"Mana semangkanya?!"
Semangka? Semangka apa lagi?
Bhaga berdiri dengan raut muka bengong di ambang pintu kamar istrinya. "Semangka apa, Sayang. Kamu nggak minta semangka tadi kan? Cuma minta Mas datang ke sini," kata Bhaga dengan sabar. Istrinya itu cemberut. Melengos. "Nggak boleh masuk kalau nggak ada semangka!"
"Biar dibeliin Mbak Mudah ya? Aku capek nih. Kangen kamu. Pengin tidur sambil peluk kamu. Kemarin aku tidur sendirian. Rasanya nggak enak." Bhaga duduk di tepi ranjang. Istrinya sedang duduk bersandar pada tumpukan bantal yang menyangga punggungnya. Kehamilan Ratri sudah memasuki delapan Minggu. "Besok waktunya kontrol kan? Jadi aku mendingan nginep sini ya? Boleh kan?" Bhaga memasang wajah melas khas bapak- bapak teraniaya.
Ratri menggeleng kuat- kuat. Raut keraskepala terpampang di wajahnya yang kini mulai mengeluarkan rona kemerahan. Setiap pagi suster Anis menjemurnya selama 30 menit di teras depan. Kadang juga di teras belakang. "Ogah. Semangka!" Bentaknya dengan tangan menengadah. Sejak hamil kali ini kelakuan Ratri bisa berubah 180 derajat. Yang dulunya cuek, kini jadi sensitif, manja, tukang nuntut. Mbak Mudah dan Mbak Mutik bilang anak Bhaga pastilah perempuan. Terbukti dengan raut wajah Ratri yang tampak bersih, glowing, dan kulitnya lebih mulus walaupun tanpa bantuan skincare.
"Jangan merengut gitu dong, Sayang. Mas jadinya gemes nih,"
"Semangka!" katanya keraskepala. Bhaga mendesah. "Harus kamu yang beli. Ini bukan buatku tapi buat anakmu. Kamu kan yang bikin aku hamil. Aku sampai kayak gini. Dikit- dikit mual, muntah, semua makanan nggak ketelen. Belum lagi sering pusing dan pegal- pegal di punggung, sering pipis pula. Kalau malam gerah bukan main. Ini semua salah kamu, Mas..." Air mata perempuan itu bercucuran. Bhaga jadi serbasalah. Emosi istrinya memang mudah berganti secepat jentikan jari.
Bhaga pontang- panting menyesuaikan diri. Tapi diluar itu, istrinya tampak semakin menggemaskan kalau moodnya baik. Kadang- kadang malah langsung lompat ke pelukan Bhaga ketika lelaki itu baru masuk kamar. Mendekam di dadanya selama beberapa saat--- bahkan sampai tertidur. Saat- saat seperti itu yang Bhaga lakukan hanyalah memandangi wajah istrinya sembari menciumi sekujur wajahnya.
Dadanya buncah oleh kebahagiaan, masih dapat sedekat ini dengan sang istri. Beberapa bulan yang lalu nyaris saja dia kehilangan istri sekaligus bayi mereka yang sedang dikandung perempuan itu. "Kok malah bengong sih, Mas. Nanti anakmu ileran, lho. Entar aku juga yang disalahin gitu? Enak banget ya jadi cowok, tinggal nanam benih habis itu bisa ongkang- ongkang kaki. Aku yang harus nggembol ini..." Ratri membelai perutnya yang masih rata dengan penuh penghayatan.
"Iya, iya. " Kata Bhaga sabar. "Selain semangka, kamu minta apalagi. Biar sekalian."
"Bukan aku yang minta, Mas. Ini maunya si baby. Kok aku yang disalahin..." Ratri kembali terisak. "Kamu nggak ikhlas ya aku suruh- suruh. Kalau boleh aku sih milih pergi sendiri. Semua orang yang di sini itu lambat semua. Aku nggak dibolehin keluar kamar, tapi nggak ada yang bisa diandelin!" Tangisnya pecah. Bhaga mencoba peruntungannya untuk meraih sang istri dalam pelukan, dan kali ini sepertinya nasib baik sedang berpihak padanya. Ratri mau dipeluk bahkan mendesakkan wajahnya di dada sang suami. Bhaga mengelus rambutnya yang kini sudah memanjang mencapai punggung. "Ya kamu kan lagi masa- masa bed rest, Sayang. Aku sama ibu itu majang Mbak Anis sama Mbak Mudah itu supaya kamu nggak perlu turun dari kasur."
"Aku bosen tahu. Tiap hari kerjanya cuman tiduran saja. Kamu sih enak, Mas. Bisa jalan- jalan, jajan- jajan. Aku sih jangankan jajan, Mas. Yang kumakan pasti dikeluarin lagi. Capek akutuh!" Ratapnya mengiba.
"Kalau kamu mau kita bisa balik ke rumah sakit saja. Nggak usah makan. Diinfus saja."
Raut wajah Ratri yang tadinya mengiba, berubah murka. "Jadi kamu suka kalau aku masuk rumah sakit? Begitu? Kalau aku mati kamu nikah lagi dong ya sama perempuan itu? Beranak pinak sampai seratus biji. Jahat kamu Mas! Pergi sana! Aku nggak mau lihat kamu sekarang. Dan cepat beliin aku semangka!" Ratri mengarahkan telunjuknya ke arah pintu kamar. Wajah Bhaga memucat. "Lho kok gitu sih, Sayang. Mas baru datang sudah diusir?" Bhaga nelangsa.
"Salah sendiri bikin istrinya kesel!" Bibir Ratri mengerucut lancip, dengan kedua tangan dilipat ke depan dada. Akhirnya Bhaga menyerah karena takut istrinya marah lantas ngedrop. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Tanda menyerah. "Iya, aku beliin semangka."
Ratri mengamati suaminya yang melangkah keluar dari kamar. Seulas senyum kemudian terbit di sudut bibirnya.
***
"Ini semangkanya," limabelas menit kemudian Bhaga sudah kembali dengan dua butir semangka yang merah segar. Dia tadi langsung menuju pasar di dekat terminal Si Semut. Penjualnya menjamin bahwa semangka dagangannya manis, segar, dan kinyis- kinyis. "Bukain dong Mas. Ih, Mas ini katanya pinter. Masa aku disuruh nggerogotin semangkanya langsung?!" Ratri sewot. Menatap suaminya seakan- akan lelaki itu hanya mahluk berkasta rendah. "Aku panggil Mbak Mudah, ya. Biar dia yang bukain."
Istrinya menggeleng kuat- kuat. Bhaga mulai pasrah. Demi anak istri. Akhirnya dia keluar dari kamar untuk memecah semangka celaka itu. Masa seharian ini dia hanya berurusan dengan semangka doang sih.
Baru juga sampai di ambang pintu kamar, terdengar teriakan melengking sang istri. "Mas Bhaga mau ke mana?!"
Bhaga sekarang tahu kenapa perempuan suka memutar bola mata. Ini memang melelahkan luar biasa. "Kan mecah semangkanya, Sayang. Kalau dipecahnya di sini, entar kotor. Bisa ngundang semut juga. Kasihan kan istri Mas kalau digigitin semut..." Jawab Bhaga tabah. Bercampur lelah. Ini maunya apa coba? Hanya karena janin yang masih seukuran biji jagung, kelakuan istrinya sudah bertransformasi jadi balik mirip ABG labil lagi. Dikit- dikit ngambek. Salah sedikit dia nangis. "Panggil Mbak Mud saja kan bisa."
"Lha katanya harus aku yang mecah semangkanya..." Sehabis ini Bhaga akan mencemplungkan dirinya ke kolam ikan saja. "Kan bisa minta mbak Mud supaya nganterin pisau sama nampannya," giliran Ratri yang memasang muka lelah--- seolah- olah suaminya itu idiot. "Ya deh." Bhaga mengalah. Mendingan dia berurusan sama selusin balita sih kalau begini.
Mbak Mudah datang dengan tergopoh- gopoh dengan membawa pisau, nampan, dan sekalian tempat sampah. Bhaga mulai membelah semangkanya, sebelum memotong- motongnya menjadi kecil- kecil. Bahkan sampai mengupas kulitnya, sementara Ratri asyik memerhatikan tingkah Upin dan Ipin di layar televisi yang dialihkan ke mode Youtube. Minggu ini Ratri memang sedang gandrung- gandrungnya dengan serial dari negeri jiran tersebut. Sepanjang hari dia bisa duduk nonton Upin dan Ipin sampai tertidur.
"Ini," Bhaga menyodorkan nampan berisi potongan semangka yang sudah bersih itu ke arah istrinya. Ratri mencomot sebuah--- yang paling kecil pula. Dan mendadak perasaan Bhaga jadi nggak enak--- ketika baru sekali gigitan, istrinya itu meletakkan kembali semangkanya ke atas nampan. "Lho nggak dihabisin?" Alis Bhaga bertaut di glabella nya.
Lagi- lagi Ratri menatap suaminya dengan sorot mata mencela. "Sudah nggak kepingin. Habis Mas Bhaga tuh kelamaan. Sekarang aku kepingin dawet ireng dari Butuh- Purworejo itu. Yang kapan dulu pernah dibeliin Dana. Cepetan beliin." Kata perempuan itu dengan muka angkuh khas Ratu Antagonis.
Ya salam! Istrinya ini memang betul- betul bakalan bikin Bhaga mati berdiri.
***
Jadi part ini tuh terinspirasi dari cerita suamiku. Temannya kan lagi hamil. Malam jam 12 teng minta dibeliin semangka dan cuma dimakan sepotong doang habis itu udah. Wakakakak. Kasihan kan Pak Bhaga dikerjain istri+ anaknya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...