Sembilan

19.5K 1.7K 27
                                    

"Kamu mau kehujanan?" sebuah suara berat seolah menggema di kepala Ratri. Detik berikutnya butiran air dari langit meluncur mulus di permukaan hidungnya. Ia terperangah karena mendapati lelaki itu telah berdiri di hadapannya.

Bhaga. Dengan tangan terulur ke arah Ratri. Sementara gadis itu masih bengong seolah kehilangan orientasi tempat dan waktu. "Sayang kalo bukumu basah, kan?" dengan segera lengan panjang nan kokoh itu meraup buku Ratri yang tergeletak di bangku, tepat di samping Ratri duduk tadi. Ratri sendiri memandang sekelilingnya dengan dahi mengernyit. Orang- orang berlarian mencari tempat berteduh.

Karena melihat Ratri seperti orang yang terkena tenung, spontan Bhaga meraih lengan gadis itu, agak menyeret sebetulnya. Habis mau gimana? Ratri bengong persis sapi di tengah- tengah serbuan air hujan petang itu.

"Aduh Mbak kalo bengong mbok ya liat- liat tempat!" gerutu Dana gusar. Melihat kakak sepupu yang menurutnya paling cakep diantara sepupu lainnya dengan jaket basah, mau nggak mau Dana jadi prihatin. Dan kalau Dana sudah prihatin, pasti bakal mengalahkan cacing kepanasan.

"Ambil kausku yang di jok belakang itu Dan," perintah Bhaga. Absolut. Nggak bisa dibantah lagi, membuat Dana yang tadinya enggan beranjak dari tempatnya yang nyaman.

Kalau tadi Ratri sempat melihat langit sebelah selatan yang dipenuhi awan mendung, kini sekumpulan awan itu telah berarak ke utara. Menyebar didorong angin. Ratri menatap sayu.

"Sabar sebentar, ya?" tatapan lelaki itu tampak mengkhawatirkan sosok yang kini terduduk dengan tubuh gemetaran di jok penumpang depan mobilnya. Dana kemudian mengangsurkan kaus berwarna kuning bertuliskan Karimunjawa. "Kamu ganti dulu. Bisa sendiri, kan?" tanya Bhaga. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Dana yang ternyata sudah sibuk berkutat dengan ponselnya di jok tengah. "Kamu keluar dulu." Titah Bhaga tegas. Membuat Dana berdecak.

"Di luar hujan, Mas."

"Neduh dulu." Sambar Bhaga seolah tak mau tahu. "Lagian masak cowok takut sama hujan?" ledek kakak sepupunya itu.

"Tapi aku lagi pake kemeja baru. Nanti juga mau ketemuan sama Rika di Citraland. Katanya dia lagi di sekitar sini." Bhaga tidak mau tahu. Yang jelas ia lebih mementingkan keadaan Ratri yang bibirnya mulai membiru. Mungkin berlebihan jika lelaki itu punya pikiran bahwa mungkin saja Ratri terserang hipotermia di kawasan pantura yang terkenal panas, namun bisa saja gadis itu masuk angin. "Dan," peringatnya. Nyaris berupa geraman.

Akhirnya mereka berdua keluar dari mobil. Hujan sudah tak sederas tadi. Kali ini hanya berupa gerimis meskipun langit masih diganjal dengan mendung tebal. Sementara Dana di sampingnya berdiri dengan muka dilipat seribu. Mereka kini berada di depan sebuah bangunan tua. Sama- sama kedinginan.

"Kata Mbak Tri dia udah selesai ganti bajunya." Dana menggumam. Namun wajahnya tidak beralih dari menekuri layar ponselnya. Lagi- lagi Bhaga mendecak dengan kelakuan adik sepupunya yang sudah dalam tahap kecanduan pada gawai. 

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka berlari kecil menuju mobil yang diparkir sekitar enam meter dari tempat berteduh.

"Mbak Tri jadi beli oleh- oleh ke Pandanaran?" tanya Dana sewaktu memasuki mobil. Ratri menjawabnya dengan sekali anggukan yang lemah. Detik berikutnya dia matanya membelalak. Ia tadi meninggalkan motornya di parkiran. "Dan motornya masih di parkiran."

"Ya gampang, Mbak. Ntar dititip ke stasiun aja. Besok kuambil sepulang sekolah. " Dana menjawab tanpa memandang wajah kakak sepupunya. Matanya masih terfokus ke layar gawai dan hal itu membuat Bhaga jadi "gatal" .

"Dan kalo ngomong sama Mbakmu itu tolong tatap mukanya. Hargai orang yang lebih dewasa."

Cowok itu kontan mengerucutkan bibirnya. Sewot. "Kamu ambil dulu motor mbakmu. Lalu dititip ke stasiun Tawang aja," titah Bhaga, membuat mata indah Dana melebar dengan dramatis. "Kok aku sih, Mas?" protesnya, lalu melirik ke arah Ratri yang masih mengatupkan bibirnya rapat- rapat. " Kalo sampe aku yang ngambil sendiri, kamu pulango naik angkot wae wis,"

"Ih nyesel ikut Mas Bhaga!" pekik cowok itu. Entah mengapa tingkah Dana jadi agak ngondek begini. Namun cowok itu turun juga dari mobil walaupun sambil bersungut- sungut. Bhaga tersenyum, meskipun mendapatkan balasan berupa bantingan pintu mobil.

Huh kalau sampai pintunya bejat, Dana sendiri yang harus membawanya ke Magelang, tempat reparasi pintu mobil langganan Bhaga ada di sana.

Suasana seketika menjadi hening sementara Dana mengurus motor Ratri. Bhaga hendak membuka obrolan. Tapi dia khawatir jika gadis yang kini menatap lurus ke depan menembus kaca mobil itu mau menggubrisnya. Sejak kejadian di Purpose Purple tadi, Bhaga merasa hatinya tidak tenang. Entah mengapa.

Padahal biasanya dia santai saja ketika bertemu teman perempuan saat dia sedang bersama teman perempuan yang lain. Lelaki itu tidak membatasi dirinya. Dia juga tidak mau menjalin hubungan penuh kerumitan dengan para perempuan itu.

Namun terjadi kesalahan dengan Asti. Perempuan yang tadi ribut dengannya. Asti adalah putri Pak Supardjo, sejawatnya di dinas pertanian. Pertemuan pertamanya dengan gadis berusia 21 tahun itu terjadi ketika Bhaga menjenguk Bu Supardjo di rumah sakit satu setengah tahun yang lalu. Bu Supardjo didiagnosa menderita tekanan darah rendah dan harus opname.

Sore hari Bhaga datang bersama Fadli, menjenguk istri Pak Supardjo, karena dari semua rekan- rekan, hanya Bhaga dan Fadli yang belum menjenguk. Di situlah dia melihat Asti. Tertunduk lesu di depan ruang rawat inap kelas satu. Pak Supardjo dan Bhaga menghampirinya, lalu mereka berkenalan.

Dua bulan kemudian secara tak sengaja mereka bertemu di Citraland. Asti bersama teman- teman kuliahnya, Bhaga bersama beberapa orang teman kantornya. Asti nekat memisahkan diri dari gerombolan teman- temannya, lalu menghampiri Bhaga. Sejak saat itu mereka intens bertemu. Bhaga menganggap Asti seperti adiknya, namun tidak dengan gadis itu. Rupanya kesediaan Bhaga untuk selalu menemani Asti kemanapun gadis itu meminta disalahartikan oleh Asti.

Hingga janji itu meluncur ketika kondisi Bu Supardjo semakin kritis setahun kemudian. Ketika menangisi kepergian Ibunya pada suatu pagi, Bhaga memeluknya untuk menghibur. "Aku akan selalu jagain kamu, Ti." Katanya pada gadis yang menangis dalam rengkuhannya itu.

Namun ternyata janji itu berbalik menjadi bumerang bagi Bhaga. Ketika seorang gadis yang telah dilupakannya sekian tahun lalu, dan tak disangkanya akan kembali ke Ungaran dan kini sedang duduk melamun di sampingnya.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang