Empat

24.8K 2.1K 26
                                    

Suasana di rumah Bude Nani begitu meriah pagi ini. Tenda- tenda sewaan berdiri di halaman rumah Bude Nani hingga melewati depan rumah tetangga. Tenda mewah bernuansa emas dan marun. Kwade atau pelaminan bergaya gebyok yang akan menampung kedua mempelai, kedua orangtua Mbak Windi dan perwakilan dari pihak keluarga Mas Ferry. Lalu untuk dua pasang pagar ayu dan pagar bagus, dan dua unyil. Suara Nasidah Ria yang melantunkan lagu "Duhai senangnya pengantin baru...duduk bersanding bersenda gurau..."

Kursi- kursi berbalut kain warna emas ditata di depan pelaminan. Meja- meja dipenuhi aneka penganan, baik yang dipesan ataupun yang bikin sendiri.

Acara temu manten dimulai pukul sepuluh pagi. Sementara ijab kabul jam sembilan. Keluarga Mas Ferry yang berasal dari kawasan Banyumanik rencananya akan tiba di Ungaran pukul setengah sembilan. Rumah Pakde Suryo akan menampung para pengiring pengantin selama acara ijab kabul berlangsung.

Tukang rias berjilbab dan bertubuh ramping sedang memoles wajah Mbak Windi. Memang benar saran Bude Nani, karena puasa mutih, wajah Mbak Windi tampak manglingi. Kulitnya seperti menguarkan aroma harum khas pengantin. Wajahnya bercahaya.

Sementara asisten tukang rias ada dua orang. Satu orag menangani dua pagar ayu dan dua unyil. Satu lagi mengurus among tamu dan pagar bagus.

Mbak Windi sendiri sudah dibangunkan sejak pukul tiga pagi untuk maskeran, luluran dan lain sebagainya. Jam lima pagi, Mbak Iren--- perias dari sanggar rias Kemuning-- mulai merias Mbak Windi. Dan sampai sekarang masih belum kelar.

Ratri sendiri sewaktu dipaksa bangun pukul empat juga ogah- ogahan. "Cepet to, Nduk. Salat dulu. Nanti biar diantar sama Mas Rivan ke tempat Bude. Ayo, nanti telat. Kebayanya udah Mama taruh di paperbag, kok."

Malas- malasan Ratri bangkit dari kasur, berjalan gontai ke kamar mandi. Asem! Airnya dingin banget! Ini Ungaran. Bukan Jakarta. Ratri baru ingat setelah air dari shower sudah muncrat mengguyur tubuhnya.

Pukul setengah enam, Ratri sudah berada di kamar rias. Kamar Mbak Tari yang berada di lantai satu. Nia sudah stand by di sana saat Ratri datang. Tersenyum kelewat lebar hingga mengesankan keramahan yang palsu. Jangan tersinggung, sedari mereka berusia lima tahun persaingan itu sudah ada. Semakin mengetat ketika mereka beranjak SMP. Masalah gaun, meja belajar, mainan sampai cowok. Kebanyakan cowok mempunyai minat pada Ratri yang punya muka jutek- jutek cantik. Daripada Nia yang kadang bikin cowok kabur duluan sebab dia punya kecenderungan untuk mengejar.

"Kapan dateng, Mbak Tri?" tanya Nia. Nada suaranya dibikin mendayu- dayu, membuat Ratri bergidik jijik.

Gadis itu bangkit dari posisi selonjoran di atas karpet tebal punya Mbak Tari. Mengulurkan tangannya yang putih mulus ke arah Ratri. Lalu dilanjut dengan cipika- cipiki. " Kulitmu tambah alus, ya. Pake skincare mahal pasti. Eh, kamu kan kerja di Kencanawungu Cosmetics, pasti dapat perawatan juga, ya?"

"Nggak juga." Jawab Ratri dingin. Kering. Dia memang nggak doyan basa- basi. Apalagi sama si Nia ini.

Padahal tadi mamanya sudah berpesan, jangan terlalu judes kalau ketemu Nia. Tapi gimana mau nggak judes, coba. Baru lihat mukanya saja bawaannya sudah jengkel.

"Duduk situ dulu, Dek," kata Mbak Windi. Mbak Iren sedang melumuri wajah Mbak Windi dengan es batu. Katanya supaya pori- porinya nutup. Mbak Iren berdehem. Pertanda supaya Mbak Windi nggak banyak gerak ataupun banyak ngomong.

Asisten Mbak Iren bernama Mbak Laras. Perempuan mungil yang modis itu sedang merias Febby dan Citra.

"Ke sini sendirian?" tanya Nia lagi, begitu Ratri mendaratkan bokong di atas karpet.

"Dianter Mas Rivan,"

Nia tertawa mendengar jawaban itu. Tawanya, entah kenapa terdengar begitu menjengkelkan di telinga Ratri. Jenis tawa yang memancing kekesalan.  "Maksudku tuh ke Ungarannya. Nggak bawa cowok gitu? Kata Bude Nilam padahal kamu udah punya cowok di Jakarta."

"Yah. Acara beginian nggak perlu bawa herder kan?"

Lagi- lagi tawa menyebalkan itu tersembur. Membuat Ratri ingin menyumpal bibir supertipis itu dengan kaus kaki punya Dana. "Kalo aku sih lagi serius sama cowok. Cowok idaman banget. Bukan orang kota besar, sih. Tapi kerjaannya mapan plus dia juga udah punya usaha sendiri," yang direspon Ratri hanya dengan satu dengusan.

"Yah, doain lancar. Kalau jadi, setelah Mbak Nad merit, aku Insya Allah juga nyusul. Tahun depan sih pasti."

Dan Ratri hanya mempersembahkan satu tatapan datar. Yang langsung membuat Nia bungkam karena kesal.

***

Rupanya yang jadi pagar bagus adalah Dana dan Bhaga. Dana sendiri tampak cenderung cantik daripada gagah. Ia mengenakan beskap yang senada dengan kebaya Ratri yang berwarna dusty pink.

Nia sendiri sudah panas dingin melihat betapa gagahnya Bhaga dalam balutan beskap serta blangkon. Posturnya yang tinggi besar amat menarik perhatian. Belum lagi wajahnya yang bagus. Tampan khas Jawa. Senyumannya tersungging miring.

Namun bukannya merespon Nia yang sudah hampir ngiler, lelaki itu malah mendatangi Ratri yang lagi ribut dengan salah satu sepupunya. Nia hanya bisa mencep. Melengos nggak terima karena merasa dirinya jauh lebih cantik daripada Ratri, tapi cem- cemannya malah ngelirik yang lain.

Dengan muka cemberut, akhirnya gadis itu menarik lengan Dana. "Lho Mbak e kok aku ditarik- tarik. Yang mau kawin kan Mbak Windi. Mbak Nia kalo kebelet sabar dulu. Akunya masih tujuh belas tahun. Lulus sekolah juga belum. KTP juga baru mau bikin!"

"Huss!" sentak Nia dengan mata membola lebar. "Gek kowe iki ngomong opo. Orak genah blas! Meneng wae lambemu iki!" ( Kamu ini ngomong apa. Nggak jelas sama sekali. Diem aja mulut lo ini!) Nia memberangus bibir merah Dana dengan tangan kirinya. Membuat cowok itu mengernyit jijik. "Hih Mbak Nia. Tangan kiwo kuwi lak mbok enggo cewok, toh! Kok mbok raupke lambeku!" ( Hih, Mbak Nia. Tangan kiri itu buat cebok. Kok kamu raupkan ke mulutku sih)

"Rak urus!" ( EGP) Nia menghentakkan kakinya. Dadanya semakin sesak saat melihat Bhaga yang berdiri di belakang Ratri.

Saat pranoto coro mengumumkan bahwa rombongan pengantin pria telah tiba, Mbak Iren menyuruh mereka untuk bersiap- siap di depan pintu masuk tenda. Pengantin pria datang mengenakan jas warna putih bersama pasangan parobaya yang Ratri asumsikan keluarga Mas Ferry. Pakaian mereka menandakan status sosial. Memang menurut cerita yang beredar, keluarga Mas Ferry kebanyakan pejabat di lingkungan DPRD hingga kabupaten. Mas Ferry sendiri juga memimpin perusahaan subkontraktor, meskipun usianya baru 30 tahun. Usia Mbak Windi sendiri adalah 26 tahun. Mereka bertemu di acara pernikahan putri Pak Sekda. Karena lingkup pergaulan ayah Mbak Windi dengan Mas Ferry memang sama, membuat pertemuan semakin sering terjadi. Dari situ mereka dijodohkan oleh orangtua dan para teman. Mas Ferry sendiri merasa cocok dengan Mbak Windi.

Acara ijab kabul berlangsung dengan khidmad. Mbak Windi mendapatkan seperangkat alat salat, uang senilai Rp 2. 700.000 , perhiasan emas seberat 27 gram. Sungguh istimewa.

Setelah ijab kabul usai, dilanjutkan dengan acara temu manten. Mas Ferry keluar dari tenda dan Mbak Windi menunggu di depan tenda. Shalawat berkumandang. Suasana syahdu membalut pagi itu. Barang- barang hantaran yang jumlahnya banyak dan isinya beragam diserahkan dari pihak pengantin pria. Disusul dengan serentetan upacara menginjak telur dan lain sebagainya. Selama acara tersebut, Ratri memasang wajah datar tanpa emosi. Padahal sedari tadi, di sampingnya, Bhaga tak henti menatap ke arahnya.

Dalam pikiran lelaki itu bermain skenario yang sama. Dia yang ada di depan tenda, menjemput sang mempelai. Dan yang ia bayangkan hanya wajah seorang gadis.

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang