Empatpuluh empat

11.4K 1.2K 26
                                    

Selepas isya, setelah rombongan teman- teman kantornya menjenguk, Ratri mendapatkan kejutan lainnya.

Kedatangan Bhaga.

Dilihat dari kondisinya yang sama berantakannya dengan Ratri, gadis itu menyimpulkan bahwa lelaki itu baru saja mengalami hari yang buruk.

Wajah lelaki itu begitu dekat dengannya. Tangannya berusaha menggapai tangan besar nan hangat, untuk meyakinkannya bahwa sosok yang duduk di sisi ranjangnya adalah benar- benar sosok yang sering membuatnya nggak bisa memejamkan matanya seminggu ini.

"Ini beneran kamu, Mas? Kok jadi berewokan kayak gali* begini?"

Bhaga nggak menjawab. Matanya fokus mengamati sosok gadis yang selama ini sering mengisi pikiran dan sanubarinya.

Jadi begitu pulang dari Karanganyar dan Dlanggu, dia mencari Dana. Namun ibunya mengatakan bahwa Dana ikut pergi ke Jakarta karena sepupunya sakit tipes. Begitu mendengar hal tersebut, Bhaga langsung menelepon Dana dan menanyakan kondisi Ratri. "Parah, Mas. Pucet banget. Lemes banget..." Dana yang memang suka jadi kompor meleduk ngomong yang bukan- bukan. Jadi Bhaga niat meluncur ke Jakarta pagi- pagi buta.

"Kamu kok bisa kayak gini itu mikirin apa sih, Dik?"

Mata Ratri yang sayu hendak menoleh ke arah lain. Raut juteknya berganti dengan wajah nggak berdaya. Pucat pasi. Membuatnya khawatir sampai nggak bisa mikir hal lain lagi. "Nggak, jangan ngadep sana! Sini ngadep Mas," tegas lelaki itu. Tangannya mengelus pipi pucat gadis itu. Saking pucatnya, Bhaga takut gadis itu sebenarnya nggak nyata. Telapak kakinya dingin sewaktu Bhaga menyentuhnya. "Kamu tega begini sama Mas ya?" pertanyaan lelaki itu membuat Ratri terdiam bisu. Dia nggak bisa membuka mulutnya untuk sekedar menyangkal kata- kata Bhaga. "Kamu ini Dik, Dik," lagi- lagi Bhaga menggeleng. Ekspresinya antara kalut, jengkel, kecewa, khawatir, bercampur jadi satu. "Sudah jarang balas chat WhatsApp Mas. Telepon juga nggak pernah dijawab. Sekarang ada kabar tapi kabar buruk. Mas harus lihat kamu dalam kondisi begini?"

Tahu- tahu mata Ratri berkaca- kaca, kemudian basah, disusul lelehan airmata yang membasahi kedua pipi pucatnya. Bhagapun nggak bisa berbuat apa- apa kecuali menggenggam tangan gadis itu lebih erat. Menciuminya, menjaganya.

***

"Mas Rivan sama Mbak Riris sudah pulang, Nduk," beritahu mamanya ketika pagi- pagi beliau membantunya untuk mandi. Ini hari ketiga Ratri harus menginap di rumah sakit, namun kondisinya semakin baik. Perutnyapun sudah mulai menerima makanan yang agak padat dari bubur dan sayur- sayuran yang dilumatkan. "Dana ikut mereka karena harus sekolah. Sebentar lagi dia ujian kan?"

"Terus mama?"

"Kamu mau mama pulang?"

"Ya enggak. Bukan gitu dong, Mama..."

"Supaya bisa berduaan terus?" Ia tahu mamanya hanya menggodanya. Beliau kemudian membantu Ratri untuk menghanduki tubuh Ratri. Setelah bersih, mamanya mengganti piama rumah sakit dengan piama Ratri sendiri yang dipak Nanda ketika mampir ke rumah sakit, kemudian menuntun Ratri kembali ke ranjang, di mana sudah ada Bhaga yang duduk  di sofa sambil membaca koran. Lelaki itu sudah tampak lebih manusiawi. Nampan sarapan sudah tersedia. Berisi nasi lembek, sayur dengan kuah warna kuning tanpa santan, dengan daging sapi yang disuwir halus, dan susu putih. Kali ini makanan itu lebih mirip makanan manusia ketimbang yang kemarin itu.

Sementara Ratri makan, Bhaga keluar ke kantin dan kembali dengan soto ayam Lamongan untuk sarapan dokter Nilam. Lelaki itu mengaku bahwa ia sudah makan.

Saat jam menunjukkan pukul satu siang, Bentala mengunjunginya. Mukanya langsung auto sinis melihat sosok Bhaga duduk di sofa ruang perawatan Ratri, sementara dokter Nilam sedang ke masjid untuk menunaikan salat dzuhur. "Akhirnya ketahuan kan?" Bentala melirik sinis ke arah Bhaga. "Seberapa pentingnya dia buatmu,"

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang