Dua

26.5K 2.3K 20
                                    

Ratri berjalan gontai ke arah rumah Bude Nani. Tempat itu sekarang mirip barak pengungsian. Bude Nani adalah kakak dari Mama. Keluarga mereka memang keluarga besar.

Keluarga Mama terdiri dari sebelas bersaudara. Mama adalah anak nomor delapan dan beruntung. Dulunya Nenek Ratri berjualan sayur dan bumbu dapur di pasar Ungaran. Sementara kakek adalah guru SMP. Mereka menghidupi sebelas anak yang jarak lahirnya berdempetan. Jarak antara satu dengan yang lain sekitar setahun.

Putra pertama bernama Pakde Soeharno yang jadi insinyur dan tinggal di Purwokerto. Bude Nani adalah putri ke enam dari Mbah Moewardi, atau disapa Mbah Guru. Bude Nani seorang guru STM. Orangnya tegas dan disiplin. Barangkali itu sudah keharusan, mengingat kelakuan anak laki- laki yang terkadang memang di luar nalar.

Suami Bude Nani adalah Pakde Yanto, membuka jasa subkontraktor. Kehidupan mereka dari luar tampak sempurna. Dengan empat anak yang menurut istilah, sudah jadi orang. Alias mapan.

Anak pertama Mbak Herlina bekerja di Surabaya. Menikah dengan orang sana. Anak keduanya Mbak Tari, bekerja di sebuah universitas swasta di Solo. Mbak Windi adalah manager purchasing di sebuah perusahaan ekspedisi di Semarang. Dan terakhir Ardhana, satu- satunya anak lelaki yang berhasil dilahirkan Bude Nani dan membuat Pakde Yanto kembali pada keluarganya.

Hubungan keluarga Bude Nani dengan keluarga Mama memang yang paling dekat. Bude Nani sangat menyayangi Mama Ratri karena jadi yang paling manut di antara saudara- saudaranya. Pernikahan Nilam Cahyaningrum--Mama Ratri dengan Ipda Yasir Wibisono juga hasil perjodohan Bude Nani.

Rumah Bude Nani memang tidak sebesar rumahnya sendiri, jadi malam itu, Ratri dengan cepat bisa menemukan Bulik Mina di ruang tengah sedang membungkusi lemper ke dalam daun pisang. "Bulik, Nanda nangis tuh," kata Ratri. Dingin. Memang itu pembawaannya.

"Aduh, gimana. Bulik lagi bungkusin lemper. Ini mau dipakai besok jam sembilan lho, Tri. Masak kamu orak iso ngenengke?" ( Nggak bisa diemin) tangan gempal Bulik Mina tetap mengepal- ngepalkan ketan yang sudah dikukus, dan diisi dengan suwiran ayam berbumbu kuning. Di sini jika ada orang yang mantu memang masih melibatkan keluarga besar. Kesibukan sudah dimulai sejak sebulan sebelum hari H.

"Mboten saget Bulik. Entar malah aku digumohin." ( Nggak bisa bulik. Entar aku malah dimuntahin)

"Halah...wong kowe kan bakale yo dadi Ibuk. Mosok to ngeneng- ngeneng bocah bayi wae rak iso... Lha wong biasane karo Nia wae dicandak yo wes meneng wae kok," ( Alah, orang kamu kan bakal jadi ibu. Masak diemin bayi saja nggak bisa. Biasanya sana Nia aja diambil ya udah diam saja kok) Bulik Mina mendumel. Namun begitu perempuan bertubuh pendek, gemuk itu tetap bangkit. Pergelangan tangannya yang gemuk dilingkari gelang emas entah berapa gram. Sementara Ratri tetap berdiri di dekat pajangan kristal.

"Yu, aku arep bali disek. Nanda kae lho nangis. Iki bulik e rak iso ngeneng kok, "  ( Mbak aku mau pulang dulu. Nanda itu lho nangis. Ini tantenya nggan bisa diemin kok) teriak Bulik Mina. Membuat Ratri mendengus. Kalau bukan karena Citra, sepupunya yang usil mencubiti pipi bayi berusia tujuh bulan itu, Ratri nggak mungkin mau berada di sarang penggosip begini. Melihat sekilas tadi di depan Ibu- Ibu yang adalah saudara Pakde Yanto berbisik- bisik saat ia lewat.

Malam itu dia memang hanya mengenakan kaus yang dilapisi jaket, dan celana selutut. Saat berbalik, ia berpapasan dengan Mbak Windi yang malam itu tampak pucat. Bukannya segar karena mau menikah besok. "Mau ke mana, Dek?" cegat Mbak Windi lemas.

"Mau balik. Mbak kok pucet?"

"Eh, ini?" telunjuknya menunjuk ke mukanya sendiri. "Ibuk tuh maksa aku buat puasa mutih," kata Mbak Windi sembari senyum. Mereka memang lumayan akrab. "Nggak mau nemenin aku dulu di dalam. Lama kan kita nggak ngobrol. Udah jadi orang Jakarta sih," Mbak Windi tersenyum simpul. Tangannya yang kurus dan putih meraih lengan Ratri menuju kamarnya di lantai dua. "Ngobrol sebentar aja,"

Kamar Mbak Windi juga sama elegannya dengan kamar Ratri. Didominasi warna krem dan cokelat. Sebuah ranjang berukuran dua, sebuah lemari built in tiga pintu. Meja baca, meja rias dengan kaca berbentuk oval dan deretan skincare yang lumayan mahal, lalu terakhir adalah lemari buku yang isinya hampir tumpah.

Windi mendaratkan tubuhnya di atas springbed dengan cover bergambar bunga- bunga. Menarik Ratri bersamanya. "Kamarnya nggak dihias nih, Mbak?"

"Buat apa? Kan aku sama Mas Ferry dapet hadiah paket honeymoon di Karimunjawa. Percuma kan dihias. Palingan nanti kamar ini cuma buat tidur aja." Terang Mbak Windi. "Kamu apa kabar? Tambah cantik aja."

"Halah, kan terakhir ketemu tiga bulan yang lalu. Waktu aku balik buat selamatan Ayah. "

"Iya, sih."

"Kenapa kok kayaknya Mbak bingung sendiri? Semuanya lancar?"

Mbak Windi hanya mengangguk. Tapi tampak melamun.

"Nadia katanya juga mau merit ya, Mbak?"

"Hmm? Ya." Jawab Mbak Windi. "Sama teman kantornya juga kok. Pokoknya tahun ini kamu mesti bolak- balik pulang deh kayaknya,"

"Kalo Nia gimana kabarnya?"

Mbak Windi mengangkat bahunya. "Tadi pagi ke sini. Sore tadi pas balik kerja juga ke sini. Kan ada Bhaga tadi. Inget nggak. Yang ngatain kamu kayak Bai Su Zhen waktu itu. Sampai kamu nangis- nangis. Belum ketemu lagi?"

Ratri menggeleng kagok. Berbohong. Kalaupun ketemu, apa sih urusannya?

"Dia ngejar- ngejar Mas Bhaga juga ? Padahal Mas Bhaga juga risih sama dia, begitu?" Ratri memastikan.

Mbak Windi mengangguk.

"Kamu sendiri gimana? Udah punya belum?" tanya Mbak Windi. Yang hanya dibalas dengan satu senyum simpul oleh Ratri. Dia sendiri masih ragu mengenai perasaannya. Ratri sangat menyayangi Ergi. Lelaki itu saat nggak lagi kumat kurangajarnya, akan menjadi sosok kekasih yang perhatian dan menyenangkan. Namun, di sisi lain, Ratri merasa jijik jika mantan kekasihnya itu hobi main belakang lantaran Ratri nggak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya.

Ergi sendiri adalah pacar pertama Ratri, mengingat dirinya memang begitu sulit soal lelaki.

"Hey! Kok malah ngelamun," Mbak Windi menepuk pundak sepupunya itu, kontan membuat Ratri menoleh secepat kilat. "Kenapa Mbak?"

"Mau nginep, nggak?"

"Nginep di sini?" ia menaikkan alisnya yang tebal. "Buat apa?"

"Ya nemenin aku, dong. Lagian besok kamu juga jadi pager ayu juga kan? Dandannya di sini, kok. Sekalian aja, kan?"

"Tapi kan aku nggak bawa baju kebayanya, Mbak. "

"Ini udah malam, lho, Tri. Nggak takut ngelewatin rumah Mbah Sarinten. Pohon nangka yang di depan rumahnya itu kadang bikin salfok. Belum juga ngelewatin kuburan."

"Kuburan sih biasa, Mbak. Nangka Mbah Sarinten juga ngapain mesti takut. Selama nggak ada orang mabok aja aku berani."

"Ih, jangan dong. Ini udah mau jam sepuluh juga. Kamu biar dianterin Dana."

"Halah kok Dana. Ama cewek aja dia kabur kayak ayam sayur gitu kok," cela Ratri. Dana memang suka gitu. Sok jagoan. Hal paling heroik yang pernah dilakukan sama bocah itu hanyalah nurunin layangan dari pohon jambu biji. Mbak Windi tertawa.

"Eh, tapi Mbak Windi udah batalin puasa, kan?"

Perempuan itu mengangguk. "Tapi kok masih keliatan lemes gitu?"

"Kan aku puasanya seminggu, Dek. Wajar aja. Ya udah kalo nggak mau sama Dana. Kayaknya Mas Bhaga masih ada di halaman belakang rumah."

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang