Sebelas

18.8K 1.7K 33
                                    

Jakarta lagi.

Ratri berharap semoga yang terjadi di Ungaran akan tetap tertinggal di sana. Dia tak mau harus membawa- bawa kenangan buruk yang terjadi di sana. Dia juga tak ingin terpengaruh dengan sekelumit kenangan indah yang melibatkan lelaki menyebalkan itu.

Kepalanya melongok mencari- cari wajah yang dikenalinya. Ia tak menemukan sosok Alin, Nila, maupun Donnie.  Dia malah menemukan sosok jangkung bermata seperti bulan sabit dengan senyum yang sanggup menerangi kawasan Cengkareng dan sekitarnya.

Dengan langkah mantap penuh percaya diri, lelaki itu menghampiri Ratri yang terpaku di dekat tempat pengambilan bagasi. Kopernya tidak beranak. Sungguh. Akan tetapi kardus oleh- oleh yang jumlahnya bisa untuk bekal kemping selama sebulan itu cukup menyulitkannya.

"Kopermu nggak beranak?" senyumnya merekah. Senyum yang sempat membuat Ratri sembelit tiga tahun lalu, di awal perkenalan mereka. Jujur, gadis itu masih salting. Saking saltingnya dia tak tahu harus berbuat apa selaim memasang tampang jutek yang sudah jadi signature di wajahnya.

Tapi sayangnya hal itu sama sekali tak mengganggu Ergi. Dia malah tersenyum lebih manis. Gawat. Gawat tingkat dewa namanya.

Tangannya yang bersih dan dilingkari Daniel Wellington itu meraih handle koper ukuran sedang milik Ratri. Lalu tatapannya jatuh ke arah kardus- kardus dan tas travel besar yang teronggok di samping kaki Ratri. "Ini juga?"

Ratri mengangguk mantap. Namun sayangnya ia lupa bahwa meskipun bejat, Ergi adalah tipe lelaki yang gentle. Seumur- umur ketika mereka masih bersama, lelaki itu tidak pernah membiarkan Ratri mengangkut belanjaannya sendiri, menyetir sendiri, membayar belanjaannya sendiri atau pulang malam- malam sendiri. Mengingat hal tersebut kontan membuat dada gadis itu diserang rasa sesak.

"Aku bisa bawa sendiri. Nggak perlu repot- repot." Kata- katanya terdengar menyakitkan bagi orang lain, namun tidak bagi lelaki berkulit putih bersih itu. Alih- alih tersinggung, lelaki yang sejak tadi menjadi penambat pandang yang menyenangkan karena penampilannya yang seperti baru dicomot dari halaman majalah fesyen itu malah tertawa.

Pagi itu Ergi tampak keren dengan kemeja lengan pendek berwarna teal yang dipadukan dengan celana jins dengan warna senada. Rambutnya yang hitam legam ditata sedemikian rupa, harum rempah- rempah menguar dari tubuh tegap dan atletis berkat kunjungan rutin ke gym.

Ergi harus dua kali bolak- balik untuk mengangkuti barang bawaan Ratri. Hal tersebut tak ayal menimbulkan sorot iri dari para mahluk berkromosom X yang wara- wiri di area bandara tersebut.

"Nggak minta bayaran, kan?"

"Kalo kamu ngasih aku juga nggak nolak. Lunc di GI mau, ya? Kamu masih suka sama makanan Jepang yang waktu itu kita datengin itu, kan?" Ergi memasang sabuk pengaman. Sementara Ratri mengamati sekilas interior Toyota Camry yang sama mewahnya. Harum citrus mengambang di udara.

"Oh, yang waktu aku mergokin kamu lagi sama anak kuliahan itu?" bahkan kata- kata nyinyir yang keluar dari bibir Ratri tak mampu mengubah suasana hatinya pagi itu.

Benar. Jam di penunjuk waktu pada telepon seluler Ratri masih menunjukkan angka sembilan lewat. Hampir setengah sepuluh.

"Ke mana kita sekarang Tuan Putri?" tak berniat membiarkan gadis itu menang, Ergi mengalihkan pembicaraannya.

"Ke kantorku. Aku mau ngelabrak Donnie, Alin, Nila, atau bahkan Yudi!" kata Ratri kesal. Diminta jemput ke bandara malah seenaknya mengalihkan tugas pada orang lain. Gadis itu melengos ke luar jendela mobil.

---

"Bagus!" masih dalam balutan jaket dan celana jins, seraya melipat kedua tangannya di depan dada, Ratri berdiri di lobi kantor. Sengaja dia meminta Lindi dan Sisca untuk menelepon Alin, Nila, Donnie atau Alex. Atau Yudi sekalian. Dengan santai, Ergi masih berdiri mendampingi di sisinya, seraya menekuni ponsel.

Dan sekarang yang berdiri di hadapannya hanya Nila. Alin menolak diomeli, Donnie dan Alex sedang meeting. "Kenapa mangkir dari tugas!"

"Bukan mangkir. Tapi kan kita kerja," jawab Nila seraya meremas- remas jemarinya yang sudah dimanikur ala Prancis. Kalau sudah begitu, Ratri jadi tidak tega meneruskan omelannya. Nila punya hati yang lembut. Dan dia tidak berhak menerima omelan dari Ratri hanya karena suasana hati gadis itu sedang buruk.

Menghela napas berat dan lelah sekaligus, Ratri bergumam. "Mana Yudi?"

"Kenapa nyariin Bang Yudi?"

"Emang lo mau gitu bawa oleh- oleh jatah Bu Intam?"

Gadis itu menggeleng takut- takut. Nila memang dibesarkan untuk jadi seorang pecinta damai sejati. "Tapi gue bisa minta tolong Pak Ben di depan itu, kan?"

Pada akhirnya Ratri menggeleng. Dan demi memuaskan hatinya, lagi- lagi ia memanfaatkan bodyguard high quality yang masih asyik dengan gawainya sambil nyengir- nyengir tak jelas.

"Gi, "

"Ya," serta- merta lelaki itu mendongak, menemukan sepasang mata sipit milik Ratri yang entah mengapa bisa disejajarkan dengan kata seksi saat sedang memicing begitu. "Apa, Di?"

"Bantuin angkatin ini ke pantri,"

Ergi mendesah. Beginilah kalau berani macam- macam, sementara hati masih sayang.

Lelaki itu memasukkan gawai ke saku celana. Mendesah pasrah. Siapa bilang cowok ganteng itu tidak bisa dibully?

---

Ratri baru saja memasuki kamar kosnya. Sepulangnya mengantar oleh- oleh yang jumlahnya seabrek tadi, Ergi mengajaknya keliling Jakarta sampai ke Bogor. Alhasil bukannya menikmati masakan Jepang seperti yang dijanjikannya, Ergi malah membawanya ke sebuah rumah makan bernama Saung Sari di kawasan puncak.

Saung Sari merupakan rumah makan dengan konsep pemancingan. Sebanyak tujuh belas saung ditata mengelilingi kolam ikan yang jernih. Selain saung, tempat itu juga menyediakan tiga balai- balai berukuran besar yang bisa menampung sekitar tiga puluh orang.

Dan karena Ergi adalah orang yang mencintai segala kemudahan, meskipun harus mengeluarkan biaya ekstra, lelaki itu lebih suka langsung memilih menu, ketimbang repot- repot menunggu ikan menghampiri umpannya. "Yang nggak usah ribet kan ada, Di. Kenapa sih mesti susah- susah nunggu?" khas Ergi, sang Putra Mahkota.

"Aku ngajakin kamu ke sini itu biar kita nulis dan ngelukis kenangan baru. Kuakui aku emang brengsek banget."

Kata- kata Ergi tadi hanya mendapat respon berupa kerutan di kening dan hidung mungil Ratri. "Kok kamu ngomong gitu? Dokter mendiagnosamu kena Gonore?"

Ergi mengatupkan bibir tipisnya yang kemerahan. Memang, dibanding merokok, lelaki itu lebih suka minum. Dan belakangan baru Ratri tahu--- juga main perempuan.

"Diandra..." Ucapnya dengan suara mirip belaian angin siang yang cerah. Jujur saja hal tersebut menimbulkan efek yang magis. Telinga dan kuduk Ratri merinding dibuatnya. Untuk sesaat tadi dia benar- benar lupa siapa yang sedang dihadapinya. Ergi Tjandra Pragayudha adalah deskripsi dari mahluk yang sulit ditolak.

Tangannya terulur meraih jemari Ratri yang putih bersih. Hanya ada sebuah cincin bermata berlian hadiah dari Mama sebelum dia kembali ke Jakarta tadi pagi. Melihat benda tersebut, tak urung membuat kernyitan di dahi Ergi muncul tiba- tiba.

Didekatkannya jemari lentik itu ke depan mata. "Kamu... Oh, no. Diandra, jangan bilang kamu pulang ke Semarang untuk ditunangkan dengan seseorang dari kampungmu?!" katanya gusar. Matanya melebar, menuntut penjelasan dari Ratri. Lalu muncullah ide supersinting yang dengan cepat menghampiri benaknya kala itu.

Lamat- lamat ia mengangguk. Dan dengan brutal, jemari lentiknya yang sepertinya tadi begitu dipuja sepenuh hati oleh Ergi itu dihempaskan ke atas meja.

Mengingat hal tersebut, Ratri tidak bisa menghentikan senyum miringnya. Menggelikan.

Ia baru saja hendak menarik selimutnya, sesudah mematikan lampu nakas, lalu ponselnya bergetar. Dari notifikasinya saja sudah membuat lehernya kaku.

Kamu udah tidur, Tri...

Dan pengirimnya tak lain dan tak bukan adalah Bhagavad Nirankara.

Oke, dari mana lelaki itu mendapatkan nomor ponselnya? Sebuah nama lain merasuki kepalanya.

"Danaaaaa!"

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang