Bhaga terus menggenggam tangan istrinya yang terbaring belum sadarkan diri dari pingsan. Seorang perempuan dengan suara panik meneleponnya sekitar limabelas menit yang lalu dan mengatakan bahwa Ratri pingsan di dekat bundaran Kalibanteng. Rupanya di dekat situ ada warung kopi, seorang pria bertubuh gempal terpaksa merogoh tas Ratri untuk mencari tahu identitasnya setelah susah payah menyadarkan perempuan itu. Akhirnya si pria dan pemilik warung membawanya ke klinik dekat area situ, dan kemudian baru menghubungi Bhaga yang nomornya ada di daftar speed dial paling atas.
Tergopoh- gopoh Bhaga meluncur dengan penampilan superkacau ke Kalibanteng. Klinik itu tidak besar. Milik seorang dokter keluarga yang terdiri dari delapan ruangan. Ratri ditempatkan di salah satu kamar yang sepertinya digunakan untuk rawat inap pasien. Selain Ratri tidak ada orang lain di ruangan bercat putih yang disekat dengan gorden berwarna biru langit. Hanya ada nakas berbahan baja antikarat dan tiang infus dalam ruangan itu.
Perlahan sang istri membuka matanya, lalu menutupnya lagi. Rasa pusing yang hebat menghantam kepalanya. "Dik," panggil Bhaga lembut. Tangannya mengelus lengan istrinya itu dengan lembut. Ratri berusaha membuka matanya. Bau karbol langsung menyerang indera penciumannya. Ia kira dirinya sudah berada di alam lain. Namun sentuhan tangan Bhaga menyadarkannya bahwa dirinya masih memijak di atas bumi. "Dik, kamu mau minum?" tanya Bhaga. Ratri hanya mengangguk. Karena kerongkongannya seperti terbakar. Kering. Bhaga membuka botol air mineral yang masih tersegel, lantas menuangkan isi botol itu ke dalam gelas sebelum mendekatkannya ke bibir Ratri. Setelah dua teguk, Ratri kembali berbaring.
Memejamkan matanya untuk meredakan pusing. "Kata dokternya kamu kena anemia." Jelas Bhaga tanpa diminta. "Kamu mau ke mana sih, Dik? Mau ninggalin Mas? Terus kalau Mas kesepian gimana? Kamu tega?" Suara Bhaga nyaris bergetar oleh emosi. Ratri hanya membatu. Tak sekalipun merespon. "Mas akuin Mas salah karena nggak jelasin ke kamu tadi. Perempuan itu namanya Riani. Dulu dia pacarnya si Munyuk," Bhaga memulai. "Dia baru saja dari Sekaran, ada saudaranya yang punya hajat. Ibu Riani nggak bisa datang. Jadi Riani yang gantiin meskipun harus bawa- bawa dua anak."
Bhaga nyaris frustrasi karena hanya Ratri yang bergerak, menatap langit- langit ruangan. Tidak meresponnya sama sekali. "Mas nolongin dia itu karena anaknya yang bayi rewel banget. Mas bayangin kamu, kalau misalkan kamu kerepotan di suatu tempat yang nggak ada Mas, siapa yang nolongin kamu? Atau kamu lebih setuju jika Mas menjadi orang yang nggak mau tahu, nggak pedulian sama orang lain? Kamu mau Dik punya suami yang seperti itu? Hmmm?" kali ini tangan Bhaga bergerak membelai surai hitam milik istrinya yang selembut beledu.
Ratri bergeming. Merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Dengan pernikahan yang dijalaninya. Dengan pria yang kini membelai rambutnya penuh sayang. Rasanya dia ingin mengakhiri semua ini. Dia tahu ini akan menyakiti ibunya. Tapi dia tidak mampu menanggung lebih dari ini. Berapa kali lagi dia harus menahan perasaannya dengan tabiat Bhaga yang seperti ini. Dua tahun ini semuanya berjalan baik antara dirinya dan lelaki itu. Meskipun mereka hanya berdua dan Bhaga sering sibuk mengurus peternakan dan terkadang juga menengok perkebunan di Kopeng yang selama ini jarang di urusinya karena di tangan Landu--- salah satu adik tingkat Bhaga yang dekat dengan lelaki itu sejak kuliah, perkebunan itu kini maju pesat. Perkebunan itu merupakan salah satu penyumbang pendapatan pasif untuk Bhaga. Dulu mereka sempat bulan madu di sana. Tempat itu dingin dan hanya dilewati pikap sayur.
Masa- masa indah itu kembali terlintas dalam kepalanya. "Berapapun perempuan yang pernah kujumpai, Dik, kamu tetap yang paling istimewa. Aku nggak bisa berjanji buat nggak nyakitin kamu, tapi aku bersumpah sebisa mungkin aku akan bikin kamu merasa bahagia dan aman disampingku, karena aku cinta sama kamu. Kamu satu- satunya perempuan yang bikin aku berubah jadi lebih baik. Hanya kamu yang bikin aku berpikir untuk meniggalkan semua kebiasaan burukku. Kamu nerima aku lagi padahal aku sudah mencurangiku. Maka dari itu aku siap menghabiskan seluruh sisa umurku untuk bersamamu. Hanya sama kamu. " Bhaga menundukkan kepalanya. Sebutir air mata meleleh di lengan Ratri. Hatinya seperti diiris- iris kemudian disapu dengan sebatang tanaman rawe. Sakit. Pedih. Gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...