Duapuluh delapan

12.9K 1.2K 14
                                    

Hari sudah senja ketika mereka akhirnya sampai di Thamrin City. Padahal mobil Bhaga sudah penuh. Berjubel penuh oleh- oleh. Selain punya Bhaga dan Dana, Ratri juga menitip beberapa oleh- oleh untuk keluarganya.

Dan untuk seseorang yang kabur, Dana terlalu bersemangat untuk berburu oleh- oleh.

"Biari aja sih, Mbak. Aku kan juga butuh healing. Ini tuh healing yang paling mudah. Meskipun nggak murah. " Dia nyengir kuda. Cuek. Balik ke sifat asalnya yang ceria seolah acara ngambek dan kabur kemarin cuma iseng doang. Sekalian liburan.

Kaki Ratri hampir gempor. Sementara Nanda sih happy- happy saja karena dia ditraktir Bhaga.

Pria itu sejak dulu memang selalu royal. Benar- benar husband material banget. Tanpa sadar Ratri sudah duduk bertelekan siku di sebuah meja di salah satu kafe, sedang mengamati Bhaga, sementara pria itu mengantre minuman untuknya. Nanda menemani Dana untuk berburu tambahan oleh- oleh.

Gadis itu menghela napas.

Bhaga datang dengan nampan berisi minuman dan piring berisi croissant. Dan entah bagaimana ceritanya, tahu- tahu mereka sudah akur saja. Tepatnya, Ratri yang menurunkan pertahanannya. "Capek ya?" tanya lelaki itu seraya menurunkan cup berukuran large untuk Ratri yang isinya caffee latte dan kopi hitam dalam cup berukuran small untuk dirinya sendiri. Di susul dengan sepiring butter croissant. Suara Dean Lewis bergema dalam ruangan, menyanyikan lagu berjudul Waves. Suaranya sesendu cuaca sore di luar. "Enak ya tinggal di Jakarta?" Bhaga sudah duduk berhadapan dengan Ratri, mulai menyeruput kopinya. "Banyak makanan enak. Tapi sayangnya aku nggak bisa kerja di sini,"

Ratri mengerutkan alisnya.

"Nggak bisa ternak ayam dan lele kan di sini?"

"Bisa sih. Tapi di pinggiran. Itupun kalau Mas mau bayar mahal banget. Harga properti di sini bikin pengin bunuh diri." Ratri mencomot satu butter croissant. Bhaga tersenyum lebar. "Makanya lebih enak tinggal di Semarang kan?"

"Iya. Di Semarang apa- apa masih terjangkau. "

"Aku juga udah punya rumah di Semarang,"

Ratri mulai clueless sekarang. Ini arahnya mau ke mana ya obrolan mereka?

"Ya," dia mulai menggigit croissantnya. Hmmm enaak. Ini adalah makanan terenak yang ditelannya hari ini. Bukan berarti bubur ayam tadi pagi atau Soto Betawi siang tadi nggak enak sih, tapi nafsu makan Ratri lagi berantakan belakangan ini. Sudah sejak dulu ia punya kebiasaan malas makan jika sedang banyak pikiran. Dan beberapa hari belakangan, banyak yang membuatnya tegang. Tentang minggatnya Dana, tentang Alin yang tidur sama bosnya-- dan hingga detik ini dia masih kepikiran. Demi Tuhan si Cedric ini, apa nggak bisa sih cari yang seumuran! Alin baru 23 dan Cedric sudah 37! Kejahatan! Pantes Alin sampai kalut begitu. Tanpa sadar Ratri sudah mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya.

Di hadapannya Bhaga mengernyit memperhatikan. "Kamu kenapa? Mau nelepon siapa?"

"Temen aku yang kemarin itu. Aku belum tahu soal kabarnya lagi,"

"Dimakan dulu dong croissant nya. Keburu dingin. Kalau hangat kan masih enak."

Ratri mengabaikannya.

"Nanti aku anterin ke tempatnya. Di Mampang kemarin kan?"

Ratri mulai menempelkan ponsel ke telinga. Masih terdengar nada sambung.

"Diandra Ayudia Ratri Ardhanareswari Wibisono," katanya dengan nada sarat peringatan, dan mata yang tajam, "letakkan ponsel itu. Makan sekarang. Nanti mas anterin ke sana kalau kamu memang mau,"

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang