Tigapuluh

14K 1.1K 22
                                    

Sebuah mobil pick- up berhenti di depan pekarangan rumah bercat biru yang tampak sepi sore itu. Jam memang baru menunjukkan pukul tiga sore, jadi penghuni rumah itu tentu saja belum pulang dari tempat kerjanya.

Seorang perempuan yang sebagian rambutnya sudah memutih mengamati lingkungan tersebut, sebelum menoleh ke arah samping, kursi penumpang yang ditempati oleh seorang gadis berusia  awal duapuluhan yang tampak linglung. "Sungguhan ini rumahmu, Nok?" tanya perempuan yang duduk di kursi kemudi itu. Penumpang itu hanya menatap sekitarnya dengan raut wajah kebingungan sesaat sebelum mengangguk. Tak lama kemudian, beberapa tetangga keluar dari rumah. Salah satunya adalah Bibi si gadis. Bi Winarsih.

Mata perempuan itu menyipit memandangi mobil pick up yang berhenti di depan pekarangan rumah kakak iparnya. Perempuan tua itu kemudian mendekat, hendak menanyakan keperluan si empunya mobil. Saat tangannya akan mengetuk kaca mobil, perempuan yang mengenakan daster batik lengan pendek itu terkesiap, menutupi mulutnya dengan telapak tangan. "Oalah, Nok, Nok! Kowe nang endi wae?! Bapakmu ki bingung nggoleki." seru perempuan itu hampir menangis .( Oalah--- Nok adalah panggilan untuk anak perempuan---. Kamu itu kemana saja. Bapakmu ini bingung cariin kamu)

Mendengar seruan perempuan itu, si pemilik pick up langsung membuka pintu mobil dan turun. Mereka bercakap- cakap sejenak sebelum si ibu pemilik pick up membuka pintu jok penumpang. Perempuan bernama Winarsih yang mengaku sebagai bibi dari si gadis itu kemudian membantunya. Turun. Sambil masih berurai air mata. Beberapa tetangga berhamburan keluar, sebab suara Bulik Win memang lumayan keras.

"Oalah, Ti, Asti. Bapakmu iki lho bingung nggoleki. Kok kowe lungo ora kondho- kondho? Nang endi wae, toh Nok kowe iki. Mesakake Bapakmu, Nok. Bingung. " ( Oalah, Ti, Asti. Bapakmu ini lho bingung nyariin. Kok kamu pergi nggak bilang- bilang  Ke mana saja sih nok kamu ini. Kasihan bapakmu, nduk. Bingung.) Bulik Win menggiring Asti ke rumah miliknya yang jaraknya hanya tiga rumah dari rumah milik orangtua Asti. Namun Asti tetap terdiam. Mulutnya seperti terkunci.

***

Berita tentang kembalinya Asti ke rumah cukup menggemparkan kantor tempat Bhaga bekerja. Tadinya Pak Supardjo sudah berburuk sangka pada Bhaga dan menuduh pria itu membawa kabur anak perempuannya tanpa izin. Hingga ayah Bhagapun ikut menyidang Bhaga di rumah. Untung Dana membela sepupunya itu dengan mengatakan bahwa akhir pekan kemarin Bhaga ada di Jakarta bersama dirinya.

Saat itu ayah Bhaga sendiri sedang berada di luar kota bersama ibunya.

"Nggak mampir ke rumah Pak Supardjo toh Mas?" pulang kerja hari itu Fadli mengekori langkah Bhaga. Fadli ini sejak dulu memang mengidolakan Bhaga. Lelaki berusia 26 tahun itu selalu mengikuti kemanapun Bhaga pergi. "Nggaklah, Dli. Takut gangguin. Kan Asti baru saja pulang. Mungkin dia butuh istirahat." Bhaga mengenakan helmnya. Bersamaan itu ponsel dalam sakunya bergetar. Tangan Bhaga terjulur ke saku celananya. Nama ibunya tertera di layar.

"Assalamualaikum, wonten nopo, Buk?" ( Assalamuallaikum ada apa, Bu?)

"Lho, Nang. Durung bali? "

( Lho, Nang-- panggilan untuk anak laki- laki di kawasan pantura--. Belum pulang)

"Nembe ten parkiran. Niki ajeng wangsul,"

( Baru di parkiran. Ini mau pulang.)

"Iyo. Gage, Nang. Iki dienteni karo
Bapakmu."

( Ya. Buruan, Nang) Ini ditungguin sama Bapakmu)

"Injih, Bu. Niki sampun ajenge mlampah..."

( Iya, Bu. Ini sudah mau jalan)

Sambungan terputus. Lagi- lagi Fadli menatapnya dengan raut mau tahu. "Sopo, Mas?"

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang