Delapan

20.3K 1.7K 16
                                    

"Sori, aku telat. Disuruh Pak Moyo tadi," untung sosok Esti yang tetap mungil dalam balutan kemeja dan celana bahan warna hitam segera duduk di hadapannya. Ia tersenyum menyapa Ratri. "Kok kamu nggak berubah sih, tetep cantik. " Pujinya. Pujian standar yang mampu menaikkan suasana hati yang menerimanya.

"Kamu juga. Awet muda dan tambah modis aja," Esti mengenakan hijab sekarang. Senyumnya terukir di bibir mungil itu.

"Udah pesen?"

Dua orang pramusaji kembali muncul dengan dua nampan berisi pesanan Ratri tadi. "Tuh,"

Salah satu pramusaji tampak excited ketika bertemu pandang dengan mata Esti. "Mbak Es!" pekiknya, yang dijawab Esti dengan lambaian tangan. Namun mendapatkan bonus berupa sikutan di perut dari temannya.

Tempat ini dekat dengan kampus, otomatis Esti pasti sering ke sini hingga pramusajinya saja bisa seakrab itu dengan Esti.

"Aku pesen piscok sama es teh lemon, ya." Kata Esti, begitu para pramusaji itu meletakkan pesanan Ratri di atas meja. "Lupa nanya. Apa kabar?" tanya Esti, seraya meraih tangan Ratri di atas meja.

"Baik. Kamu sendiri? "

"Yah gini," desahnya. "Sibuk tapi hepi. Aku nggak nyangka bisa dapat kerjaan ini dan bisa lanjutin S2 ku. Masih sambil ngelesin juga. Tapi sekarang gabung di bimbel. " Lagi- lagi senyumnya terbit. Kali ini disertai rona merah di sekeliling pipinya. Ratri langsung bisa menebak.

"Tempat bimbel itu punya cowok kamu?"

"Ih, Ratri!" gadis itu semakin menunduk malu. Esti dari dulu memang gampang ditebak. Dia mirip buku yang terbuka. Tahu apa yang ia mau tanpa orang lain harus menerka- nerka terlebih dahulu apa keinginannya. "Kamu kok bisa nebak,"

"Siapa? Teman sekolah?"

Dia menggeleng.

"Teman kampus?"

Mukanya makin memerah. Tapi ia menggeleng juga. "Dia Masnya Dita. Dita itu temanku di kampus. Umurnya sih udah 35..." dia agak tersipu. "Tua, ya?"

"Nggak terlalu," jawab Ratri seadanya. Ya tua atau muda bagi seorang lelaki memang relatif. Usia 23 tahun juga bisa kelihatan tua. "Yang penting kan kalian cocok dan dia nggak mempermainkanmu," kata Ratri asal, lalu sebuah suara benda membentur menginterupsi obrolannya dengan Esti. Rupanya sebuah vas pecah karena membentur tembok.

Mata Ratri menangkap drama itu dengan skeptis. Di mana ada dia pasti ada masalah, dengusnya. "Lho, itu kan Asti?" kening Esti ikut terlipat. "Ngapain dia ngamuk begitu?"

Ya, di hadapan mereka memang sedang tersaji drama antara seorang perempuan berambut panjang sepunggung yang wajahnya sudah berurai air mata, rambutnya awut- awutan, serta dalam posisi berdiri agak membungkuk. Sementara si lelaki berusaha membujuknya dengan mengulurkan tangan, berniat menenangkan dengan suara yang terdengar lembut dan membuat Ratri terheran- heran.

"Please, As. Jangan begini. Aku minta maaf,"

"Seenaknya kamu minta maaf setelah apa yang udah kamu janjikan ke aku?" perempuan bernama Asti itu mendesis dengan mata terpicing. "Aku nggak mau menerima permintaan maaf." Tandasnya, nggak peduli dia sudah jadi tontonan gratis di kafe itu. "Aku mau kamu realisasikan janjimu. Nikahi aku." Semua yang ada di Purpose Purple melongo. Saat itulah kepala lelaki itu menoleh ke tempat Ratri sedang duduk dan memperhatikan adegan tersebut dengan muka datar.

***

Selesai bertemu Esti, Ratri nggak langsung pulang ke rumahnya. Dia turun ke Semarang bawah. Niatnya mau buang sial karena harus menyaksikan drama satu babak di Purpose Purple tadi. Gadis itu setengahnya masih syok. Jadi berapa perempuan yang sudah diiming- imingi janji manis oleh lelaki itu?

Seraya meminum tehnya, Ratri berjalan mengitari kawasan Kota Lama. Suasana yang agak mendung dibalut dengan semilir angin basah membuat perasaannya diliputi oleh melankolia. Gadis itu termenung di kursi besi, duduk mencakung.

Angin yang semakin liar itu mengurai kasar rambutnya. Ia masih enggan mengemudi pulang ke Ungaran. Niatnya turun tadi supaya bisa membeli oleh- oleh di Pandanaran. Cuti yang di- ACC Bu Intam kan nggak gratis. Semalam perempuan berusia pertengahan empat puluh itu minta bandeng presto. "Kalo ada sekalian Lunpia gang Lombok, ya!"

Kalau bawa lumpia gang Lombok sudah pasti dia harus pulang dengan pesawat. Padahal Ratri ingin sekali naik kereta sembari menikmati keindahan panorama di sepanjang perjalanan. Ponsel di saku jaketnya bergetar. Nama bocah tengil itu berkelip- kelip di layar.

"Assalamualaikum," sapanya.

"Ya, waalaikum salam. Cepet ngomong!"

"Duh galaknya minta ampun! Habis nelen herder ya, Mbak?!"

Ratri mematikan ponselnya dengan gemas.

Tapi belum ganti detik, ponsel itu menyala lagi. Ibu jarinya seketika mengusap ikon merah di layar selebar 6 inci tersebut.

Dana: klo dirijek lagi kusumpahin Mbak Tri jodoh ama mas Bhaga!

Ratri menggeram jengkel. Apa- apaan ini cowok tengil. Ketika masih serius memelototi layar ponselnya, benda itu berkedip- kedip lagi. Menampilkan nama Dana. Terpaksa ia menjawab. "Apa?! Cepetan!"

"Lagi di mana?"

"Belanda!"

"Oke aku susul. Mau beli oleh- oleh, kan? Tungguin dulu. Ini Mama sama Mbak Windi nitip amplop entar kalo Mbak Tri tinggal aku embat sendiri amplopnya. Lumayan buat liburan ke Wonosobo!"

Dasar bocah kentir!

Ratri diam saja. Hanya suara helaan napasnya yang terdengar oleh Dana, membuat cowok itu mengernyitkan alis indahnya. "Halo, Mbak? Mbak Tri masih hidup, kan?"

"Hmmm,"

"Oke. Aku sampai situ paling enggak sejam lagi. Pokoknya tungguin. "

"Hmmm,"

"Ham, hem, ham, hem melulu. Tenggorokan Mbak Tri kesumpel sama kain jampelnya Mama ya?"

Tanpa babibu, Ratri mematikan ponselnya. Lalu menekan  tombol virtual "off" dan memasukkan benda itu ke dalam saku jaketnya. Angin pantura kembali menampar pipinya.

---

Satu jam terakhir buku serial fantasi Cassandra Clare masih terbuka di pangkuannya. Ia masih berhenti di halaman yang sama. Entah mengapa, mendadak konsentrasinya buyar. Padahal tadi ketika Leona membingkisinya dengan lima buah buku, Ratri merasa sudah nggak sabar untuk membacanya. Namun yang terjadi sekarang adalah dia bolak- balik melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam lima kurang seperempat. Langit di atasnya terbagi menjadi empat warna. Di sebelah selatan gumpalan awan mendung sudah mengancam akan mengguyur bumi di bawahnya, di barat, senja kemerahan membuatnya terpesona. Di timur langit berwarna biru gelap dan di utara masih berwarna putih. Seperti gumpalan- gumpalan kapas. Beberapa orang mulai lalu- lalang. Banyak balita mengenakan gaun- gaun ala putri, berlarian. Ada yang manut digandeng oleh kedua orangtuanya yang masih muda. Ratri tersenyum pahit. Betapa bahagianya orang yang berjalan berpasangan, makan berdua, atau bertiga. Bahkan ada pula sepasang lansia yang dengan percaya dirinya mengenakan kaus olahraga dan celana training, memakai topi lebar, bergandengan tangan dan saling menatap penuh cinta. Dan sesuatu yang besar serta mendesak kini menghimpit dada Ratri. Tenggorokannya yang sudah kering karena sudah satu jam dibiarkan tanpa dialiri air itu kini terasa seperti tersumpal oleh gumpalan kain jampel. Seperti yang dibilang Dana tadi.

Entah mengapa, melihat kebahagiaan mengelilingi sekitarnya, dunia Ratri malah terasa suram? Atau dia hanya iri?

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang