Enampuluh

13.9K 1.3K 40
                                    

Ratri berjalan seperti tahanan ketika searut wajah muncul di ambang pintu ruangan rawat inap ibunya. Wajahnya tampak tegang, sama seperti wajah Ratri sendiri. "Nang," seru ibunya, "Ini mbok Ratri diantar pulang. Kasihan, ini dia kan baru perjalanan panjang dari Kalimantan ya, kan? Jadi biar istirahat dululah dia,"

Bhaga mengangguk dengan wajah kaku tapi hatinya mekar. Sebuah rencana terbersit dipikirannya. Ratri menoleh ke arah ibunya untuk yang terakhir kali, sebelum  akhirnya berjalan mengikuti lelaki itu yang keluar terlebih dulu.

***

Mobil meluncur membelah senja yang menggelora di langit yang perlahan menggelap di sebagian sisinya. Bersalut awan mendung, angin menjadi dingin. Ratri gemetar memeluk tubuhnya sendiri.  Tangan Bhaga terulur untuk menurunkan suhu pendingin udara. Samar- samar mulai terdengar adzan maghrib bersahut- sahutan. Hening tercipta di ruangan kecil itu seperti mencekik Ratri. Sudah tiga tahun dia melangkah menjauh dari segalanya yang pernah ia miliki lalu ia tinggalkan di sini. Kebanyakan memang dengan teman- temannya. Karena Ratri tidak punya cinta monyet di sini. Ayahnya terlau strict padanya, sehingga beliau terus memantau gerak- gerik putrinya.

Pernah suatu kali Ratri turun ke kota Semarang bagian bawah bersama teman- teman sekolahnya. Waktu itu selesai ujian nasional, dan karena penat, beberapa temannya seperti Esthi, Mala, Fitri, Tio dan Heru berencana turun ke bawah. Esthi dan Fitri memaksanya untuk ikut. "Ayo dong Tri. Sebentar lagi masa- masa SMA  bakalan berakhir... Sekali ini saja, oke. Nggak akan lama. Nggak sampai sore. Janji deh,"

Akhirnya mereka turun berboncengan. Ratri dibonceng Esthi, Mala dengan Fitri, Heru dan Tio masing- masing membawa motor sendiri- sendiri. Beberapa kelompok temannya yang lain ada yang sampai ke Platungan- Kendal, Kopeng, Salatiga bahkan ada yang nekat sampai ke Ampel Boyolali untuk merayakan selesainya ujian nasional. Penat akibat berjuang seminggu akhirnya terbayar ketika Ratri dan teman- temannya tiba di area Kota Tua. Berfoto dengan ponsel zaman dulu, saat android belum menjamur seperti sekarang. Dari kota tua mereka melipir ke mal Citraland berlama- lama di sana, meskipun hanya cuci mata, dan beli makannya tetap ke pinggiran Simpang Lima karena waktu itu uang saku mereka hanya cukup untuk beli bensin, bayar parkir motor dan beli makanan di pinggiran saja.

Saat sedang makan itulah ia bertemu dengan salah satu kolega ayah Ratri, sesama polisi. Awalnya pria berusia akhir tiga puluhan bernama Om Rinto itu hanya tersenyum ke arah Ratri dan teman- temannya. Beliau baru saja menghabiskan makanan lalu melangkah keluar, dan lima belas menit kemudian ketika mereka saling bercerita hal- hal lucu selama ujian seminggu ini, tiba- tiba wajah ayah Ratri muncul. Dalam kondisi murka mendapati anak perempuannya keluyuran di bawah." Kamu kenapa di sini?! Bukannya malah pulang bantuin mamamu, malah ngelayap ndak karuan. Mau jadi apa kamu! Pulang sekarang atau ayah seret. Ayah ndak suka anak gadis ayah kelayapan ndak jelas begini!"

Semua teman Ratri dan orang yang sedang makan di warung yang menjual tahu gimbal di sekitaran Simpang Lima itu melihat ke arah Ratri dan ayahnya. Ratri malu bukan main. Langsung kabur begitu saja. Namun sebentar kemudian Esthi mengikutinya dan menenangkannya. "Ngapurane yo, Tri. Aku ndak ngerti kalau bapakmu segalak itu... Ayo wis tak anterin pulang." Esti sama- sama nyaris menangis, menuntun Ratri ke motor Honda Supra Fit warna oranye milik Esti yang diparkir di dekat warung tahu gimbal.

Jadi bisa dibilang dia nggak punya kenangan manis di kota ini. Kecuali kenangan terakhir mereka--- Bhaga, kedua keponakannya dan juga dirinya tiga tahun yang lalu di kolam renang dan es krim Toko Oen.

Saking asyiknya Ratri melamun dia sampai nggak menyadari bahwa mobil melewati jalanan yang asing di ingatannya. Rumah Mas Rivan ada di Pleburan , ini kelihatannya sama sekali nggak menuju ke area itu. "Kita di mana?" Dia celingukan. Menegakkan tubuh. Mobil kemudian berbelok ke sebuah rumah dengan pagar hitam setinggi empat meter. Ini di Ngaliyan.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang