Story of Mr And Mrs Nirankara part III

13.4K 1.2K 31
                                    

Sesampainya di rumah, jam di pergelangan tangan kanannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Mbak Mutik tampak menyapu halaman depan, begitu mobil Bhaga masuk ke halaman, perempuan itu melengos. Membuat Bhaga keheranan setengah mati.

Selama dua tahun ini Mbak Mutik memang lebih sering menghabiskan waktu untuk menemani Ratri, yang dengan telaten mengajari Iwan--- anak mbak Mutik yang sudah kelas 6 SD. Dan karenanya mbak Mutik merasa berutang budi pada istri Bhaga tersebut. Ratri juga jadi menyukai anak- anak yang sering diajak Iwan main ke rumahnya. Bhaga menyediakan rumah mungil berkamar dua untuk pasangan itu. Putra mbak Mutik sebenarnya ada dua, tapi yang satu mondok di Kudus. Namanya Falih. Usianya selisih tujuh tahun lebih tua dari Iwan.

Setelah turun dari mobil, Bhaga menyugar rambutnya yang berantakan, menghampiri Mbak Mutik yang memisahkan sampah organik dan anorganik ke dalam sak- sak yang sudah disediakan. Sampah organik akan ditimbun dan dijadikan pupuk untuk tanaman. "Istri saya sudah pulang, Mbak?"

Perempuan yang sepantaran Bhaga itu mendesah lelah. "Tadinya sudah, Mas..."

Mata Bhaga membelalak lebar. "Maksudnya? Dia keluar lagi?"

Mbak Mutik mengangguk. Tangannya maih sibuk memilah- milah sampah. Mana yang bisa disetor ke bank sampah yang ada di lingkungan itu, mana yang dijadikan pupuk organik. Tanpa sekalipun menoleh ke arah Bhaga yang tampak panik bukan main. Suzuki Ignis merah istrinya memang nggak ada di garasi. Tapi dia pikir perempuan itu sedang mampir ke mana gitu.

"Lagian Mas Bhaga ini gimana? Masa ketemu istri di luar malah ngurusin perempuan lain?!" Mbak Mutik menatap Sang Juragan dengan penuh cela. Lalu melengos tajam.

Lagi- lagi Bhaga hanya bisa mendesah. Begini akibatnya kalau terlalu dekat dengan ART, ngomong sama majikanpun kayak ngomong sama teman sebaya. Ya habis mau bagaimana lagi. Ibunya yang mengajarinya bahwa sama orang yang kerja ikut kita itu kita harus ngajeni. "Supaya rejeki kita juga gampang, Nang..." Begitu pesan ibunya pada suatu masa. Makanya Mbok To betah puluhan tahun kerja ikut ibunya. Meskipun pada suatu masa ibunya nggak bisa menggaji perempuan yang kini sudah memasuki usia sepuh itu. Bhaga mengeluarkan ponsel, seraya terburu- buru masuk ke dalam rumah. Hendak memeriksa barang- barang sang istri. Takut perempuan kesayangannya itu minggat ke Ungaran.

Kalap, ia membuka kamar yang khusus untuk baju- bajunya dan milik istrinya. Mendesah lega karena sebagian besar baju- baju itu masih berada di tempatnya. Namun jantungnya mencelos bersamaan teleponnya diangkat oleh suara dalam dan berat milik sepupunya. "Apa lagi?" tanya suara itu malas- malasan.

Bhaga melihat tas travel beroda milik istrinya sudah tidak ada di tempat. Dan satu sisi lemari yang tertutup cermin setinggi badan itu sudah kosong, menyisakan dua gaun koktail milik istrinya. Celana jins, rok jins, overal jins, kaus, rok lipit dan maxi dress yang sehari- hari dikenakan istrinya sudah raib bersama tas travel tersebut.

"Woy Mas! Malah diem. Mau ngomong nggak sih?"

"Oh. Halo. Eh..."

"Mbak Ratri lagi?" Suara Dana bernada jemu. Bosan. Paling- paling berantem lagi. "Apa lagi sekarang? Perempuan mana lagi kali ini?"

Bhaga terdiam. Yah. Dia menolong Riani bukan punya maksud tersembunyi. Dia hanya merasa kasihan. Itu saja. Tentu saja orang- orang pasti akan menyalahkannya jika tahu dia lebih mendahulukan orang lain ketimbang istrinya sendiri. "Sudahlah Mas. Cerai saja. Mumpung Mbak Ratri belum hamil ini. Apa nggak kasihan sama anak kalian nanti. Nasibnya sama kayak aku. Kayak Yu Tari. Yu Windi. Kami semua ini sudah pusing dengan tabiat bapak. Masa Mas juga mau ikut- ikutan jadi bajingan."

Semenjak ditinggal perempuan yang dicintainya, Dana tumbuh menjadi sosok yang semakin pahit. Kini dia tinggal di Yogya, melanjutkan kuliah dan membangkrutkan bapaknya yang kini menikah lagi dengan perempuan lain.

Hati Bhaga semakin mencelus. " Mungkin keluarga kita ditakdirkan untuk menyakiti hati pasangan, Mas. Lihat akhir yang didapatkan ibuku. Demi hak waris buatku dia rela dimadu. Aku sama sekali nggak ngerti tentang logika perempuan. Katanya ibu sayang sama aku dan tetap ingin mendapatkan hak- hakku sebagai anak bapak. Tapi aku nggak peduli lagi. Persetanlah dengan rumah, tanah, warisan dan segala tai kucing milik bapak itu."

Bhaga tertegun. Dalam kepalanya terlintas masa- masa dia memperjuangkan Ratri. Sempat mengkhianatinya, dan perempuan itu masih mau memaafkannya. Tiba- tiba saja kata- kata Dana barusan seperti sebilah pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Apakah aku ditakdirkan untuk menyakiti perempuan yang kucintai?

"Kita ini lelaki dungu, Mas. Kita ini seperti keledai. Tahu akan  terjatuh di lubang yang sama, tapi kita tetap  mengulangi  lewat jalan yang sama dan terperosok lagi. "

Selanjutnya kata- kata Dana seakan bercampur dengan deru napasnya dan degup jantungnya yang menggila. Sepertinya dia menelan jantungnya sendiri.

***

Setelah mengantarkan Asti pulang ke rumahnya di Pandean Lamper, Ratri berkeliling tak tentu arah dengan mobilnya. Ia sebetulnya hendak mampir ke rumah Mas Rivan, namun dia takut diinterogasi kakaknya itu yang dari awal seperti tidak menyetujui pernikahannya dengan Bhaga, karena kakaknya itu pernah bertemu Bhaga sedang jalan dengan seorang perempuan di mal kawasan Sompok. "Tabiat tukang selingkuh itu nggak akan berubah. Sebab itu sudah habit."

Tapi mau bagaimana lagi. Mamanya yang menyodorkan Bhaga padanya. Dua tahun ini Bhaga memang tidak menampakkan kecenderungan jelalatan ketika mereka jalan berdua. Malah dia yang suka ngamuk kalau ada mahasiswa atau eksekutif muda yang memandangi Ratri dengan penuh minat. Perempuan itu tiba- tiba berhenti di dekat bundaran Kalibanteng. Tubuhnya gemetaran. Ia merasa sendirian. Menundukkan kepalanya ke atas roda kemudi. Air matanya bercucuran. Ia tidak punya tempat lari kali ini.

Kalau dia pulang ke Ungaran takut ibunya akan kaget dan kesehatannya akan terganggu. Beliau pasti merasa sangat bersalah. Mbak Mila ada di tempat mertuanya di Magelang. Tadinya Asti sudah menawarkan agar Ratri menginap saja di rumahnya. Anehnya perempuan itu malah lebih gemas pada Bhaga ketimbang Ratri sendiri.

"Asu bajingan tenan kok wong lanang kuwi ancene!" Selama perjalanan mengantarkan Asti pulang ke rumahnya, perempuan itu nggak berhenti mengumpat. Dan umpatannya nggak kalah kasar sama preman yang mangkal di Pedurungan atau Kaligawe. Untung saja Azmi sedang tidur di baby seat yang diletakkan di jok tengah. Ratri sempat ingin tertawa, solidaritas sesama perempuan terkadang memang menghangatkan hati kita. "Kalau aku sih Mbak, tak sunatin lagi. Kalau dia tidur tuh aku panggil dukun sunat biar disunat pakai golok sampai ngepok. Biar deh dia mau ngerentengin perempuan sampai seribu juga biarin. Atau datengin dukun. Dan minta supaya dibikin barangnya itu nggak bisa ngaceng!" Mulut Asti seperti nggak puas- puasnya menyumpahi penderitaan untuk Bhaga. "Biar tahu rasa dia. Muka boleh ganteng. Harta bejibun. Duit banyak. Tapi nggak bisa ngaceng gimana tuh perasaannya. Pasti sengasara seumur hidup!" Mata gadis itu membara oleh amarah.

Ratri hampir menubruk mobil yang berhenti di depannya ketika mendengar angkara murka yang berkobar- kobar dari mulut Asti yang akan membuat kuli- kuli di pelabuhan Tanjung Mas tampak lebih alim. "Subhanallah anak gadis mulutnya!" Ratri menegur. Asti melengos. Nggak mau tahu.

"Mbak... Mbake...!" Seseorang bertopi dan bertubuh gempal penuh tattoo, memgenakan singlet putih tampak  mengetuk jendela mobilnya. Ratri menjengit kaget, menegakkan tubuhnya di jok kemudi. Saat menoleh ke arah sumber suara, ketakutan terpancar jelas di sepasang mata sipit gadis itu. "Mbak," pria bertopi yang kira- kira seumuran suaminya itu kembali mengetuk jendela mobil. Kali ini ekspresi di wajahnya tampak khawatir. "Turunkan jendelanya. "

Dari gerak bibirnya, Ratri tahu, lelaki bertubuh gempal penuh tato itu memintanya untuk membuka kaca mobil. Tapi perempuan itu bahkan tak sanggup mengubah mimik wajahnya yang dipenuhi ketakutan. Berbagai adegan horor berkelebat di kepalanya.

Bagaimana tidak, kalau diperhatikan area itu cukup sepi saat ini. Orang lewat banyak, namun apakah mereka akan mempedulikan nasibnya yang sedang di ujung tanduk. Kalau orang ini berniat merampoknya bagaimana. Ya kalau hanya uang atau mobilnya yang diambil, kalau tubuhnya juga yang dijadikan sasaran, dan berakhir di Headline koran Tribun dengan tulisan; SEORANG WANITA DITEMUKAN TEWAS TANPA BUSANA DI AREA  SEKITAR BEKAS PABRIK NYONYA MENEER.

Saking kalutnya pikiran Ratri, akhirnya tubuhnya menyerah. Dan dia memasrahkan hidup dan matinya pada Sang Mahatinggi.

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang