Empatpuluh tujuh

10.1K 991 17
                                    

"Kamu ndak usah ngomong sama mama ya Bun," Rivan bersiap mengemudikan mobilnya keluar dari area parkiran mal. Riris hanya mengangguk.

Perempuan itu masih syok dengan pertemuan mereka. Bhaga dan perempuan itu tampak akrab. Perempuan itu tampak nyaman sekali berada di dekat Bhaga. Dan lelaki itu juga nggak keberatan dengan posisi perempuan itu yang menempel ke tubuhnya.

"Kasihan Dik Ratri akutuh Mas,"

"Biarin lah, Bun. Umur segitu apa yang mau dianggap serius. Patah hati itu hal yang wajar. Semua orang juga pernah mengalaminya,"

Riris menoleh ke arah suaminya. "Tapi mama kelihatan mulai suka sama Bhaga itu, Mas."

"Sudahlah, Bun. Itu di luar kuasa kita. Lagian mumpung belum kejadian kan? Kemarin dia baik sama Ratri. Hari ini dia begitu. Lagian sejak dulu reputasinya juga sudah terkenal suka gonta- ganti perempuan,"

Mereka terdiam dengan pikiran masing- masing berkecamuk di dalam  kepala. Sesungguhnya Rivan juga gusar dengan apa yang tadi dilihatnya. Jujur mereka--- mamanya, Riris, dirinya--- sempat berpikir bahwa pria itu adalah orang yang tepat untuk Ratri, ketika jauh- jauh Bhaga datang ke Jakarta hanya untuk menjenguk adiknya. Menunggui di rumah sakit dan di kosan hingga Ratri pulih betul dan pulang mendampingi mama mereka. Padahal sebagai ASN Rivan tahu berarti lelaki itu sudah membolos hampir dua Minggu. Banyak risiko yang mesti ditanggung. Termasuk pemecatan. Namun kemarin sepertinya lelaki itu sama sekali nggak memikirkan hal tersebut. 

Dan kini kenyataannya lain.

***

Daripada menangisi lelaki, subuh- subuh Alin menyeret Ratri lari pagi ke Senayan. "Ayo dong, Ra. Biar lo enakan. Nggak kepikiran terus sama kadal satu itu," Alin mengetuk pintu kamar tamunya. Semalam, ia dan Nila sepakat untuk membiarkan Ratri tidur sendirian di kamar tamu. Memberikan ruang. Namun pagi ini ia rasa duka itu sudah cukup. "Lo nggak pantes lah mikirin dia terus. Buat apa! Lo yang rugi. Ya kalo yang di sana tuh ikutan mikirin, kalau enggak? Ayo dong. Terbukti lari pagi bisa bikin stress lo pergi. Dijamin deh!"

Ratri yang tadinya menutup telinga pakai bantal, mau nggak mau jadi terusik buat bangun karena suara Alin yang mirip suara panitia masjid ngasih pengumuman pakai toa, kedua, nggak enak juga sama yang punya tempat. Dia numpang kan malam ini posisinya. Akhirnya sambil memaksa dirinya untuk bangun dan menyeret tubuh untuk berjalan mendekati pintu kamar, Ratri muncul dengan wajah porak- poranda. Macam baru saja dihantam badai Katrina mukanya itu. Alin dan Nila sampai berjengit mundur melihat penampakan sahabat mereka yang nggak manusiawi.

Mata bengkak dan merah, kantung mata seperti diganduli semen satu sak masing- masing, bibir kering kerontang pecah- pecah seperti sawah musim kemarau, hidung merah mirip badut, dan muka pucat bukan buatan. Alias pucat kayak hantu. "Eh, lo nggak tidur, Ra?"

"Nggak," suaranya serak. Macam baru bangkit dari kuburan. Sudah pasti barang tentu dia menangis sepanjang malam. Nila langsung maju dan merengkuh tubuh Ratri dengan mata berkaca- kaca. "Ini Weekend. Mendingan kita cabut ke Bandung saja ketimbang mikirin kampret yang nggak jelas itu," bisik Nila lirih.

Ratri diam saja.

Akhirnya pada jam lima pagi itu, bukannya ke Senayan seperti yang direncanakan Alin, mereka malah cabut ke Lembang. Di sana ada vila milik keluarga Nila.

***

"Kok kamu diam saja sih, Mas?" tanya Kirani. Hari Sabtu itu mereka hanya masuk setengah hari. Kirani mengajak Bhaga makan di luar. Perempuan itu memilih tempat makan di sekitar Kota Tua, ingin tahu suasananya, katanya. Namun tempat itu adalah salah satu spot yang paling terkenang untuk Bhaga. Jadi sedari tadi dia diam saja. Sementara Kirani mengoceh ngalor- ngidul- ngetan- ngulon.

Meskipun pasangan jalannya sangat cantik, lelaki itu seperti tengah berada di dimensi lain. Bersama gadis lain yang kini masih menghuni hati dan pikirannya. Ratri memang nggak melakukan kesalahan besar. Hanya saja Bhaga merasa gadis itu terlalu overthinking dalam menjalani hubungan yang ia tawarkan. Padahal kalau belum siap, Bhaga bisa menunggu Ratri. Sampai genap empatpuluh pun dia sanggup. Asal bersama gadis itu. Buatnya, usia menikah bagi lelaki nggak terbatas seperti yang terjadi pada perempuan yang tampaknya memang dikejar waktu dan jam biologis.

