Story of Mr. And Mrs Nirankara part IX

12.8K 1K 23
                                    

Ketika kehamilannya sudah memasuki bulan ke enam, perut Ratri mulai membuncit, dan membuat Bhaga semakin gemas. Setiap malam, lelaki itu selalu takjub mengamati bagian tubuh istrinya yang membulat membentuk semacam gundukan itu. Kadang juga bergerak- gerak. Seperti malam ini.

"Mas AC nya kamu matiin ya?" perempuan itu tahu- tahu saja bangkit dari posisi tidurannya, membuat Bhaga kehilangan pemandangan perut yang terbungkus daster warna krem lembut itu. Belakangan Ratri sering mengeluh kepanasan. Padahal selain dilengkapi pendingin ruangan, kamar itu juga dilengkapi air purifier, kipas angin berdiri, wall fan, dan jendela- jendela kamarnya dibuat tinggi dan lebar. Tanpa teralis, jadi terkadang istrinya itu bisa duduk- duduk di kusen jendela sambil mengamati pemandangan di luar.

"Enggak, Sayang. Kenapa? Masih panas ya? Besok aku telepon toko elektronik langganan deh. Biar tambahin AC- nya. Mau berapa? Satu atau dua? Hmmm?"

Ratri menjelingkan matanya ke atas. Semakin lama, suaminya ini semakin gila. Ngeluarin duit kayak lagi menghambur- hamburkan daun jambu air di depan rumah saja. Seenaknya beli ini- itu. Bulan lalu tahu- tahu mobilnya yang Suzuki Ignis itu sudah diganti dengan Toyota Kijang Innova. Ratri mencak- mencak dan bilang bahwa mobil itu kayak mobil bapak- bapak. Akhirnya ditukar lagi sama Bhaga dengan yah... BMW.

"BMW? Serius kamu Mas? Siapa yang mau naik BMW? Berlebihan banget. Aku ini sekarang cuma ibu rumah tangga biasa.  Bukan ibu pejabat. Ganti deh. Aku nggak mau pakai itu!" katanya dengan ekspresi keraskepala yang tak bisa dibantah lagi. 

"Tapi kamu lagi hamil anakku, Sayang. Harus pakai mobil yang aman! Nanti kalau terjadi sesuatu yang nggak diinginkan..."

"Oh jadi kamu doanya gitu. Mau aku kenapa- napa?!"

"Ya sudah kita ganti mobilnya. Kamu mau apa terserah..."

Pada akhirnya Ratri memilih Suzuki Swift warna putih. Mungil dan nggak ribet. Mobil segede Mamut tidak cocok buatnya. Dan BMW itu pindah ke tangan Dana yang kini sudah kembali ke Semarang dan menghabiskan hati banyak gadis- gadis.

"Mendingan Mas saja gih yang kipasin aku. Nih!" Ratri mengulurkan kipas anyaman yang biasa dipakai untuk mengipasi bara api oleh tukang sate keliling. Bahkan tukang sate kelilingpun sudah pakai kipas angin. Bhaga menatap kipas sate itu dengan pandangan kosong. Sekarang dia pengusaha muda yang sukses dengan bisnis peternakan ayam, bebek, domba, ikan, dan baru- baru ini merambah ke bisnis penetasan ayam. Dan duit segambreng itu istrinya malah milih dikipasin pakai kipas anyaman legendaris itu? Apa nggak salah?

"Ini!" Ratri berseru gemas, sebab Bhaga tetap tak bereaksi. Mengamati kipas tukang sate seolah- olah itu fosil dari zaman dinosaurus masih eksis. "Eh malah bengong. Ya sudah aku cari Fatih saja!"

"Eit... Eit... Sini- sini Mas kipasin!" Bhaga buru- buru menyambar kipas itu dari tangan istrinya yang sudah menurunkan kakinya di atas lantai. "Kamu kok jadi galak banget sih?"

"Galak apanya? Dari dulu aku memang begini kok. Ikhlas nggak sih ngipasinnya?!" Ratri membelalakkan matanya yang sipit itu. Semenjak kehamilannya berusia lima bulan, berat badannya naik yang dulunya 48 kilogram  dengan tinggi 167 sentimeter menjadi 65 kilogram dengan tinggi yang sama. Perutnya juga anehnya membulat dan membuncit dengan cepat. Ratri sempat takut kalau ini akan jadi kelahiran kembar, namun menurut dokter Zamzami, ini bukan kembar. Dokter itu menyarankan agar Ratri mengurangi konsumsi makanan berlemak tinggi. "Sebaiknya diet seimbang, Bu. Mulai kurangin konsumsi gulanya ya." Ujar dokter berwajah ganteng dan simpatik itu. "Bu Ratri ikut senam hamil?"

Ratri menoleh ke arah suaminya yang menyeringai tengil. "Daftar, dok. Tapi jarang ikut."

Sang dokter tersenyum seraya  menunduk. "Nah, itu dia. Semua perempuan inginnya lahiran normal tapi buat datang senam saja malas iya, kan?"

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang