Mereka akhirnya sarapan di dalam pasar Cihapit. Warung Mak Eha yang legendaris itu langsung jadi tujuan. Selesai, dari warung makan Mak Eha, mereka berkeliling mencari makanan lainnya. Nila membeli serabi kinca, buah- buahan, dan bahan makanan lainnya. Dia sebenarnya sudah menelepon Teh Lilik.
Selesai dari Pasar Cihapit, mereka mampir lagi ke jalan Braga- Asia- Afrika. Jajan ketan uli di pinggir trotoar, beli roti, kue dan es krim di Canary bakery, lalu jalan- jalan, foto bertiga. Hari ini Alin didapuk menjadi fotografer dadakan. Memotret Nila di bawah tiang lampu yang artistik dalam balutan celana yoga hitam dan kaus longgar warna merah jambu. Sementara Ratri berfoto di kursi panjang berukir di trotoar jalan. Pagi itu outfitnya adalah celana yoga boleh minjem Alin, dan kaus warna hijau tua yang bagian lehernya agak longgar, menampakkan sekilas tulang selangkanya.
Gadis itu sedang memandang ke seberang jalan dengan raut wajah mendamba ketika melihat sepasang kekasih saling bercengkerama. Diam- diam Alin mengabadikan moment itu lewat kameranya. Di situ wajah Ratri tampak sangat surealis. Cantik, beku, nggak tersentuh. Sekaligus sedih dan mendamba.
Dua puluh menit dalam macet- macetan, akhirnya mereka berada di vila milik keluarga Nila. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk sekalian pergi ke Bandung Farm house. Yang paling melegakan, ketegangan di wajah Ratri agak berkurang. Suasana menjadi cair. Mereka berkeliling tempat itu seraya berfoto- foto. Jajan tahu dan susu yang jadi produk andalan di tempat itu. Sorenya mereka makan di sebuah kafe yang cantik.
Ratri lumayan happy. Dia bersyukur dengan kehadiran teman- temannya yang selalu mensuportnya dalam keadaan apapun. Ketika kembali ke vila saat malam harinya, Teh Lilik membuatkan mereka bajigur, tape bakar, dan nasi liwet dengan lauk komplit berupa ayam goreng lengkuas, ikan asin peda, sambal terasi, tempe goreng, dan aneka macam lalapan.
Selepas makan malam, ketiganya berkumpul di gazebo. Alin memilah foto-foto yang akan diunggah ke medsos miliknya, begitupun dengan Nila yang juga asyik dengan ponselnya. Hanya Ratri yang memandangi langit malam Lembang. Udara dingin, sama sekali nggak mempengaruhinya. Kebetulan langit sedang cerah. Bintang- bintang berkerlip terang di langit. Saat ini gadis itu hanya ingin menikmati waktu tanpa kata- kata.
***
"Mas kok jadi sering banget pergi sama mbak yang itu, sih?" dengan bibir cemberut, Dana memeluk pilar teras belakang rumah orangtua Bhaga. Malam itu Bhaga baru saja keluar bersama Kirani yang minta ditemani untuk mencari seprei dan sarung bantal. Kemudian lanjut makan nasi goreng babat yang masih di area Simpang Lima. "Memangnya kenapa? Kamu ngambek karena nggak diajak?" tanya Bhaga, sembari menaburkan pakan ikan ke dalam kolam. Melihat ikan- ikan itu mondar- mandir di dalam kolam sudah mirip dengan healing therapy, nggak perlulah menghabiskan waktu untuk pergi liburan ke tempat yang jauh.
"Ya nggak masalah sih," Dana melepaskan rangkulannya dari batang pilar itu, melangkah ke arah pinggiran kolam ikan tempat Bhaga sedang jongkok. "Terus sama Mbak Ratri gimana?"
Bhaga sempat menjeda aktivitasnya ketika Dana menyebutkan nama gadis yang setengah mati masih dirindukannya. Lalu lanjut lagi menabur pakan ikan ke kolam. "Nggak tahulah, Dan. Kalaupun jadi mas juga mikir gimana kehidupan kami nantinya. Mbakmu punya pekerjaan di Jakarta. Mas punya kerjaan juga di sini. Masak mau tinggal misah- misah begitu," jelasnya. Belakangan akhirnya pikiran Bhaga sudah sampai ke sana.
Awalnya dia nggak keberatan dengan Long Distance Marriage alias pernikahan jarak jauh. Toh Jakarta- Semarang sekarang sudah semakin dekat. Dengan adanya pembangunan jalan tol, dengan mobilpun jadinya nggak begitu jauh seperti sebelum ada tol. Namun dengan kesibukan yang dijalaninya dan juga dijalani Ratri, lelaki itu malah jadi ragu sekarang. Meskipun bisa saja dirinya meminta Ratri untuk berhenti bekerja dan mampu membayar pinalti yang diajukan perusahaan, namun dalam sebuah hubungan apalagi jangka panjang, dia nggak ingin mengekang pasangannya.
Bhaga jadi teringat dengan pertemuan mereka--- Kirani dan dirinya--- dengan Rivan dan Riris. Dari sorot mata kakak ipar Ratri, lelaki itu bisa melihat kebingungan bercampur dengan kekecewaan. Sementara dari mata Rivan, lelaki itu nggak melihat apapun. Datar. Kosong. Tanpa ekspresi. Mau nggak mau Bhaga jadi teringat obrolan mereka ketika mengantarkan Ratri beserta si kembar pulang ke rumah Ungaran.
"Kamu serius sama Ratri?"
"Inshaa Allah serius, Mas."
"Kamu tahu usia kalian terpaut lumayan jauh. Ratri masih egois dan kekanakan," ujar Rivan siang itu. Di rengkuhannya masih ada Kresna yang tertidur lelap. "Kamu tahu, susah sekali buat mama untuk membujuk Ratri agar mau pindah ke Semarang. Mama itu khawatir, kesepian juga. Tapi anak itu bersikeras masih ingin mencari pengalaman di Jakarta. " Rivan menoleh ke arah Bhaga untuk melihat reaksinya. "Dia senang sekali waktu mendapat kursi di kampus favoritnya lewat jalur SNMPTN. Dia akhirnya bisa mengeksplor dunia luar. Setelah ayah kami mengekangnya bertahun- tahun. "
Bhaga terdiam. Menekuri kata- kata pria yang lebih muda dua tahun darinya itu. "Untuk seusianya, yang baru 23 tahun, pernikahan terlalu cepat." Kemudian ia menghela napas berat, dan membuangnya dengan perlahan. "Sementara buatmu yang sudah matang secara usia, finansial, dan emosional, jelas kamu memiliki tujuan yang pada akhirnya akan mengorbankan kebebasan Ratri. "
Dan beberapa minggu belakangan dia terlihat sedang mencoba menjalani hubungan baru dengan seorang perempuan yang sudah matang usianya. Ada di dekatnya. Kehadirannya nyata dan pasti. Apakah dia bimbang dan mulai meragukan perasaannya terhadap Ratri?
Jawabannya adalah Ya.
Sebab dia hanyalah manusia biasa yang tak kuat terus- menerus dirundung perasaan rindu setengah mati. Dan sekarang rasanyapun dia ingin mati karena sejauh apapun usahanya untuk melupakan gadis itu dan menjalin hubungan baru yang terasa rapuh itu, pada akhirnya setiap malam hanya ada satu wajah dan satu nama di kepalanya.
***
Keesokan harinya, ia melakukan kesalahan fatal. Kirani meneleponnya pada pukul enam pagi untuk mengajaknya keliling Semarang. Karena sedang longgar, Bhagapun menyanggupi.
Sayang sekali mobil Kijang Innova dipakai ayahnya untuk pergi memancing ke Bawen. Terpaksa dia memakai Toyota Rush, karena yang HR-V akan dipakai ibunya untuk nyumbang ke kolega. Perginya rombongan dan disopiri oleh Pak Sugi tetangga mereka.
Dari rencana semula berkeliling di Semarang bawah, berubah menjadi berkeliling ke area atas. Ke Bandungan. Mereka sempat mampir makan siang di salah satu restoran milik teman SMA Bhaga, dan karena banyak tempat yang dikunjungi, akhirnya mereka sampai kota Semarang hampir pukul sepuluh malam.
Mobil berhenti di depan rumah yang dikontrak Kirani. Gadis itu, yang seharian ini tampak cantik dan ideal di matanya, mengucapkan terimakasih. Bhaga hanya mengangguk sekilas.
Namun Remang- remang lampu jalanan, berpadu dengan lantunan lagu dari MR. Big yang mengalun syahdu dari pemutar musik, seolah membiusnya. Bhaga terbawa suasana. Tanpa sadar tangannya sudah menarik kepala Kirani, mendaratkan bibirnya pada bibir mungil perempuan itu. Tidak ada penolakan, bahkan bisa dibilang, perempuan itu menyambutnya dengan sukacita. Hingga tenggorokan Bhaga mengeluarkan suara geraman sebelum menyebutkan nama Ratri dengan suara mendamba.
Sontak Kirani langsung menarik dirinya.
***
Jujur nulisnya nguras emosi banget sih tapi ya gimana ya. Aku sendiri geregetan. Pengin nabok Bhaga banget. Biarpun plintat- plintut Ratri itu orangnya setia. Tapi Bhaga emang kayaknya haus belaian nyosor aja nyosor. Nggak tahu yang disosor itu siape. Kurang ajar emang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...