Tiba- tiba dia merasa bahwa keraguan Ratri memang wajar terjadi. Dia saja yang kurang sabar dalam menghadapi gadis yang usianya lebih muda sebelas tahun darinya. Dia kembali mengeluarkan ponsel dari saku baju batiknya, dan merasa kecewa ketika nggak satupun pesan dari gadis yang dirindukannya itu masuk ke ponselnya.

Sementara itu Kirani merasa ada yang aneh dengan lelaki tampan yang duduk berhadapan dengannya di warung lesehan nasi ayam khas Semarang ini. Bhaga ada bersamanya, kemarin- kemarin pun perempuan itu merasa bahwa hubungan mereka mengalami peningkatan yang pesat. Padahal sebulan yang lalu, lelaki itu nyaris mustahil didekati. Dia sopan dan baik. Tapi berjarak.

Dan lagi lelaki itu nggak pernah menolak ajakannya untuk keluar makan atau berbelanja. Namun pikirannya seolah melayang di suatu tempat yang jauh. Padahal Kirani sudah memastikan pada orang- orang di kantor bahwa Bhaga masih single and available. Itu artinya dia punya kans untuk mendekatinya.

Dari semua jenis lelaki yang ada di kantor, dan di dalam hidupnya, Kirani sungguh terkesan pada pembawaan lelaki itu. Menyenangkan sekaligus santun. Luwes dalam menghadapi petani di lapangan, dan bertanggungjawab. Siapapun yang jadi pasangannya kelak akan sangat beruntung mempunyai sandaran hidup seperti Bhaga. Dan ia mengharap, bahwa perempuan itu adalah dirinya.

Meskipun sebenarnya ia agak aneh dengan bentuk hubungan Bhaga dan seorang gadis muda bernama Asti yang kini sedang hamil. Dari cerita Bhaga, dia tahu lelaki itu punya dua orang adik perempuan. Satu sudah menikah dan tinggal di Salatiga. Satunya lagi sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Lalu ada satu sepupu yang selalu mengekorinya bernama Dana.

"Hubunganmu sama Asti itu..."

"Dia itu kuanggap kaya adik sendiri." Jawab Bhaga tegas, seraya meraih sedotan dan memasukkan ke dalam mulutnya, kemudian disedotnya minuman itu. "Oh, aku pikir...." Kirani menggaruk bagian belakang lehernya dengan salah tingkah. "Terus, dia hamil itu suaminya nggak nyariin? Suaminya kerja di luar kota apa?"

"Dia nggak mau menikahi orang yang menghamilinya. Tapi sebaiknya, kita nggak usah ngomongin dia ya. Entar kalau ketahuan anaknya bisa bahaya. Kalau dia lapor bapaknya bisa habis kita,"

Kerutan di dahi Kirani kali ini lebih dalam lagi. "Emang dia anaknya orang penting ya?"

Bhaga tersenyum lebar. "Dia putri satu- satunya Pak Supardjo,"

***

"Nah," ujar Alin, wajahnya tampak lelah setelah dua jam lebih menyetir Jakarta- Bandung. "Karena gue sudah nyetir sejauh ini, lebih baik lo tersenyum supaya capek gue hilang,"

Jakarta- Bandung sekarang ini nggak sejauh sebelum ada tol. Tapi tetap saja rasanya luar biasa. Tubuh serasa rontok karena harus bermanuver di antara banyak mobil lainnya dengan tujuan yang sama. Bandung saat weekend memang jadi destinasi berakhir pekan bersama keluarga. "Sayang kita nggak ngajak cowok- cowok ya?"

"Yaelaaaah buat apa? Alex tuh nanti yang ada kebanyakan molor di jalan, mana makannya banyak banget. Badan sih boleh tipis, tapi gue kira dia bisa nampung satu keluarga anaconda di dalam perutnya itu," gerutu Alin, merekapun akhirnya tertawa.

Alin sengaja masih berputar- putar di kawasan kota Bandung. Mencari sarapan sambil lihatin orang- orang di jalan. "Di Bandung biasanya orang sarapan apa, ya?" Alin melongokkan kepalanya. Mencari-cari tempat makan di pinggir jalan. "Kalau mampir ke pasar Cihapit aja gimana? Kalau malam sih banyak. Di Setiabudi, contohnya. Tapi nanti di vila ada Teh Lilik yang nyiapin makanan sih. Tapi misalnya pengin makan di luar, ayok aja. Bebas mumpung nggak di Jakarta ini. Ketemunya gultik sama nasgor Bang Robby. Kalau nggak gitu ya muterin blok M."

Alin memutar kemudinya menuju rute ke arah pasar Cihapit berbekal arahan dari Google Map. Meskipun sempat nyasar beberapa kali, yang akhirnya bikin Ratri nggak tahan lagi dan akhirnya ikut ngakak bersama dua bestie nya itu.

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang