Limapuluh Sembilan

11.6K 1.2K 33
                                    

Dana terus memandangi ponselnya dengan heran. Tadi mas sepupunya minta share location, tapi sampai sekarang kok nggak muncul- muncul. Ratri memicingkan mata, mengamati gerak- gerik sepupunya yang kini berubah semakin matang dan jujur saja ganteng mirip bapaknya. Dia bertanya- tanya , sudah berapa hati gadis yang dipatahkannya?

Merasa ada yang mengamatinya, Dana menengadahkan kepala. Rupanya Mbak Ratri yang menatapnya seolah cowok itu mau mengambil jemuran kutangnya--- alias menatap Dana penuh curiga.

Mobil yang dikemudikan Ario berjalan seperti siput di tengah keramaian lalu lintas Semarang bagian barat menunju Semarang selatan tempat ibu Ratri dirawat inap. "Mama sakit apa sih, Dan?" tanya Ratri. Sebenarnya sejak tadi yang ia khawatirkan adalah kondisi mamanya. Usia beliau sudah nggak muda, walaupun masih aktif berdinas. Kini mama Ratri hanya praktik di Setiabudi.

"Jatuh waktu ikut senam. Kata ibuk sih tensinya turun banget. 80/70 gitu sewaktu dilarikan ke rumah sakit. Padahal bulik kan ikut senamnya di Setiabudi situ. Setiap Sabtu mesti ikut kok, sama bude Wiwik juga. "

Alis Ratri berkerut di glabella nya mendengar nama yang disebutkan oleh Dana barusan. "ibuknya Mas Bhaga,"

Mendadak tubuh Ratri beku. Dia nggak tahu kalau mamanya selama ini berteman dengan ibunya Bhaga. "Sejak kapan mama ikut senam?"

"Sejak setahun yang lalu. Kebetulan bulik Wiwik kan dinas di RSIA dekat situ, jadi ya klop." Dana menyahut dari bangku penumpang depan. "Ini ngomong- ngomong bisa lebih cepat nggak Mas Ar?"

"Nggak bisa. Banyak mobil. Saya masih punya anak bayi."

Di bangku belakang Bentala menahan tawanya.

***

Mamanya tampak pucat terbaring di ruang perawatan kelas satu. Di kanannya ada tabung oksigen, tapi mama sudah nggak dipasangi oksigen. Mama juga sudah menerima dua ampul darah. "Mama gimana, Ma?"

"Lho? Ratri? Kapan pulang, Nduk?"

"Hari ini tadi. Maunya kemarin sih, tapi nggak dapat pesawat. Adanya hari ini. Itupun delay. Rasanya kayak bertahun- tahun. Mama kenapa bisa sampai drop begini sih?"

"Ya nggak tahu toh, Nduk. Mama maunya sehat terus. Mama belum mantu kamu lho ya kan?"

Ratri mendesah. "Kok yang dipikirin itu melulu sih, Ma. Mestinya mama perhatiin kesehatan mama juga dong. Ratri jadi kepikiran juga di sana. Sebulan lagi masa kerja Ratri di sana itu sudah selesai, dan Ratri bakalan ditempatkan di kantor cabang Semarang." Bujuk gadis itu sambil terus memegangi tangan ibunya.

"Kok kamu yang jadi marahin Mama. Wajar Mama mikirin anak. Kamu sudah 26 kan tahun ini? Kapan menikah?"

"Ya kalau sudah ada calonnya sih, Ma. "

"Kata Mila kamu pulang bawa lelaki?"

"Itu temenku, Ma."

"Apa ada yang salah sama kamu ya, Nduk? Kamu kan ya nggak jelek, cerdas, pekerjaanmu bagus, tapi kok Mama lihat nggak ada yang mau serius sama kamu?" tanya mamanya lebih pada dirinya sendiri. "Apa kita perlu pergi ke orang pintar? Supaya jalan jodohmu itu segera terbuka,"

Ratri mendesah. Bahkan mamanya yang sekolah tinggi hingga punya gelar dokter spesialis anak ini juga masih percaya hal- hal berbau klenik. "Ya Alloh, Ma... kok Mama itu masih percaya begituan sih? Mama ini dokter spesialis lho..."

"Tapi ini tanah Jawa, Tri. Di mana klenik tetap eksis. "

"Aduh Mama ngomongnya mulai ngelantur. Ya sudah deh Mama istirahat saja. Ratri mau cari teh hangat dulu. Nanti Ratri balik lagi ke sini lagi," setelah mengecup dahi ibunya, Ratri keluar dari ruang perawatan, celingukan mencari Bentala yang seharusnya masih menunggu di sini. Dana pulang bersama Mas Ario setelah ngedrop mereka di lobi rumah sakit. Nanti sore Mas Rivan dan Mbak Riris akan gantian berjaga.

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang