"Udah semua? Nggak ada yang ketinggalan?" Bhaga bertanya seraya memanggul dua kotak kardus seukuran kardus air mineral di pundak kanannya. Sementara Dana membawa dua kantung kresek berukuran besar, hanya Ratri yang membawa sebuah tas kain ukuran besar di tangannya.
"Habis ini pulang to, Mbak? Aku capek. Gagal juga deh ketemu sama Arika," dengus cowok itu. Mirip kuda. Tadi setelah dari Kota Lama, Bhaga memutuskan untuk langsung ke pusat oleh- oleh di Pandanaran, mempertimbangkan kondisi Ratri yang sepertinya kurang sehat. Entah mengapa tiba- tiba gadis itu jadi sangat pendiam dan banyak melamun. Apakah karena melihat kejadian di Purpose Purple tadi?
Dana melengos, setiap kali Bhaga melirik ke arah Ratri yang lebih suka melempar pandang ke luar menembus kaca mobil. Perjalanan menuju Ungaran, entah mengapa jadi terasa begitu jauh dan menyesakkan.
Suasana hati yang mendadak melankolis itu dipengaruhi oleh betapa kesepiannya dirinya selama ini. Di Jakarta dia memang punya banyak teman, namun karena dirinya bukanlah tipe gadis yang mengumbar masalah pribadinya demi untuk mendapatkan simpati, Ratri merasa kering di dalam hatinya. Seperti tanah yang retak- retak di musim kemarau panjang.
Melihat orang- orang bahagia bersama pasangan dan keluarga, membuat Ratri disergap rasa iri. Tahu- tahu saja ribuan jarum sudah menusuk matanya lagi. Keinginan untuk mencurahkan air matanya kian tak terbendung, membuatnya mendongakkan kepala. Namun sayang, matanya hanya bertemu langit- langit mobil.
"Mbak Tri besok mau berangkat jam berapa?"
"Pagi, "
"Diantar sama Mas Rivan?"
Gadis itu hanya mengangguk sekali. Lalu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Donnie dan Nila. Atau siapapun yang bisa menjemputnya di Bandara. "Itu oleh- olehnya aku nggak dibagi, ya?" tanya Dana dengan muka memelas. Ratri menatap dingin dari spion tengah.
Dua kardus besar itu sudah ada pemiliknya.
Isinya bandeng presto semua.
Lengang. Bahkan Bhaga tiba- tiba juga lebih tertarik pada jalanan di hadapannya. Lelaki itu tampak berkonsentrasi pada jalanan yang gelap. Malam mulai tinggi.
Lelaki itu berharap setelah ini, setelah Ratri kembali ke Jakarta, ia tak akan memikirkan gadis itu lagi. Bhaga memutuskan bahwa gadis itu terlalu baik untuknya. Lelaki yang tak pandai berkomitmen dan menurut banyak orang hanya bisa mengecewakan orang lain. Mati- matian ia menahan kepalanya agar tak menoleh ke samping, betapapun sungguh menggoda wajah mahluk di sampingnya itu. Seraut wajah jutek. Berkulit putih dengan mata agak sipit dan bibir kemerahan yang selalu mengatup, seolah ia geram pada dunia dan semua orang. Seorang gadis yang kelihatannya tak bakal dengan sukarela melompat ke pelukannya, seperti kebanyakan gadis yang ditemuinya selama ini.
Banyak orang berasumsi bahwa Bhaga memang terlahir sepaket dengan apa yang dinamakan dengan boyfriend materials, husband materials sekaligus playboy materials. Dia adalah gambaran tepat dari kata- kata tall, dark and dangerous. Tak cuma secara fisik, lelaki itupun memesona lewat sikap luarnya yang ramah, hangat dan peduli. Namun di dalamnya, dia adalah sosok yang memuja kebebasan. Sejak sebelas tahun yang lalu, ia memang takut berkomitmen.
Baginya hubungan dengan para perempuan itu hanya untuk dua macam. Teman atau adik. Kebanyakan dari mereka berharap kata "teman" ini bisa menjurus pada sesuatu yang bernama teman hidup. Namun mereka pada akhirnya harus gigit jari. Karena begitu Bhaga mencium tanda- tanda perempuan yang ingin menyeretnya ke pelaminan, lelaki itu akan menghindar. Menyakiti si perempuan dengan cara klasik--- menggandeng perempuan lainnya.
Namun tidak bisa begitu dengan Asti. Gadis itu adalah putri rekan sekantornya. Ayah Asti adalah orang baik dan Bhaga tak ingin mengecewakannya.
---
Ratri langsung menukar pakaiannya dengan kaus kuning bergambar anak ayam dan celana pendek. Tubuhnya langsung meluncur ke atas kasur, bahkan tanpa melakukan skincare routine seperti kebiasaannya. Ditariknya selimut tebal bergambar awan- awan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tiba- tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar, diikuti suara Mama yang lembut.
"Tri... " suara Mama yang lembut, membuat Ratri tak tega untuk pura- pura tak mendengar atau mengacuhkannya. Jadilah ia bangkit, lantas membuka pintu. Senyum Mama merekah, menghangatkan hati Ratri yang padam dan dingin, gadis itu menerjang Mama, memeluknya erat.
Mama membimbing Ratri duduk di kasur tanpa melerai pelukannya. "Kenapa?" tangannya yang mulai keriput mengelus rambut anak gadisnya. Nilam tahu, meskipun Ratri terbilang judes ataupun jutek, namun dari ketiga anaknya, si bungsu inilah yang paling sensitif hatinya.
"Setelah ini Ratri nggak bisa peluk Mama lagi," kata gadis itu. Suaranya teredam di dada sang Mama yang berbau kenanga. Harum khas Mama sejak dulu. Aroma yang selalu dirindukannya. Saking rindunya, pernah Ratri sampai menilap bra sang Mama berikut lotion serta bedaknya ke Jakarta. Malam- malam saat ia begitu merindukan perempuan yang melahirkannya itu terkadang begitu menyiksa dan membuatnya melakukan semacam tingkah ganjil untuk menciumi benda- benda itu. Mendadak Ratri mengeratkan pelukannya itu.
"Kan Mama udah bilang. Kamu kerja di sini aja. Temani Mama. Mbakmu kan nggak selalu ada. Rumah ini terlalu besar," balas Mama. Tangannya masih lembut membelai surai hitam sang putri.
"Ratri masih betah sama kerjaan Ratri yang sekarang kok, Ma. Lagian kontraknya tiga tahun. Sekarang baru jalan beberapa bulan kan?"
Mama tersenyum. "Kalo gitu kamu harus nyari jodoh orang sini!" Ratri tahu Mamanya hanya bercanda, tapi entah mengapa tahu- tahu saja bayangan lelaki itu yang melintas di benaknya. Membuat gadis itu menggelengkan kepalanya keras- keras, seolah menghalau bisikan setan di kepalanya. Kontan saja Mama melepaskan pelukannya, menjauhkan tubuh Ratri darinya. Keningnya dipenuhi lipatan, "kamu kenapa? Pusing, ya?" nada suara Mama terdengar khawatir. Membuat Ratri bingung sendiri. Akhirnya dia berbohong dengan mengangguk. "Tadi kehujanan," didukung suara seraknya karena menahan tangis, sekonyong- konyong Mama melarikan tangannya ke kening Ratri. "Bener," ujarnya disertai alis yang berkerut. "Anget. " Ratri merasa berdosa karena menipu Mama. Tapi dia tak akan pernah siap untuk melisankan isi hati yang sebenarnya kepada perempuan yang paling istimewa dalam kehidupannya tersebut.
Mama bangkit dari kasur setelah menjanjikan segelas teh jahe dan bubur kacang hijau. Ketika hendak merebahkan tubuhnya kembali, ponsel yang terlgeletak di samping bantalnya berkedip. Sebuah notifikasi muncul. Sepasang mata Ratri membelalak, ketika mengetahui bukan Nila atau Donnie yang ribut menghubunginya. Melainkan nama lelaki yang dibencinya, tapi belum sepenuhnya bisa dilupakan. Mengingat tiga tahun kebersamaan mereka.
Ergi: kt Donnie kamu pulang besok?
Ergi: boleh aku jemput?
Ratri mendesah. Keengganan bercokol di dadanya. Sebagian hatinya memerintahkan untuk mengabaikan isi pesan tersebut. Namun tak dipungkiri juga, ada sejumput kerinduan yang masih mengintip. Jadi dengan kebulatan tekad dan harga diri, Ratri membalas; sdh dijemput Nila. Makasih tawarannya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...