Duapuluh empat

13.7K 1.1K 3
                                    

Sebelas tahun yang lalu...

Sebagai mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampusnya, Bhaga memang sering pulang larut malam dan bahkan menginap di kampusnya. Tapi hari itu, dia memaksakan dirinya untuk menyetir motornya hingga ke kosannya yang berada 700 meter dari kampusnya.

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan sepertinya hujan akan turun, karena semenjak dari kampus tadi kilat terus menyala- nyala di sepanjang jalan menuju kosnya. Ketika memarkir motor di parkiran kos, seorang gadis dalam balutan kaus lengan panjang warna putih dan jin abu- abu, dan rambut sepanjang punggung berlari ke arahnya. Riani Cahya. Gadis manis yang merupakan teman satu kampusnya. Mata gadis itu berkaca- kaca, menghampiri Bhaga. "Ga..."

Gadis yang dikenal Bhaga sebagai sosok yang kalem itu kini duduk di muka kosnya dengan muka pucat dan sayu, serta hampir menangis. Bhaga mengikutinya duduk di muka kosan. "Kenapa, Ri? " Bhaga mencoba mengajaknya bicara. Biasanya Riani adalah orang yang logis, entah apa yang membuatnya jadi emosional begini.

Riani melirik Bhaga sekilas, sebelum berkata, "aku tuh udah nggak sanggup lagi sama Bentala, Ga. Dia selalu begini. Dia nganggap aku kayak keset kaki,"

Mungkin ini efek dari kelelahan sehingga Bhaga nggak membantah perkataan gadis itu. Bentala memang sejak dulu aktif di pecinta alam, dan hal itu yang membuatnya selalu sibuk, bukan karena main perempuan. Karena setahu Bhaga, Bentala mati- matian mendapatkan Riani saat tahun- tahun pertama mereka kuliah.

"Tapi yang kali ini aku merasa nggak dihargai, Ga. Masa dia main pergi begitu saja tanpa pamit ke aku?!" Riani bertanya balik. "Aku tahunya malah dari anak- anak,"

Bhaga yang nggak tahu ujung pangkal masalah antara Bentala dan Riani nggak bisa berbuat apa- apa. "Siapa tahu dia sudah ngasih tahu kamu. Atau mungkin waktunya mepet..."

"Jadi beneran dong aku nggak dihargai di sini? Dia main pergi begitu saja. Aku nggak masalah dia nggak ngapel setiap minggu, Ga. Tapi masalahnya ini sudah bulan keempat dan nggak ada kejelasan kita mau lanjut atau udahan," saking emosinya, Riani sampai nggak bisa menahan kata- katanya yang meluncur terlalu keras, hingga sekelompok anak SMA yang menempati seberang kamarnya berhenti menggenjreng gitar. "Ri ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang dan menenangkan diri dulu."

"Aku capek, Ga."

Bhaga ikut menghela napas berat. Sejujurnya, dia juga teramat lelah. Kalau Riani mau tau, dirinya sudah dua hari menginap di kampus untuk menyukseskan acara bazaar amal untuk penggalangan dana mendirikan sekolah darurat untuk anak- anak korban bencana.

"Aku nggak ngerti apa yang kurang dari aku," Riani kembali berbicara dengan mata menerawang. Petir berdentum keras, sementara kilat sabung menyabung di langit yang semakin gelap dan pekat. " Selama ini aku selalu mencoba menerima perlakuan Bentala padaku,"

Detik berikutnya, butiran hujan turun menghantam atap bangunan dan menimbulkan suara nyaring yang harmonis. Riani mendekap tubuhnya erat- erat. Bhaga nggak tahu harus berbuat apa, karena nggak setiap hari dia kedatangan seorang tamu perempuan muda yang sedang patah hati sekaligus kacau pada malam hari berhujan di kosnya.

Bhaga sendiri cenderung jarang ngendon di kos. Dia aktif wara- wiri di kampus, kalau nggak sedang bekerja paruh waktu di percetakan. Dan malam ini yang ingin dilakukannya hanya masuk ke dalam kamarnya, mandi, lalu tidur sampai besok sore. Persetan dengan semuanya karena tubuhnya benar- benar kelelahan.

Namun sebagai laki yang dididik oleh ibunya untuk selalu melindungi perempuan, dia nggak bisa cuek- cuek saja dengan menyuruh Riani pergi dalam keadaan begini. Dia sendiri nggak mungkin mengantarkan Riani karena dengan hujan yang seperti dicurahkan dari langit begini, mereka berdua akan basah. Bhaga buntu.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang