Duapuluh enam

13.7K 1.2K 20
                                    

Dada Ratri  serasa seperti terkena guncangan gempa dengan kekuatan 9,7 magnitudo. Rasanya seperti porak- poranda. Luluh lantak.

Dia nggak tahu ada perasaan semacam ini. Perasaan yang dirasakan oleh manusia, oleh dirinya.

Terlebih oleh dirinya.

Jadi yang dilakukannya hanya diam.

Terlalu syok dengan apa yang barusan terjadi.

Bukannya ia nggak pernah melakukannya dengan Ergi. Mantan pacarnya itu sangat touchy. Ketika mereka keluar atau kencan, Ergi akan selalu mencari - cari kesempatan untuk menyentuhnya. Entah itu tangannya, pipinya, rambutnya, hidungnya, telinga, bahkan bibirnya.

Awalnya, Ratri merasa agak risih, namun pada akhirnya dia mau mentoleransi jika Ergi menyasar bibirnya setiap mereka sedang berduaan. Jika pria itu sudah mulai kelewatan, Ratri akan menghentikannya. Intinya, sebisa mungkin dia memaksa otaknya agar selalu sadar dan berfungsi sepenuhnya.

Namun kali ini, otaknya seperti sudah meleleh menjadi bubur. Mungkin saja bila Bhaga nggak menyudahinya, dia akan terbawa suasana dan mereka akan berakhir di jok belakang dan besok pagi mungkin saja dia akan jadi manusia yang membenci dirinya sendiri ataupun membenci Bhaga.

Lengannya masih erat memeluk tubuh Bhaga. Sementara pria itu balas memeluknya erat, seolah- olah Ratri adalah satu- satunya alat untuk bertahan hidup bagi Bhaga. Tubuhnyapun kini gemetaran, dan tangan Bhaga dengan lembut mengusap punggungnya dengan ritme beraturan. Dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Namun begitu, jantungnya masih bertalu- talu, suaranya terdengar hingga ke telinganya sendiri. Lalu ada suara lain yang sahut- menyahut mengimbangi detakan jantungnya.

Suara detak jantung pria yang tengah didekapnya.

***

"Mas dari mana sih? Aku cariin nggak ada. Baru pulang ya?" todong Dana begitu Bhaga keluar dari mobilnya yang diparkir di carport yang disediakan di pinggiran halaman kos putra yang luas itu. "Mas?" Dana memanggil dengan lebih lantang. Karena sepertinya sepupunya itu sedang nggak berada di kosan. Tapi entah pergi ke mana jiwanya.

Dana menggeleng. "Mas ... Mas, " ujarnya, bak orang dewasa yang melihat kelakuan anak baru gede yang absurd. "Mas tuh kalau memang nggak rela ninggalin Mbak Ratri mbok yo wis. Didadekke wae. Ngono kok yo bingung dewe, Mas- mas..."

[Ya sudah. Dijadiin aja. Gitu saja kok ya bingung sendiri]

Bhaga yang berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jin yang dikenakannya, balik menatap Dana dengan bingung. Membuat sepupunya itu berdecak kesal.

"Wis embuhlah, Mas!" lantas kembali masuk ke dalam kamar. Bhaga tetap tinggal di tempat dan celingukan di depan kamar kos putra yang berbentuk leter L tersebut. Kos ini juga milik Tante Kos. Penghuninya kebanyakan pekerja kantoran, mahasiswa, dan pekerja informal. Bhaga jadi bertanya- tanya dalam hati, adakah salah satu dari mereka yang pernah menaruh hati pada Ratri?

Jawabannya pasti ada. Seperti yang dibilang Ableh semalam. "Yang suka dia itu banyak, Man. Tapi karena terlalu galak, dan pacarnya yang dulu kayaknya juga high quality banget sih ya orang- orang di sini pada mundur duluan. Termasuk yang nempatin kamar sebelah lo itu..."

Bagaimana caranya membujuk Ratri agar mau meninggalkan Jakarta?

Tapi kalaupun Ratri mau kembali ke Semarang, apakah yang bisa dia berikan pada gadis itu? Sementara hubungannya dengan Asti hampir serius. Keluarganya sudah menyetujui dan merestui. Bhaga nggak mungkin menghapus harapan dari wajah ibunya, atau membuat ayahnya murka.

Duduk di atas lantai kos yang menghadap ke jalanan gang, Bhaga mengeluarkan ponsel. Masuk ke aplikasi chat WhatsApp, melihat- lihat bila ada yang bisa diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Lalu menemukan nama Rista yang masih online.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang