Tigapuluh tujuh

11.2K 1K 3
                                    

Perjalanan dari stasiun Tawang ke Ungaran memakan waktu nggak sampai dua jam tanpa lewat tol karena jalanan saat itu lengang. Kalau padat bisa sampai dua jam, bahkan lebih.

Dengan nada mengantuk, Ratri mengucapkan banyak terimakasih. Pak Antok menolak ketika Ratri menawarinya kopi. Pria itu langsung cabut begitu misinya selesai. Di pertengahan jalan tadi Leona sempat meneleponnya dan menanyakan mereka sudah sampai di mana.

Sambil menyeret tubuhnya yang lelah dan ngantuk berat mendekat ke pintu gerbang. Dia hafal di luar kepala kalau di jam- jam seperti ini ibunya pasti sudah bangun. Menekan bel berulang kali yang rasanya hampir berabad- abad. Setengah jam kemudian muncul dua orang perempuan, yang satu mengenakan daster dan nggak memakai hijab. Sementara satunya lagi mengenakan daster lengan panjang dengan hijab instan. Sosok yang amat sangat dirindukannya di dunia ini. Ibunya. Melangkah bagaikan prajurit, tergopoh- gopoh mendekati pintu gerbang setinggi tiga meter itu.

"Oalah Ratri, Nduk ..." Ibunya nggak bisa berkata- kata. Matanya yang bening layaknya telaga kemurnian itu berkaca- kaca. Mbok Rah mengikuti di belakangnya. "Oalah, Nduk... Tak kira siapa? Kamu kok pulang jam segini?" Perempuan itu kemudian menoleh pada Mbok Rah yang sama bengongnya. "Rah, iki aku orak ngimpi to? Iki Ratri anakku tenan to?"

"Inggih Bu Dokter..." jawab Mbok Rah. "Nanging nyuwun sewu, Bu Dokter, niki mbok lawangipun dibuka' rumiyin. Ngesakaken Mbak Ratri. Kadose kok ngantuk banget niku lho..." ( Iya Bu Dokter. Tapi mohon maaf Bu Dokter. Ini pintunya dibuka dulu. Kasihan Mbak Ratri. Kayaknya kok ngantuk banget itu)

***

"Mbok, coba telepon Yu Pa' ah. Tanyain apa masih ada ayamnya sama ati ampelanya sekalian ya. Itu kesukaan Ratri," samar- samar dari dalam kamarnya, Ratri bisa mendengarkan dari dalam kamarnya kesibukan yang terjadi di dapur rumahnya.

"Sama buatin acar ya, Mbok Rah?"

Ratri melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Jam enam pagi. Ratri bangun dari kasur dalam balutan daster berbahan kaus bergambar Doraemon. Rambut panjangnya dia ikat ekor kuda, lantas keluar dari kamar menuju kamar mandi yang letaknya ada di dekat tangga menuju lantai dua. Televisi di ruang tengah menayangkan acara tausiah. Menyala tanpa ada yang menontonnya.

Selesai dari kamar mandi, Ratri menuju dapur, di mana pusat kehidupan rumah besar itu berada. Aroma teh menyambut indera penciumannya. Satu teko besar teh tersedia di atas meja komplit dengan sepiring mendoan yang masih mengeluarkan asap tipis dan juga sambal kecap. "Lho kok sudah bangun, Nduk?"

Ratri memeluk sang ibu dari belakang. Perempuan yang masih menguarkan harum kenanga itu menggenggam kedua lengan Ratri. "Mama kok kelihatannya lebih sibuk daripada bupati sih? Nggak ke RS memang?"

"Ini hari Sabtu. Mama cuma ke Kemala jam dua nanti," jawab ibunya. Kemala adalah nama klinik kesehatan ibu dan anak yang terletak di Setiabudi, Semarang selatan. "Jadi mama bisa masak buat kamu. Mama juga sudah telepon Mila sama Riris. Nanti siang mereka pasti kemari. Pandu dan Kresna kan kangen tantenya to,"

Sementara kedua tangan mama terus bergerak cekatan meracik bumbu- bumbu, mengupas kentang, merebus telur, menggoreng tahu, bibir perempuan yang berusia pertengahan limapuluh itu tetap merepet bercerita tentang apa saja. Ratri mendengarkan dengan takzim. Untuk saat ini biarpun ibunya mengomelinya dia akan tetap mendengarkan dengan lapang dada.

"Tapi nanti siang aku harus ke tempat Leona, Ma. Nggak enak. Tiket ke sini dibayarin sama dia. Cik Yen minjemin Pak Antok buat jemput aku jam dua pagi tadi. Aku juga harus ambil seragam buat bridesmaid. "

Mamanya mengangguk. "Mama sih juga dapat undangan, Nduk. Tapi ya mau nanyain ke kamu kok ya..." perempuan itu tampak bingung mengutarakan maksudnya, "sebenarnya mama maunya kamu pulang. Gitu saja,"

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang