Limapuluh

12.4K 1.2K 82
                                    

"Apa nggak ada kemungkinan buat aku, Ga? Buat kita sama- sama?" Kirani bertanya dengan raut berharap sekaligus putus asa. Belakangan, setelah peristiwa ciuman itu Bhaga seolah- olah menghindarinya. Padahal tadinya ia berharap jika Bhaga akan mengakui perasaannya untuk Kirani.

Setelah satu bulan terakhir mereka selalu bersama- sama. Ia kira perasaan itu nyata adanya. Bukan hanya khayalannya saja bahwa lelaki itu menyimpan perasaan khusus padanya.

"Aku minta maaf, Ran... " Hanya itu yang keluar dari sepasang bibir tebal yang rasanya akan selalu diingat oleh Kirani. Bibir yang melumat bibirnya dengan membara, dan... Dan putus asa. Kirani bukanlah anak kemarin sore yang baru merasakan ciuman pertamanya. Ada keputusasaan dalam ciuman lelaki itu. Meskipun sudah mati- matian ditepisnya, rasa hangat bibir itu seolah masih menempel di bibirnya.

Kirani menggeleng. Saat ini dia sama putus asanya dengan pria yang duduk di hadapannya, di seberang meja , di sebuah warung yang menjual susu sapi murni dan roti bakar. Dua gelas susu cokelat termangu di atas meja. Mendingin. Karena sudah setengah jam dibiarkan menunggu tanpa kejelasan. "Sayangnya aku sudah terlanjur punya presepsi yang berbeda pada kedekatan kita, Ga." Gumam gadis itu. Pahit.

"Sekali lagi, aku minta maaf, Ran... Nggak seharusnya aku nggak melakukan itu padamu..."

Tapi aku nggak keberatan, Bhaga...

Gadis itu memejamkan mata sebelum meluncurkan pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan yang akan memporak- porandakan hatinya sendiri. Tapi pertanyaan itu akhirnya meluncur juga. "Apa kamu betul- betul mencintainya? Perempuan itu maksud aku? Apakah hubungan itu serius?" Antara harapan dan keputusasaan sudah nggak ada bedanya bagi Kirani.

Tatapan Bhaga menerawang. Ingatannya melayang pada hari ketika ia datang ke Jakarta untuk pertamakalinya karena menjemput Dana yang minggat. Saat itu, hubungannya dengan Ratri belum memiliki kejelasan. Bukan gadis itu yang mengejar- ngejarnya. Mengemis cinta padanya. Yang terjadi malah sebaliknya, lelaki itu yang pertama kali menciumnya. Menyatakan kepemilikannya. Kemudian adegan berpindah ke saat- saat Bhaga memberitahu ayahnya bahwa ia tak bisa menikahi Asti karena hatinya jatuh cinta pada gadis lain. Ratri.

Sekarang semuanya itu seperti kebohongan dan bullshit yang dikarang untuk menipu dirinya sendiri. Pantaskah orang yang membuat kesalahan sefatal dirinya diberikan maaf oleh Ratri? Atau oleh Kirani.

"Aku serius sama dia," ungkapnya. "Tapi aku nggak yakin dia masih mau menerimaku setelah aku mencium kamu di mobil itu,"

"Then choose Me, Bhaga. Leave her."

Lelaki itu semakin merasa bersalah mendengar kata- kata Kirani. Tangannya yang besar meraup rambutnya yang kini semakin panjang karena belum sempat bercukur. "Hubunganmu dengan dia sepertinya nggak berjalan baik,"

"Karena aku terlalu overthinking."

"Mungkin kamu hanya butuh waktu untuk melupakannya. Aku bersedia mendampingi kamu dalam menjalani prosesnya,"

"I' ve been tried. Tapi itu hal termustahil yang pernah aku coba."

"Mungkin waktunya kurang lama," Kirani seperti gigih mencoba membelokkan hati Bhaga. Namun lelaki itu hanya tersenyum getir. Seandainya dirinya nggak terpengaruh oleh omongan kakak Ratri. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Namun sekarang segalanya sudah tertinggal jauh di belakang. Ia tak mungkin bersama Kirani. Dia juga nggak akan punya nyali untuk meminta Ratri kembali padanya.

Namun sesudah permohonan itu terucap dalam batinnya, sosok itu muncul begitu saja di hadapannya. Bagaikan mimpi, Bhaga membelalakkan mata tak mempercayai penglihatannya.

Ratri dengan kaus hitam lengan panjang dan rok denim sepanjang betis, dengan rambut digelung asal di puncak kepala, memberikan kesan tegas dan aristokrat di wajahnya yang putih, melangkah masuk diseret oleh seorang wanita dengan penampilan nyentrik--- celana yoga hitam dan kaus pink.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang