Sembilanbelas

13.5K 1.2K 26
                                    

Bhaga: Dik

Nggak tahu mau ngomong apa, Ratri merasa dia seperti terkena angin duduk. Semacam dia lumpuh. Padahal ini cuma chat via WhatsApp. Bukan yang orangnya nongol di depan muka. "Ra?" Nanda melambai- lambaikan tangannya. "Woy?!" yang dibalas Ratri dengan lirikan mautnya. Padahal tadinya cewek itu nggak sadar kalau Nanda masih berada di hadapannya.

Bhaga: kamu apa kabar?

Pesan kedua muncul. Tapi Ratri hanya bisa menggulir layar ponselnya tanpa kejelasan apa yang hendak dilakukannya. "Elah, nih bocah! Kesambet lo ye?" Nanda berkacakpinggang. "Keburu maghrib ini, Woi!"

Ratri melempar tatapan ala Mbak Kunti yang kabarnya hobi nongkrong di pohon nangka di pekarangan belakang rumah Tante kos.

Bhaga: sibuk ya? Maaf Mas ganggu.

Akhirnya pesan itu hanya berakhir sampai disitu.

Malam harinya saat mungkin burung hantu dan sekuriti kosan berhenti meronda, Ratri kembali membuka- buka pesan dari Bhaga tadi sore. Ada semacam perasaan yang menggetarkan hatinya. Cara Bhaga membahasakan dirinya untuk Ratri. "Mas"

Panggilan "Mas" di kota besar semacam Jakarta mungkin nggak akan ada bedanya dengan kalau kita memanggil tukang ketoprak yang kebetulan merantau dari kota- kota di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Tapi di masalahnya, Bhaga ini orang Semarang ya, kan? Dan bagi perempuan di daerahnya panggilan semacam itu bisa diartikan sebagai kedekatan  yang terjalin khusus antara dua orang berlawanan jenis. Terlebih Bhaga menyebutnya dengan panggilan "Dik", mungkin kalau teman laki- lakinya yang lain yang memanggilnya dengan sebutan itu, dia sih jijik, tapi ini Bhaga. Dan jujur saja rasanya berbeda. Ada satu getaran aneh yang mengusik hatinya.  Dengan begitu sepanjang malam itu Ratri batal lanjut menonton Deng Lun dan Yang Zi, dan malah berpikir dan melamun hanya gara- gara pesan teks dari Bhaga.

Kemudian dia teringat kata- kata Dana tempo hari. "Mas Bhaga mau nikah sama anak atasannya di kantor,"

Lantas kenapa lelaki itu menghubunginya?

Please deh, lo tuh cuma geer doang. Barangkali dia cuma mau nanyain si Dana doang...

Tapi dia kayak sopan gitu. Bilangnya pakai "Mas" segala. Nggak meleleh lo?

Yaelaaah Sis... cowok nih kalau ada maunya tentu aja mesti manis- manis. Kalau pait- pait ya dilepeh deh tuh! Baper banget sih jadi cewek! Ketauan kurang belaian!

Siapa tahu sebenarnya dia ada hati sama lo,

Ada hati dari Hong Kong?

Siapa tahu sebenarnya dia nggak niat menikahi anak atasannya di kantor?

Ngibul. Lo ngibulin diri sendiri. Mendingan terima kenyataan. Lagian kayaknya lo nggak suka sama dia pas waktu di Semarang dulu. Tahan harga, Jeung?

"Aaaaaaargggghhhh!"

Pusing berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Ratri menarik selimut dan berusaha untuk memejamkan matanya. Meskipun begitu, dia masih bisa mendengarkan keributan di dalam kepalanya.

***

Simpang Lima, Semarang.

Lamat- lamat suara The Godfather of Brokenheart, alias Didi Kempot menyanyikan Tanjung Mas Ninggal Janji,  mengudara melalui radio di warung tenda yang menjual roti bakar dan susu cokelat. Duduk di sebuah bangku panjang menghadap ke meja panjang berisi aneka gorengan yang masih hangat, seorang pria berambut cepak sedang menatap ponselnya yang gelap.

"Mbok yo wis mantengin layar hape begitu? Siapa sih yang kamu tungguin pesannya? Asti yo?" Prasthi, teman pria itu menyenggol pundak Bhaga-- nama si lelaki yang sedang memandangi ponsel--  dengan pundaknya.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang