Sebelum masuk ke pasar, mereka sepakat untuk sarapan dulu-- well, maksudnya Dana, Bhaga, dan Nanda. Sementara Ratri seperti nggak punya suara di sini. Alias suaranya diabaikan karena dia pilih jadi makmum.
Saat mereka memilih sarapan bubur ayam, Ratri hanya minta setengah porsi, plus kuah dan ayam. Menolak kacang dan sambal, dan hanya minum teh hangat. Nanda kemudian melirik jengkel ke arahnya. "Lo tuh makan kayak orang cacingan, ya?"
Karena mood nya sedang terjun bebas, Ratri hanya melirik sekilas ke arah Nanda, lantas melanjutkan makanya. "Sumpah deh Mbak, porsi makanmu itu kayak porsi makan burung. Dikiiit banget gitu memang kenyang?"
Dengan begitu, Ratri melempar tatapan setajam bayonet. Dana langsung kicep. Piring cowok itu sendiri dipenuhi segala macam toping aneka sate. Sate usus, telur puyuh, ati ampela. Pokoknya komplit. Sementara Bhaga yang sejak tadi disibukkan dengan ponselnya, hanya memperhatikan interaksi mereka sekilas.
Pak Supardjo kantor: Assalamualaikum Nak Bhaga, maaf kalau bapak mengganggu, tapi apa Asti lagi sama Nak Bhaga?
Pak Supardjo kantor: Soalnya pergi dari semalam. Dan sampai sekarang belum kembali.
Pak Supardjo kantor: tapi kalau sama Nak Bhaga nggak apa- apa juga. Kalian kan sebentar lagi menikah.
Bhaga bingung bagaimana menjawab pertanyaan atasan sekaligus koleganya di kantor itu. Bhaga tahu Asti memang suka seenaknya, tapi dia nggak menyangka bahwa gadis itu tega membuat ayahnya-- yang notabene adalah orangtua satu- satunya khawatir terhadapnya.
Lelaki itu kemudian bimbang. Ia ingin mengatakan pada Pak Supardjo bahwa Asti ada bersamanya supaya pria itu tidak mengkhawatirkan putrinya. Belakangan kesehatan atasannya itu agak terganggu. Pak Supardjo kedapatan sering melamun, wajahnya kuyu juga pucat dan nafsu makannya menurun. Namun di sisi lain dia ingat dengan nasehat adik bungsunya. Dan sejujurnya dia juga masih ragu, apakah Asti adalah perempuan yang dia inginkan untuk berjuang bersamanya mengarungi bahtera rumah tangga yang panjang? Karena menikah adalah perjuangan seumur hidup. Jadi ia hanya menatap kosong ke layar ponselnya, sementara matanya kini tertuju pada sosok gadis yang mengenakan outfit serbahitam pagi ini.
Dan rencana untuk membalas pesan Pak Supardjo pun terlupakan.
Terus terang saja, meskipun mengenakan karung goni atau pakaian dari jerami, Ratri tetap saja cantik. Terlebih wajah juteknya. Ekspresi merengutnya yang membuat gadis itu tampak semakin menggemaskan. Bibirnya yang terus saja mengerucut seolah dunia telah membuat kesalahan padanya sepanjang hari itu bakalan terus mengendap dalam ingatan Bhaga.
Jadi, apakah dia bisa hidup dengan perempuan lain, sementara yang diingatnya adalah perempuan yang kini duduk di hadapannya sambil menyingkirkan daun bawang dari mangkuk buburnya dengan bibir mengerucut sebal dan mata yang nyureng paripurna.
"Ekheeemmm!"
"Yang ngelamun nih," suara tengil Dana sama sekali nggak dihiraukan oleh pria itu. "Liatin deh sepuas- puasnya! Kalau perlu, kantongin tuh orangnya biar bisa dibawa balik ke Semarang."
Lalu seolah ingin menabur garam pada hati sepupunya itu, Dana mengutak- atik ponsel sebelum terdengar lagu dangdut koplo Banyuwangian yang berjudul Bisane Mung Nyawang.
"...Bisane mung nyawang... Sing biso ndampingi..."
( Bisanya hanya melihat, tidak bisa mendampingi)"Bisone mung ngangen...sing biso nduweni..."
( Bisanya hanya rindu, tidak bisa memiliki)
"Riko hang sun sayang... Wis ono hang ngudang..."( Kamu yang kusayang... Sudah ada yang punya)
"Riko hang sun eman... Wis duwe wong liyan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...