Enam

23.6K 1.7K 18
                                    

Sepertinya jika kamu pulang kampung, lalu kamu bertemu kembali dengan teman masa kecilmu, kemudian jatuh cinta lagi dan selanjutnya seperti yang ada di novel- novel roman, kamu menikah sama teman kecilmu dan bahagia, berarti kamu terlalu banyak berkhayal.

Nggak semua teman masa kecil bisa serta- merta dinikahi ketika dewasa. Dalam hal ini termasuk hubungan antara Ratri dan Bhaga. Ratri jelas- jelas nggak akan memilih Bhaga, meskipun lelaki itu terlihat menjanjikan.

Wajah ganteng dan pekerjaan mapan saja sudah poin plus untuk para pencari jodoh. Apalagi ditambah sikapnya yang humble dan--- Ratri benci mengakuinya--- hangat.

Ya, Bhaga selalu siap membantu kapan saja, dia juga nggak pernah nolak jika dimintai tolong. Dan satu lagi yang baru diketahuinya--- suka anak- anak.

Orang bilang lelaki yang baik itu nggak risih sama anak- anak. Sekarang di hadapan Ratri, dengan cueknya, Bhaga menyunggi tubuh gembul Kresna ke atas bahunya, membuat bocah itu terkikik- kikik senang. Melihat itu semua, Ratri sempat merasa bahwa otaknya kini mungkin sudah menyusut menjadi sebesar kacang polong. Mungkin kebanyakan menghirup asap kendaraan di Ibukota.

"Eeh..." Mbak Mila dengan perut bulatnya tahu- tahu muncul entah dari mana. "Lho ikut siapa itu dik Kresna? Ikut Om, ya?" mendengar hal itu, Ratri hanya melengos. Ya ampun. Bahkan dalam sekejap Kresna sudah punya Om favorit tahun ini.

Bhaga menurunkan bocah itu dari bahunya, Kresna hendak protes, namun rengekannya kembali ditelan ketika Mbak Mila mengeluarkan mainan pesawat- pesawatan dari kantong kresek hitam yang ada di tangannya. Mata bulat Kresna semakin membola lebar. Yang mana Ratri akui bocah itu jadi terlihat menggemaskan.

"Bilang apa sama Tante, Dik?" bisik Bhaga.

"Makasi Ante..." katanya, lalu matanya yang bulat serius mengamati mainan barunya. Ratri semakin jengah.

Selesai dengan Kresna, Mila menangkap keberadaan adiknya di sudut halaman belakang rumah Bude Nani tersebut. Matanya menyipit, melihat sang adik menekuk muka. "Tri, kamu di sini?" Mila berjalan hendak menghampiri adiknya, melihat perut bulat Mbak Mila dan halaman belakang yang dipenuhi kerikil, Bhaga kelihatan nggak tega. Dia mendelik ke arah Ratri. "Tri, kamu yang ke sini dong. Nggak lihat Mbakmu lagi hamil gede begini?"

Halah, cari perhatian banget. Ratri mendengus, tapi ia bangkit juga, menghampiri Mbaknya yang berjalan dengan langkah terseok. Ratri menangkap kaki kakaknya yang mulai membengkak. Lalu merengut nggak suka. "Mbak itu ngapain kok pake jalan ke sini segala. Itu kakinya bengkak. Pasti kebanyakan wara- wiri, kan? Nanti kalo Mas Ikhsan tahu terus diomelin gimana?" karena hati yang sedang gusar, Ratri jadi ikut- ikutan memarahi kakaknya. Biar saja. Dia memang nggak terima kalau mesti disalahkan sendirian. Kakaknya ini kadang memang ndablek kalau dibilangi. Kemarin dulu pas selamatan pendak pindho Bapak, Mbak Mila sibuk sendiri sampai kakinya bengkak gede gitu.

Nggak cuma Mbak Mila, Mama juga jadi kena getahnya. "Yu Nilam, mbok ya anakmu itu suruh diam. Anteng wae. Rak usah wara- wiri. Delok sikile wes abuh ngono,"

Buntutnya Mas Rivan yang ngamuk- ngamuk ke Mbak Mila karena bikin Mama diomeli dan jadi bahan gunjingan para saudara yang rewang untuk selamatan tersebut.

Memang terkadang yang bikin Ratri agak malas pulang kalau ada acara besar di rumah adalah para bulik dan budenya sendiri. Nggak jarang Ratri mendengar para rewangan itu malah ngrasani tuan rumah.

Yang bikin dia antusias pulang ke rumah hanya tiga hal. Senyuman Mama, masakan Mama dan kunjungan Mas Rivan beserta keluarga atau Mbak Mila. Selain itu nggak ada yang istimewa.

Masa- masa SMA nya nggak berwarna seperti kebanyakan yang diceritakan novel- novel teenlit yang dulu sering dipinjamya dari Leona, teman sekelas yang kabarnya sekarang buka persewaan buku dan komik di dekat sekolah mereka dulu, di kawasan Jalan Diponegoro, Candirejo sana.

Bedanya kalau orang lain bisa baper baca novel, lain dengan Ratri. Baginya bacaan hanya sekedar bacaan. Dia nggak sibuk salah tingkah karena nggak pernah sadar bahwa sebenarnya banyak yang naksir dia. Yang peka malah Esti sahabatnya yang sekarang tinggal di Semarang bawah.

Satu- satunya hubungan romantis yang pernah dia punya baru saja kandas.

***

"Kayaknya Bhaga itu deketin kamu lho, Dik." Tahu- tahu Mbak Mila berbisik di telinganya dalam perjalanan pulang ke rumah.

Akhirnya hari ini Ratri pulang nebeng Mas Rivan, karena sudah terlalu lelah kalau motoran sampai rumah. Mana mendung dan angin sepoi- sepoi rasanya pasti bisa bikin ngantuk di jalan.

Ratri yang sedang main hp melengos sejenak menatap kakaknya yang sedang menepuk- nepuk bokong Kresna yang montok. "Tak liatin sejak tadi dia mbuntuti kamu terus lho,"

Ratri hanya berdecak.

"Dia itu sudah mapan lho, Tri. Ya kerjanya, ya umurnya. Mbak rasa cocok sama..."

"Udahlah, Mbak. " Sergah Ratri bosan. "Barangkali dia bersikap begitu cuma di nikahan tadi doang. Kebawa suasana. Kan nggak ada yang tau kalo ternyata di luaran sana dia udah ada yang punya. Lagian terlalu tua buatku."

Giliran Mbak Mila yang mencep.

"Aku sama Mas Ikhsan itu jarak usianya sebelas taun kalo mau tau. Tapi dia sayang pol kok," katanya. Sejak hamil, Mbak Mila memang tampak kemayu. Kata Bulik Mina nanti pasti anaknya cewek.

"Kan malah enak kamu jadi bisa manja- manja,"

Ratri memutar bola mata. Ia diam saja. Nggak berminat untuk membalas ocehan kakaknya itu. Lagian dapat ide dari mana pula tahu- tahu menyodorkan Bhaga buat jadi calon suami potensial. Umurnya saja baru menginjak 23 tahun. Lagipula menikah muda nggak pernah tercantum pada kolom cita- citanya.

Dan lagi menurutnya usia yang ideal untuk melepas masa lajang adalah 27 tahun. Pas. Saat mencapai angka tersebut, Ratri pasti sudah cukup kenyang dengan pengalaman kerja, main, menikmati masa lajangnya.

"Kalo kamu nggak buru- buru nyamber, bisa digasak duluan sama Nia. Kayaknya dia juga kebelet sama Bhaga itu,"

"Halah mbok biarin to, Mbak. Laki kan nggak cuma dia. " Jawab Ratri mantap masih sambil memainkan ponselnya. Di sampingnya, Mbak Mila cuma menggeleng nggak habis pikir. Dia merasa adiknya sudah nggak tertolong untuk masalah lelaki. Dan untuk itu dia bersedia membantu agar kehidupan asmara sang adik nggak segersang musim kemarau.

***

Sesampainya di rumah, Ratri langsung melemparkan tubuh ke atas kasur. Ia mengganti daster dengan celana pendek dan kaus Chanel warna hitam yang pas badan. Benda yang melekat ditubuhnya itu hadiah dari Mbak Arantxa. Saat hendak memejamkan matanya, ponselnya bergetar. Satu pesan WhatsApp masuk. Dari Leona. Isinya berupa protesan: di Ungaran kok nggak mampir?!!.

***

Ndablek: bandel

Pindho: kedua

Delok: lihat

Sikil: kaki

Aboh: bengkak

Ngono: begitu

Rewangan: orang yg bantu kalo ada acara besar di rumah seperti acara nikahan, sunatan, hormat haji, atau ada yang meninggal, atau ada yang lahir.

Ngrasani: membicarakan dalam artian negatif. Biasanya keburukan orang lain.

Mencep: melengos, mencebik ( kurang lebih begitu)



Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang