya lebih terang.

"Kok lama banget, Dik ngangkatnya? Dandan dulu ya?"

Wajah Bhaga muncul. Tampak lelah, tatapannya kurang fokus, namun tetap terlihat ganteng.

"Nggak. Tadi di kamar mandi..."

"Kok mukamu pucat begitu? Lagi sakit ya?"

Ratri menggeleng.

"Mas ngapain nelepon jam segini?" Ratri mengerling pada jam beker yang nongkrong di atas nakas. Pukul sebelas malam.

"Lha memang nggak boleh nelepon pacar sendiri?"

Spontan saja Ratri memutar bola matanya.

"Lho...lho...apa itu? Kok pakai muter bola mata segala?"

"Mas lagi di mana sih kok rame banget ini?"

"Angkringan. Dekat Unisbank."

"Tunggu sebentar, " tampak di layar Bhaga sedang berjalan melangkahi beberapa orang yang sedang duduk di sebelahnya. Disusul dengan berbagai macam umpatan karena Bhaga melangkahi kopi salah satu temannya.

Suasana di Semarang bawah memang selalu hidup hampir 24 jam. Sedikit banyak, mau nggak mau, Ratri jadi merindukan kota itu.

Dulu setiap malam minggu Mas Rivan selalu mengajaknya turun ke bawah. Atau terkadang ia nekat main- main ke Citraland, Simpang Lima dan Kota Tua jika sekolah bubar lebih awal. Nebeng teman- temannya dan pulang hingga sore hari seraya berdoa dalam hati supaya ayahnya belum pulang dinas. Kalau beliau sudah pulang, bisa dipastikan Ratri diceramahi sampai besok paginya. Ayahnya memang sangat disiplin dalam mengasuhnya dan kedua saudaranya.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang